FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pondok Pesantren
Alibrohimi Manyar Gresik menyimpan kisah perjuangan seorang santriwati bernama
Nailil Furhatin Maulidah, atau yang akrab disapa Neli. Gadis berkerudung putih
itu dikenal tegar, ceria, dan mudah bergaul di kalangan teman-temannya. Di balik
keceriaannya tersimpan tekad besar untuk mewujudkan cita-cita kedua orang
tuanya, yang berharap putrinya menjadi seorang hafidzah penjaga kalamullah.
Perjalanan menuju impian itu dimulai sejak masa SMP, ketika Neli pertama kali
jatuh cinta pada lantunan ayat suci yang kini menjadi bagian dari hidupnya.
Pada masa Madrasah Aliyah di pesantren, Neli mulai diuji dengan penyakit maag dan asam lambung yang parah hingga harus dirawat di rumah sakit. Ia rindu suasana pondok dan mushaf yang biasa menemaninya setiap hari. Setelah masa sakit itu berlalu, cobaan baru datang. Mulutnya sering mengeluarkan darah dan nanah hingga membuatnya sulit berbicara dan mengaji. Hafalan tertunda, semangat sempat meredup, namun dukungan teman-teman pondok yang membantu tugas dan hafalannya menjadi penguat di tengah kondisi yang melemahkan.
“Saya
ingin sekolah biasa saja dan tidak melanjutkan pendidikan di pesantren,” ujar
Neli pelan. “Saya takut sakit lagi dan malah menyusahkan orang-orang terdekat.”
Ia terdiam sejenak sebelum menambahkan, “Karena saya anak tunggal, rasanya
berat menjadi satu-satunya harapan mereka.”
Ketenangan
Neli kembali terguncang setelah kabar duka datang. Ayah kandungnya meninggal
dunia, meninggalkan duka yang mendalam. Berita itu membuatnya terpuruk dan
kehilangan arah. Hafalan yang dulu menjadi sumber kebahagiaan kini terasa berat
untuk disentuh. Setelah beberapa hari sejak ayahnya dimakamkan, sang ibu terus
memberi semangat, meyakinkannya bahwa setiap usaha yang dilakukan tidak akan
sia-sia dan Neli pasti mampu mengejar ketertinggalannya. Setelah tujuh hari
kepergian ayahnya, Neli akhirnya kembali ke pondok. Hari-hari di pondok dilalui
dengan tatapan kosong, seolah separuh semangatnya ikut pergi bersama sang ayah.
Namun keyakinan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga
untuk kedua orang tuanya, perlahan meneguhkan langkahnya kembali.
Saat
menghadapi masa-masa sulit, Neli selalu mendapat dukungan dari teman-temannya.
Mereka membantu dengan tulus dan memberi semangat agar ia tetap sabar menjalani
kehidupan di pesantren. Dalam hatinya, Neli menyadari masih banyak teman yang
nasibnya lebih berat darinya. Ia juga teringat pada orang-orang di luar sana
yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi santri dan menghafal Al-Qur’an,
tetapi terhalang oleh keterbatasan biaya.
Hasil dari kesungguhan Neli dalam mengejar ketertinggalan, baik di bidang akademik maupun hafalan, akhirnya membuahkan hasil. Pada usia tujuh belas tahun, bertepatan dengan ulang tahunnya pada 30 April 2021, ia berhasil menamatkan hafalan tiga puluh juz Al-Qur’an. Sore itu, suasana aula pesantren dipenuhi haru. Doa khataman ia lantunkan dengan suara bergetar penuh rasa syukur. Teman-temannya menangis bahagia menyaksikan perjuangan panjang yang akhirnya terbayar.
Neli
menunduk dengan mata berkaca-kaca, meyakini bahwa di antara lantunan doa itu,
ayahnya hadir menyaksikan dari tempat terbaik. “Aku ikhlas bersusah payah demi
Al-Qur’an. Ini untuk Ayah dan Ibu, hadiah kecil agar kelak kalian mendapat
mahkota di surga. Aku yakin Ayah bangga di sana.” Ujar Neli di akhir wawancara.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?