Banner Iklan

Pariwisata Indonesia di Persimpangan: Menata Ulang Strategi Menuju Keberlanjutan dan Daya Saing Global

Muh. Rahmani Hafidzi
11 Desember 2025 | 19.58 WIB Last Updated 2025-12-11T12:58:04Z

 
Foto : Salah satu objek wisata di indonesia 
(Sumber : Google)

Dalam lima tahun terakhir, wajah pariwisata Indonesia bagai dirajut dalam dua warna yang bertolak belakang: di satu sisi, gemilang dengan pesona alam dan budaya yang memukau dunia; di sisi lain, rapuh ketika pandemi datang dan menguji ketahanan fondasinya. Momentum pemulihan pascapandemi menjadi ujian sesungguhnya apakah Indonesia hanya akan kembali ke pola lama yang mengejar kuantitas, atau berani melakukan transformasi menuju pariwisata berkualitas, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi?

Perjalanan panjang menuju ketangguhan sektor pariwisata dimulai dari fondasi paling dasar: infrastruktur dan sumber daya manusia. Destinasi-destinasi super seperti Bali, Labuan Bajo, atau Danau Toba memang terus mendapat sentuhan pembangunan. Namun, akses yang tidak merata, keterbatasan transportasi antardestinasi, dan fasilitas pendukung yang belum memadai masih menjadi penghambat besar. Belum lagi persoalan sampah, kerusakan ekosistem, dan kesenjangan pengelolaan yang sering kali membuat keindahan alam justru terancam oleh popularitasnya sendiri.

Di balik gemerlap promosi dan angka kunjungan, tersimpan persoalan mendasar yang sering kali luput dari sorotan: kualitas layanan dan kompetensi sumber daya manusia. Pariwisata bukan sekadar tentang tempat, melainkan pengalaman. Pengalaman itu dibentuk oleh interaksi manusia: bagaimana wisatawan disambut, dilayani, dan diajak memahami nilai-nilai lokal. Sayangnya, pelatihan yang tidak merata, penguasaan bahasa asing yang terbatas, dan kurangnya standarisasi layanan masih menjadi penghalang besar dalam menciptakan kesan mendalam bagi wisatawan, terutama dari kalangan mancanegara.

Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program strategis, dari CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability) hingga pengembangan Super Priority Destinations. Namun, yang sering kali terjadi adalah kesenjangan antara kebijakan dan implementasi. Pembangunan fisik kerap menjadi fokus utama, sementara aspek pengawasan, keberlanjutan, dan pemberdayaan masyarakat lokal belum sepenuhnya optimal. Pariwisata yang sehat membutuhkan sinergi kuat antara pemangku kebijakan, pelaku usaha, komunitas, dan wisatawan itu sendiri sebuah ekosistem yang saling menghidupi, bukan saling mengeksploitasi.

Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Konsep sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan bukan lagi sekadar wacana, melainkan keharusan. Destinasi yang rusak akibat over-tourism seperti yang terjadi di beberapa spot alam populer menjadi peringatan keras: tanpa pengelolaan yang bijak, pariwisata justru bisa menjadi bumerang. Di sinilah peran kearifan lokal dan partisipasi masyarakat menjadi kunci. Pengembangan homestay, wisata berbasis komunitas, dan pelestarian budaya bukan hanya menciptakan ekonomi inklusif, tetapi juga menjaga identitas dan keberlanjutan destinasi.

Di era digital seperti sekarang, cara dunia memandang destinasi wisata telah berubah drastis. Media sosial dan platform digital telah menjadi panggung baru yang mampu melambungkan atau justru menjatuhkan reputasi suatu tempat dalam hitungan jam. Indonesia memiliki peluang besar untuk bercerita secara autentik—tidak hanya tentang keindahan alam, tetapi juga tentang manusia, tradisi, dan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Namun, promosi saja tidak cukup. Dibutuhkan kesiapan infrastruktur digital, respons cepat terhadap keluhan, dan pengelolaan reputasi yang profesional.

Lalu, ke mana arah pariwisata Indonesia dalam 5–10 tahun ke depan? Tren global menunjukkan pergeseran dari pariwisata massal menuju pariwisata berbasis pengalaman, kesehatan, dan keberlanjutan. Konsep seperti wellness tourism, eco-tourism, cultural immersion, hingga regenerative tourism—yang tidak hanya menjaga tetapi juga memulihkan lingkungan akan semakin diminati. Indonesia memiliki semua bahan baku untuk menjadi pemain utama di tren ini: kekayaan alam, keragaman budaya, dan spiritualitas yang mendalam.

Namun, modal alam dan budaya saja tidak cukup. Dibutuhkan strategi yang jelas, komitmen kolektif, dan keberanian untuk berubah. Pariwisata Indonesia tidak boleh lagi dilihat sebagai sekadar pencetak devisa, melainkan sebagai wahana pembangun peradaban: yang menghargai alam, memberdayakan manusia, dan melestarikan warisan budaya. Saatnya menata ulang paradigma—dari pariwisata yang mengambil, menjadi pariwisata yang memberi. Hanya dengan cara itu, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai destinasi wisata, tetapi sebagai contoh dunia dalam membangun pariwisata yang manusiawi, berkelanjutan, dan bermartabat.

Author : Kelompok 2 Teknik Industri

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pariwisata Indonesia di Persimpangan: Menata Ulang Strategi Menuju Keberlanjutan dan Daya Saing Global

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now