Banner Iklan

Pakar UMM Soroti Kekeliruan Menyamakan Sawit dengan Hutan

Muh. Rahmani Hafidzi
13 Desember 2025 | 18.02 WIB Last Updated 2025-12-13T11:02:32Z
Febri Arif Cahyo Wibowo, M.Sc., akademisi kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

MALANG | JATIMSATUNEWS.COM — Wacana rencana pemerintah membuka ratusan ribu hektare lahan sawit kembali memantik perdebatan publik terkait dampak ekologisnya. Di tengah diskursus tersebut, masih muncul anggapan bahwa tanaman sawit memiliki fungsi ekologis yang setara dengan pohon hutan, khususnya dalam menyerap air dan mencegah banjir.

Menanggapi hal itu, Febri Arif Cahyo Wibowo, M.Sc., akademisi kehutanan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menegaskan bahwa penyamaan fungsi sawit dengan hutan alam merupakan kekeliruan yang berpotensi menyesatkan pemahaman publik terhadap ekosistem hutan dan daya dukung lingkungan.

Menurut Febri, perbedaan paling mendasar terletak pada struktur perakaran dan karakter vegetasi. Ia menjelaskan bahwa sawit memiliki akar serabut dengan kedalaman rata-rata sekitar satu meter, sehingga kemampuan menyerap dan menyimpan air relatif terbatas. Sebaliknya, pohon hutan memiliki sistem akar tunggang dan lateral yang mampu menembus kedalaman dua hingga tiga meter, bahkan pada kondisi tertentu mencapai lebih dari sepuluh meter.

“Sawit adalah tanaman perkebunan, bukan tanaman hutan. Kapasitas ekologisnya tidak bisa disamakan dengan pohon hutan alam. Dalam hal mempertahankan air dan menjaga keseimbangan hidrologi, pohon hutan jelas lebih unggul,” ujarnya saat diwawancarai tim Humas UMM, Kamis (12/12).

Ilustrasi Hutan Alami

Ia juga menyoroti pola tanam sawit yang bersifat monokultur sebagai faktor peningkat kerentanan lingkungan. Lantai kebun sawit yang minim vegetasi bawah membuat air hujan langsung menghantam permukaan tanah tanpa peredam alami. Kondisi ini berbeda dengan hutan alam yang memiliki struktur vegetasi berlapis sehingga mampu menahan, memperlambat, dan menyebarkan aliran air hujan sebelum mencapai tanah.

“Struktur hutan itu kompleks. Tajuk, semak, dan serasah bekerja bersama menjaga kelembapan tanah dan menekan erosi. Di kebun sawit, mekanisme alami itu hampir tidak ada,” jelasnya.

Dalam konteks kebijakan ekspansi sawit, Febri mengingatkan bahwa risiko erosi menjadi ancaman paling nyata, terutama pada kawasan dengan topografi miring. Berbagai penelitian, menurutnya, menunjukkan tingkat erosi di lahan sawit pada lereng tergolong tinggi, terlebih saat intensitas hujan meningkat.

“Jika curah hujan tinggi dan tidak ada vegetasi penahan, dampaknya bisa sangat besar. Regulasi sebenarnya sudah ada dan jelas, tinggal bagaimana komitmen untuk menaatinya,” tuturnya.

Febri menambahkan bahwa perubahan iklim turut memperparah kerentanan lingkungan apabila perluasan sawit dilakukan tanpa mempertimbangkan karakteristik lahan. Ia menegaskan pemerintah harus memastikan pengembangan sawit tidak dilakukan di kawasan rawan bencana serta tetap memperhatikan daya dukung tanah dan fungsi ekologis kawasan hutan.

“Buat zonasi yang jelas untuk sawit dan kembalikan fungsi hutan pada kawasan yang memang tidak cocok untuk perkebunan. Jangan memaksakan sawit tumbuh di tempat yang bukan habitatnya,” tegasnya.

Ia berharap diskusi mengenai sawit ke depan dapat ditempatkan secara proporsional antara kepentingan ekonomi dan konservasi. Menurutnya, meskipun sawit memiliki nilai ekonomi tinggi, tanaman tersebut tidak dirancang untuk menggantikan fungsi ekologis hutan alam.

“Kebijakan harus berpijak pada keseimbangan. Sawit penting bagi ekonomi, tetapi hutan tetap krusial bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat,” pungkasnya.(raf)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pakar UMM Soroti Kekeliruan Menyamakan Sawit dengan Hutan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now