Banner Iklan

Perjuangan Nailil Furhatim Maulidah menjadi Seorang Hafidzah

Admin JSN
27 November 2025 | 10.47 WIB Last Updated 2025-11-27T03:47:23Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pondok Pesantren Alibrohimi Manyar Gresik menyimpan kisah perjuangan seorang santriwati bernama Nailil Furhatin Maulidah, atau yang akrab disapa Neli. Gadis berkerudung putih itu dikenal tegar, ceria, dan mudah bergaul di kalangan teman-temannya. Di balik keceriaannya tersimpan tekad besar untuk mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya, yang berharap putrinya menjadi seorang hafidzah penjaga kalamullah. Perjalanan menuju impian itu dimulai sejak masa SMP, ketika Neli pertama kali jatuh cinta pada lantunan ayat suci yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Pada masa Madrasah Aliyah di pesantren, Neli mulai diuji dengan penyakit maag dan asam lambung yang parah hingga harus dirawat di rumah sakit. Ia rindu suasana pondok dan mushaf yang biasa menemaninya setiap hari. Setelah masa sakit itu berlalu, cobaan baru datang. Mulutnya sering mengeluarkan darah dan nanah hingga membuatnya sulit berbicara dan mengaji. Hafalan tertunda, semangat sempat meredup, namun dukungan teman-teman pondok yang membantu tugas dan hafalannya menjadi penguat di tengah kondisi yang melemahkan.

“Saya ingin sekolah biasa saja dan tidak melanjutkan pendidikan di pesantren,” ujar Neli pelan. “Saya takut sakit lagi dan malah menyusahkan orang-orang terdekat.” Ia terdiam sejenak sebelum menambahkan, “Karena saya anak tunggal, rasanya berat menjadi satu-satunya harapan mereka.”

Ketenangan Neli kembali terguncang setelah kabar duka datang. Ayah kandungnya meninggal dunia, meninggalkan duka yang mendalam. Berita itu membuatnya terpuruk dan kehilangan arah. Hafalan yang dulu menjadi sumber kebahagiaan kini terasa berat untuk disentuh. Setelah beberapa hari sejak ayahnya dimakamkan, sang ibu terus memberi semangat, meyakinkannya bahwa setiap usaha yang dilakukan tidak akan sia-sia dan Neli pasti mampu mengejar ketertinggalannya. Setelah tujuh hari kepergian ayahnya, Neli akhirnya kembali ke pondok. Hari-hari di pondok dilalui dengan tatapan kosong, seolah separuh semangatnya ikut pergi bersama sang ayah. Namun keyakinan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk kedua orang tuanya, perlahan meneguhkan langkahnya kembali.

Saat menghadapi masa-masa sulit, Neli selalu mendapat dukungan dari teman-temannya. Mereka membantu dengan tulus dan memberi semangat agar ia tetap sabar menjalani kehidupan di pesantren. Dalam hatinya, Neli menyadari masih banyak teman yang nasibnya lebih berat darinya. Ia juga teringat pada orang-orang di luar sana yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi santri dan menghafal Al-Qur’an, tetapi terhalang oleh keterbatasan biaya.

Hasil dari kesungguhan Neli dalam mengejar ketertinggalan, baik di bidang akademik maupun hafalan, akhirnya membuahkan hasil. Pada usia tujuh belas tahun, bertepatan dengan ulang tahunnya pada 30 April 2021, ia berhasil menamatkan hafalan tiga puluh juz Al-Qur’an. Sore itu, suasana aula pesantren dipenuhi haru. Doa khataman ia lantunkan dengan suara bergetar penuh rasa syukur. Teman-temannya menangis bahagia menyaksikan perjuangan panjang yang akhirnya terbayar.

Neli menunduk dengan mata berkaca-kaca, meyakini bahwa di antara lantunan doa itu, ayahnya hadir menyaksikan dari tempat terbaik. “Aku ikhlas bersusah payah demi Al-Qur’an. Ini untuk Ayah dan Ibu, hadiah kecil agar kelak kalian mendapat mahkota di surga. Aku yakin Ayah bangga di sana.” Ujar Neli di akhir wawancara.

---

Nailil Widad Mahiroh
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perjuangan Nailil Furhatim Maulidah menjadi Seorang Hafidzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now