Banner Iklan

Menulis sebagai Jantung Literasi dan Menjaga Ilmu dari Ajakan Lupa

Admin JSN
04 Juni 2025 | 17.53 WIB Last Updated 2025-06-04T11:03:47Z
Menulis sebagai jantung literasi dan menjaga ilmu dari ajakan lupa./Ilustrasi via Pexels

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Kita sering mendengar bahwa membaca adalah jendela dunia. Namun, pernahkah kita merenungkan bahwa menulis adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam dan warisan abadi?

Di era digital ini, kecepatan informasi seringkali membuat kita lupa akan urgensi mendokumentasikan pemikiran, pengetahuan, dan pengalaman kita.

Padahal, aktivitas menulis dan membuat karya tulis bukan sekadar menyusun kata, melainkan sebuah ikhtiar penting yang membentuk cara kita berpikir, belajar, dan mewariskan ilmu.

Melampaui Hafalan: Menuju Pemahaman Sejati
Kita seringkali terjebak dalam budaya menghafal tanpa memahami esensi.

Seorang santri mungkin mampu menghafal banyak teks, namun tanpa pemahaman mendalam, ia hanya menjadi “penjaga” kata-kata, bukan “pemilik” maknanya.

Imam Al-Mawardi, seorang ulama besar, menyoroti fenomena ini. Ia menyatakan bahwa terkadang, seorang pembelajar terlalu fokus pada hafalan tanpa disertai pemahaman atau gambaran yang utuh, sehingga ia hanya menjadi penghafal lafaz tanpa memahami maknanya. Ia meriwayatkan tanpa perenungan, dan mengabarkan tanpa pengalaman.

Ini seperti sebuah buku yang tidak mampu menangkis keraguan atau menguatkan argumen. Bahkan, diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: "Cita-cita orang-orang bodoh adalah menceritakan atau mendongeng (tanpa pemahaman), dan cita-cita para ulama adalah menjaga (ilmu dengan pemahaman dan menulis)."

Senada dengan itu, Ibnu Mas’ud RA berkata: "Jadilah kalian para penjaga ilmu (yang memahami), dan janganlah kalian menjadi para periwayat ilmu (tanpa pemahaman). Sungguh, terkadang seseorang bisa merenung (memahami) meskipun ia tidak bisa menyampaikan pada orang lain, dan ada pula seseorang bisa menyampaikan meskipun ia tidak memahami dengan baik."

Pesan ini menegaskan bahwa inti dari ilmu bukanlah sekadar transfer informasi, melainkan proses internalisasi dan perenungan yang menghasilkan pemahaman.

Mengikat Ilmu dengan Tulisan: Melawan Lupa dan Membangun Warisan
Imam Al-Mawardi menyebutkan salah satu alasan yang menghilangkan ilmu.

Saat seorang pelajar terlalu mengandalkan hafalan dan ingatannya tanpa menuangkannya dalam tulisan. Ini adalah kesalahan besar. Mengapa? Karena keraguan itu mungkin datang, dan kelupaan itu pasti terjadi.

Sebagai agama ilmu pengetahuan, Islam mengajarkan agar mengikat ilmu yang dimiliki. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Ikatlah ilmu dengan tulisan."

Begitu pentingnya tulisan, hingga Rasulullah menasehati seorang sahabat yang mengeluhkan dirinya yang pelupanya. Rasulullah bersabda: "Gunakanlah tanganmu," yaitu, menulislah agar engkau bisa kembali kepada apa yang telah engkau tulis jika lupa.

Pepatah Arab mengatakan: "Andai bukan karena apa yang telah diikat oleh buku-buku dari pengalaman orang-orang terdahulu, niscaya akan terlepas bersama kelupaan ikatan-ikatan orang-orang yang datang kemudian."

Ini adalah pengingat kuat bahwa tulisan adalah jembatan yang menghubungkan generasi, memastikan bahwa pengalaman dan kebijaksanaan masa lalu tidak hilang ditelan zaman.

Ulama menegaskan, "Salah satu adab ilmu pengetahuan memahami bahwa ilmu adalah sesuatu yang mudah lari dari akal dan ikatan-ikatan pikiran, maka jadikanlah buku-buku sebagai penjaganya, dan pena sebagai pengurusnya."

Tulisan adalah penjaga setia bagi gagasan-gagasan yang rentan menguap dari benak kita. Pena adalah alat untuk merawat dan melestarikan pemikiran.

Menulis: Fondasi Peradaban dan Pengembangan Diri
Dalam konteks kekinian, urgensi menulis semakin terasa.

Setiap ide brilian, setiap pemahaman mendalam, setiap pengalaman berharga yang tidak kita tuliskan, berpotensi hilang selamanya.

Menulis adalah:

Alat Verifikasi dan Penguatan Pemahaman: Saat kita menulis, kita dipaksa untuk menyusun pikiran secara logis, mengidentifikasi celah dalam pemahaman, dan menguatkan argumen.

Sarana Refleksi Diri: Menulis jurnal atau esai pribadi membantu kita memproses emosi, memahami diri sendiri, dan mengembangkan perspektif.

Jembatan Komunikasi: Karya tulis memungkinkan kita berbagi pengetahuan, ide, dan solusi dengan audiens yang lebih luas, melampaui batasan ruang dan waktu.

Fondasi Warisan: Setiap buku, artikel, atau tulisan yang kita hasilkan adalah warisan yang akan dibaca dan diambil manfaatnya oleh generasi mendatang.

Pembangun Kredibilitas dan Otoritas: Seorang penulis yang produktif seringkali dianggap sebagai otoritas dalam bidangnya, membuka peluang kolaborasi dan pengembangan karir.

Sahabat literasi, jangan biarkan gagasan-gagasan berharga Anda hanya menjadi riwayat tanpa perenungan. Jangan biarkan ilmu yang Anda dapatkan menguap ditelan lupa.

Mari kita jadikan menulis sebagai kebiasaan, sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan literasi kita. Ambil pena Anda, buka laptop Anda, dan mulailah mengikat ilmu. ***

Ponpes Dzinnuha Malang, 4 Juni 2025
Editor: YAN

Baca juga: Kemenag Ajak Guru dan Tendik Kota Malang Menulis Buku untuk Suarakan Hati dan Ukir Rekor MURI


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menulis sebagai Jantung Literasi dan Menjaga Ilmu dari Ajakan Lupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now