SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM - Pameran seni ini diselenggarakan oleh
mahasiswa Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Unesa yang berlangsung
sejak 13 hingga 17 November 2025. Acara dibuka mulai pukul 13.00 sampai 21.00,
dan saya memilih datang pada hari kedua. Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika
saya tiba, ditemani seorang teman dekat. Kami sempat ragu apakah masih akan
ramai, mengingat gerimis belum benar-benar berhenti. Namun, dugaan itu salah,
halaman gedung pameran tetap dipenuhi pengunjung yang datang silih berganti.
Suasanya terasa hangat dan penuh antusias.
Ketika melangkah masuk ke ruang utama,
saya langsung berhenti sejenak. Dinding-dinding putih di dalam galeri dipenuhi
lukisan dalam berbagai ukuran dan gaya. Dalam sekejap, saya merasa seperti
memasuki dunia yang penuh warna, gagasan, dan cerita yang ingin dibagikan para
seniman. Ada karya dengan sapuan kuas lembut, ada pula lukisan dengan
warna-warna beton yang berani. Setiap karya seperti memiliki kehidupannya
sendiri.
Namun, yang paling mencuri perhatian saya
pertama kali adalah sebuah ruang khusus yang memamerkan karya artist kids anak-anak kecil yang hasil
karyanya tak kalah memukau dari seniman dewasa. Warnanya berani, komposisinya
unik, dan caranya bercerita melalui gambar terasa jujur. Melihat karya mereka,
saya sempat tersenyum sendiri. Ada sesuatu yang murni dan tak terbatas dari
cara anak-anak menciptakan karya.
Saya melanjutkan langkah ke ruangan
berikutnya yang berisi karya-karya seniman dari luar negeri. Mulai dari lukisan
abstrak, realis, hingga instalasi multimedia, semuanya memancarkan karakter dan
budaya berbeda. Di ruangan itu, saya menyadari satu hal bahwa seni benar-benar
bahasa universal. Tidak perlu memahami bahasa negara lain untuk merasa
tersentuh oleh karya mereka. Pameran ini rupanya bukan hanya ruang bagi
mahasiswa lokal, tetapi juga jembatan pertemuan antara seniman nasional dan
internasional.
Di salah satu sudut ruangan, saya melihat instalasi patung interaktif. Permukaannya penuh warna, coretan nama, pesan kecil, dan cap tangan. Saya berdiri cukup lama memperhatikan detailnya sampai seorang panitia menghampiri saya dengan senyum ramah.
“Kak, kalau mau, ini patungnya boleh banget ditulisi atau diwarnai,” katanya sambil menunjuk meja kecil yang berisi spidol dan cat.
“Alat-alatnya sudah disediakan. Silakan bebas berkarya.” Saya tersenyum dan mengangguk, walau masih ragu.
“Boleh ya, Kak? Tapi kayaknya sudah penuh bagian depannya,” Tanyaku dengan antusias.
“Iya, depan sudah rame banget. Tapi masih banyak space di belakang. Banyak pengunjung mulai ngisi bagian-bagian yang agak tersembunyi juga.”
Mendengar itu, saya memberanikan diri
mengambil spidol warna hitam. Saya melangkah ke sisi belakang patung yang
ternyata memang masih sedikit kosong. Di sana, dengan hati-hati saya menggambar
kupu-kupu kecil. Sederhana, tapi terasa seperti bentuk kehadiran saya di
pameran itu. Sebuah jejak kecil yang ikut membangun karya bersama ratusan
tangan lain.
Saya hanya tertawa kecil, merasa hangat
dan sedikit bangga karena telah meninggalkan tanda kecil di sana.
Tidak jauh dari patung tersebut, saya
menemukan kain batik besar yang digantung menjuntai dari langit-langit.
Motifnya rumit, warnanya lembut, dan cara penyajiannya membuat kain itu tampak
seperti tirai yang bergelombang. Saya tidak tahu nama konsep instalasinya, tapi
saya terpikat oleh detailnya.
Namun, karya yang paling membekas di
pikiran saya malam itu adalah instalasi berbentuk perahu kayu kecil yang
dikelilingi tumpukan sampah. Suara ombak dan visual video lautan ditampilkan
bersamaan, memberi pengalaman yang terasa dekat namun menyentak. Seolah
mengingatkan bahwa laut yang semestinya luas dan indah, kini penuh beban dari
ulah manusia. Perahu itu seperti simbol kehidupan kita sendiri untuk terus
bergerak, meski seringkali terjebak dalam kekacauan yang kita ciptakan.
Setelah berkeliling cukup lama, saya dan
teman saya memutuskan keluar menuju area stand makanan dan pernak-pernik. Ada
banyak pilihan makanan, mulai dari yang manis hingga yang pedas. Namun yang
paling menarik perhatian saya adalah stand perhiasan handmade. Saya akhirnya membeli sebuah gelang kecil dengan desain
sederhana namun artistik. Harganya terjangkau, tapi rasanya seperti membawa
pulang sebagian kecil dari pengalaman malam itu.
Suasana di luar gedung tidak kalah meriah.
Musik live mengalun dari panggung kecil, pengunjung duduk-duduk sambil
menikmati makanan, dan lampu-lampu hias membuat malam itu terasa hangat meski
hujan masih turun perlahan. Saya duduk di salah satu kursi, memperhatikan
orangorang yang berlalu-lalang. Rasanya tenang ada semacam kepuasan setelah
menghabiskan malam di bawah ruang besar yang penuh kreativitas.
Di tengah suasana itu, saya merasakan satu
hal yang muncul berulang: kagum. Sejak dulu saya menyukai seni dan memiliki
hobi menggambar. Saat melihat karya-karya yang dipamerkan di Sengkuni 7, saya
merasa seperti sedang melihat ratusan versi masa depan yang mungkin bisa saya
raih. Saya membayangkan bagaimana rasanya jika suatu hari karya saya juga
terpajang di sini. Bagaimana orang-orang melihatnya, menafsirkannya, bahkan
mungkin terkagum olehnya, meskipun dalam hatiku masih terselip keraguan.
Malam itu, sambil memegang gelang baru
yang saya beli, saya menetapkan satu harapan dalam hati, suatu hari nanti, saya
ingin berdiri di sini bukan sebagai pengunjung, melainkan sebagai salah satu
senimannya.
Saya pulang bukan hanya membawa foto-foto
karya seni atau hasil belanja kecil, tetapi juga semangat baru. Sengkuni 7
mengajarkan saya bahwa seni bukan hanya tentang keindahan, melainkan tentang
perjalanan. Tentang keberanian mengekspresikan diri. Tentang menjadi jujur
terhadap apa yang ingin kita sampaikan juga tentang mimpi kecil yang pantas
untuk diperjuangkan.
Di bawah gerimis malam itu, saya merasa
telah melangkah sedikit lebih dekat menuju impian yang diam-diam selalu saya
simpan.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?