Kereta Addis Ababa-Djibouti: Bantuan atau Strategi China? Foto: GI Hub, Addis Ababa-Djibouti Railway Case Study (2020)
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada 2013 telah mengubah arah pembangunan global. Salah satu contoh paling nyata ada di Ethiopia, yaitu jalur kereta listrik Addis Ababa-Djibouti sepanjang 753 kilometer. Proyek ini mulai dibangun pada 2011, selesai pada 2017, dan resmi beroperasi sejak 2018. Dengan pinjaman lebih dari USD 2,9 miliar dari China Exim Bank, jalur ini memangkas waktu distribusi logistik dari tujuh hari menjadi hanya 12 jam, menurunkan biaya hingga sepertiga, serta membuka ribuan lapangan kerja. Bagi Ethiopia, negara yang tidak memiliki akses laut, jalur kereta ini menjadi urat nadi perdagangan menuju Pelabuhan Djibouti.
Bagi pemerintah Ethiopia, proyek ini adalah simbol modernisasi. Jalur kereta tidak hanya menghubungkan ibu kota ke pelabuhan utama, tetapi juga memperkuat rantai pasok industri yang sedang tumbuh. Selama ini, lebih dari 90 persen perdagangan Ethiopia bergantung pada Pelabuhan Djibouti. Tanpa akses cepat dan murah, biaya logistik menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan ekonomi. Kehadiran kereta listrik ini membuat biaya distribusi turun hingga sepertiga, sekaligus meningkatkan daya tarik Ethiopia bagi investor asing.
Namun muncul pertanyaan besar: apakah jalur ini murni bantuan pembangunan, atau strategi pengaruh Beijing? Hans J. Morgenthau, pakar hubungan internasional klasik, menegaskan bahwa bantuan luar negeri tidak pernah netral. Menurutnya, setiap bantuan adalah instrumen politik luar negeri yang sarat kepentingan. Bantuan bisa hadir dalam bentuk infrastruktur atau pelatihan, tetapi selalu ada syarat dan arah kepentingan tertentu. Dengan kacamata ini, BRI di Ethiopia bukan sekadar proyek transportasi, melainkan juga strategi kekuasaan.
Struktur pinjaman memperlihatkan pola itu. Ethiopia meneken perjanjian pinjaman sebesar USD 2,49 miliar pada 2013, sementara Djibouti menerima hampir USD 500 juta pada tahun yang sama. Dana dicairkan secara bertahap sesuai progres pembangunan. Skema ini memberi ruang kontrol bagi Beijing sekaligus mengikat penerima dalam kontrak jangka panjang. Tidak berhenti di situ, Djibouti kemudian menjadi tuan rumah pangkalan militer luar negeri pertama Tiongkok pada 2017, hanya berjarak 11 kilometer dari basis militer Amerika Serikat.
Bagi Ethiopia, manfaat proyek tetap nyata. Selain infrastruktur modern, ribuan teknisi lokal mendapat pelatihan, kapasitas manajerial pemerintah diperkuat, dan teknologi perkeretaapian canggih diperkenalkan. Namun pinjaman besar ini juga mendorong pemerintah melakukan reformasi kebijakan antara 2012 hingga 2018. Regulasi investasi dibuka, kawasan industri dikembangkan, hingga sistem kepabeanan dimodernisasi. Langkah-langkah itu mempercepat industrialisasi, tetapi juga membuka jalan lebar bagi kepentingan komersial Tiongkok di sektor manufaktur, energi, dan logistik.
Kritik soal jebakan utang atau debt-trap diplomacy pun mencuat. Beberapa pengamat menilai proyek seperti ini berpotensi membuat negara penerima terjebak dalam kewajiban finansial jangka panjang. Namun Ethiopia sejauh ini relatif berhasil mengelola risiko dengan menyesuaikan kebijakan domestiknya secara proaktif. Pendekatan itu membuat hubungan dengan Beijing tetap stabil, meski konsekuensi geopolitik tidak bisa dihindari. Situasi ini berbeda dengan sejumlah negara lain di Afrika yang menghadapi tekanan lebih besar dalam proyek serupa.
Kawasan Tanduk Afrika sendiri bukan wilayah sembarangan. Letaknya strategis di jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Laut Merah, Terusan Suez, hingga Samudra Hindia. Kehadiran infrastruktur besar yang dibiayai Tiongkok memberi Beijing pijakan kuat di wilayah yang juga menjadi rebutan kekuatan global lain, mulai dari Amerika Serikat, Prancis, hingga Uni Emirat Arab. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur di Ethiopia tidak hanya berdampak pada ekonomi nasional, tetapi juga pada peta geopolitik kawasan.
Pada akhirnya, jalur kereta Addis Ababa-Djibouti memperlihatkan dua sisi wajah bantuan luar negeri. Bagi Ethiopia, ini adalah proyek pembangunan besar yang membawa manfaat nyata bagi perekonomian dan industrialisasi. Tetapi bagi Tiongkok, proyek ini juga mempertegas pengaruh politik dan strategis di Afrika Timur. Seperti diingatkan Morgenthau, bantuan tidak pernah sekadar soal angka pinjaman, melainkan juga instrumen kekuasaan. Kereta yang melaju dari Addis Ababa ke Djibouti hari ini tidak hanya membawa barang, tetapi juga kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?