FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Ada satu pemandangan yang selalu melekat dalam ingatan Azil: sosok ibunya yang berjalan dengan gamis sederhana dan tas kecil berisi Al-Qur’an, berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mengajar anak-anak mengaji. Bagi sebagian orang, pekerjaan itu mungkin tampak biasa. Namun bagi Azil, dari langkah-langkah sederhana itulah ia belajar tentang keteguhan, perjuangan, dan cinta yang tidak pernah surut.
Sejak tahun 2010, ketika Azil baru duduk di bangku
kelas satu SD, ibunya menjalani hidup sebagai orang tua tunggal. Ayahnya
meninggal dunia secara mendadak, meninggalkan mereka berdua dalam duka yang
sulit dimengerti oleh seorang anak kecil. Satu hal yang tetap ia ingat adalah
pelukan ibunya setelah pemakaman, ketika perempuan itu menahan tangis sambil
berbisik, “Sekarang kita tinggal berdua, Azil. Kamu satu-satunya yang Ibu
punya.”
Perkataan itu terus tertanam di benak Azil hingga
dewasa. Ia baru menyadari bahwa sejak hari itu, ibunya memikul dua peran
sekaligus menjadi ibu dan ayah baginya.
Ibunya bekerja sebagai guru privat mengaji. Panas,
hujan, bahkan sakit jarang menjadi alasan baginya untuk berhenti. “Selama Ibu
masih bisa jalan, berarti Ibu masih bisa berjuang,” tuturnya. Dari pekerjaan
sederhana itu, ia membiayai pendidikan Azil dari SD hingga SMA, dan terus
mendukung hingga ia berkuliah. Meski terbatas, sang ibu selalu berusaha agar
anak semata wayangnya tidak merasa kekurangan. “Yang penting Azil sekolah
dulu,” begitulah ucapnya setiap melihat anaknya merasa iba atas lelah yang ia
simpan.
Kini Azil duduk di bangku kuliah berkat kerja keras
sang ibu dan bantuan beasiswa KIP Kuliah yang meringankan beban keluarga. Namun
bagi Azil, penghargaan paling berharga bukanlah beasiswa itu, melainkan
kesempatan melihat ibunya tersenyum. Setiap langkah pendidikannya adalah hasil
dari keteguhan seorang perempuan yang enggan menyerah pada keadaan.
Kadang ingatannya kembali pada masa kecil: ibunya
pulang mengajar dengan tubuh letih, tetapi tetap membawa senyum hangat. Ia
duduk di samping Azil, menanyakan pelajaran sekolah, lalu bercerita tentang
murid-muridnya yang lucu dan penuh semangat mengaji. Dulu, Azil sering
bertanya-tanya dari mana ibunya memperoleh energi sebanyak itu. Kini ia
mengerti energi itu berasal dari cinta seorang ibu pada anak semata wayangnya.
Ibunya tidak hanya mengajarkan cara membaca
Al-Qur’an, tetapi juga mengajarkan cara membaca kehidupan. Dari perempuan
itulah Azil belajar bahwa kuat bukan berarti tidak pernah sedih, melainkan
tetap melangkah meski dunia terasa berat. Ia juga belajar bahwa rezeki akan
selalu ada selama hati tulus dan niat baik mengiringi setiap usaha.
Ketika tugas kuliah, penelitian, atau skripsi
membuat Azil lelah, ia selalu teringat pada sumber kekuatannya: seorang ibu
yang berjuang tanpa banyak suara. Semua langkahnya menuju gelar sarjana adalah
persembahan untuk perempuan yang bukan hanya menjadi guru mengaji bagi orang
lain, tetapi juga guru kehidupan bagi dirinya sendiri.
Pernah suatu hari ibunya berkata, “Nanti kalau Azil
sudah sukses, Ibu nggak mau apa-apa, cukup lihat kamu bahagia aja.” Namun Azil
tahu, kebahagiaannya tak akan lengkap tanpa melihat senyum bangga di wajah
ibunya. Karena sejauh apa pun ia melangkah, ia akan selalu kembali pada satu
sosok yang mengajarkannya arti tegar yaitu, ibunya.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?