FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Waktu menunjukkan pukul delapan,
saat matahari mulai naik perlahan dan cahaya hangatnya menembus jendela mobil. Musik
90 an menggema dan beradu dengan suara paman yang tengah merayapi setir Terios. Saat itu kami berdelapan, ada Saya, tiga
sepupu perempuan bernama Ira, Layla, dan Nafa, dua sepupu laki-laki bernama Abi
dan Shofi, bibi Faiq, dan tentunya paman Roziq. Kami memanfaatkan musim liburan
dengan mengunjungi wisata alam di Prigen bernama Jendela Langit yang
terletak di kaki gunung Ringgit dan gunung Arjuno pada Minggu, (16/05/2021).
Kebetulan cuaca saat itu sedang
cerah, kami berangkat dengan hati riang. Sepertiga perjalanan telah terlewati. Tetiba
mobil kami berhenti di tengah jalan. ”Sepertinya akinya bermasalah” ungkap
paman. Karena saat itu mobil kami tidak memungkinkan dikemudikan di tanjakan
terjal, kami putuskan untuk memarkirkan mobil di salah satu kenalan paman.
Selanjutnya kami menaiki Jeep
untuk meneruskan sisa perjalanan kami. Tentunya sopir telah tersedia dari
tempat wisata tersebut. Tempat duduk dalam Jeep tidak begitu luas, para
perempuan bertempat duduk di dalam. Sedangkan tiga lelaki sisanya berdiri di
belakang, termasuk pamanku. Saat itu, aku tengah duduk di samping sopir bersama
Ira, salah satu sepupu perempuanku.
Kami sungguh menikmati
perjalanan. Pepohonan rindang menjadi pemandangan utama kami sepanjang jalan.
Cahaya matahari merabah dedaunan di kanan jalan. Beberapa tanah telah
didatarkan dan dijadikan rumah makan. Sementara itu, di sebelah kiri hanya
terdapat jurang yang telah diberi pagar pembatas. Meskipun jalannya terjal,
kami cukup percaya kepada sopir yang bertugas. Toh, ia sudah pasti
berpengalaman. ”Nanti aku mau foto sama mas sopir ah” ucap Ira dalam hati.
Sekitar satu setengah kilo meter
berlalu, kami tengah asik mengobrol bersama pak sopir. Tetiba kami mendengar Srrrkkk...
suara besi menyeret aspal, memekik lirih di antara panas dan debu. Sontak
menghentikan jeep, sopir pun turun mencari sumber bunyi diantara mesin-mesin Jeep. Setelah dirasa temukan sumber kerusakan, ia
bergegas membenahinya dan kembali masuk ke dalam Jeep. Kami melanjutkan
perjalanan dengan sedikit lega, namun masih waswas.
Sepuluh menit berlalu, kami
berada di puncak tanjakan. Besi itu memekikkan suaranya lagi. Sopir kami
menghantikan Jeep kembali. Jemarinya menghantam rem dengan gemetar panik,
seolah waktu bisa dihentikan paksa. Salah seorang sepupuku melompat keluar
mencari batu agar jeep tidak bergerak mundur. Sopir kami pun keluar untuk
membenahi besi kembali. Setengah badannya masuk ke kolong Jeep, setengahnya
lagi masih tampak. Saat itu kami masih lengkap berada di atas Jeep, kecuali
mereka berdua. Berharap kerusakan mesin segera selesai, kami merapal segala doa
sambil menatap satu sama lain dengan muka yang sama paniknya.
Satu menit berlalu, kerusakan
Jeep tak kunjung terbenah. Seolah waktu ikut membeku di bawah terik matahari.
Batu pengganjal yang sejak tadi setia menahan beban enam manusia akhirnya
menyerah, retak, bergetar, lalu rebah dalam keluhan yang nyaris terdengar.
Dalam sekejap, tubuh Jeep berguncang dan bergerak mundur, pelan tapi pasti.
Panik menelan kami hidup-hidup.
Teriakan, doa, dan pekik ketakutan saling bertubrukan di udara. Setir berputar
liar, 360 derajat tanpa ampun, menyeret kami di ambang antara harap dan maut.
Aspal mengerang, digurat besi yang meraung. Dari bawah, sopir kami berjuang,
lengannya menegang, menahan tenaga terakhir yang ia punya. Jeep berbelok
setengah, namun cukup untuk menentukan takdir. Dalam satu hentakan, besi dan aspal
berpadu dalam dentum maut. Kami terperosok, Jeep menghantam pohon besar di kiri
jalan. ”Untung saja, jika kami berbelok beberapa langkah ke samping, kami akan
terjun bebas ke jurang” ucapku dalam hati.
Dunia mendadak sunyi, hanya
menyisakan suara napas yang terengah dan rasa selamat yang nyaris tak bisa
dipercaya. Tanpa pikir panjang, kami segera turun dari Jeep. Kami mendapati
bagian belakang Jeep mengepulkan asap putih. Seolah kesadaran kami tidak dapat
dipertanyakan waktu itu, kami hanya mematung tanpa sepatah kata pun. Tidak ada satu
pun goresan luka pada raga kami, badan Jeep pun demikian. Namun, tidak dengan
sopir. Ia mengalami patah tulang di bagian paha. Selang beberapa detik, entah
dari mana datangnya, banyak orang menyerbu tempat kami. Mendapati tujuh patung
pucat, mereka sontak menyodorkan air minum dan menenangkan jantung kami.
Sopir kami pun dibawa berobat ke
sangkal putung. Kami menunggu beberapa menit untuk Jeep pengganti, lengkap
dengan sopirnya. Selama sisa perjalanan, sopir baru menghempas ketegangan kami.
”Emang Jeep yang itu sudah lama buk, keluaran sekitar tahun 2013.” Ujar pak
sopir.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan
bahwa Jeep yang kami tumpangi sebelumnya juga sudah tidak beroperasi selama
beberapa bulan terakhir. Ia juga mengakui kecerobohan sopir atas pilihannya
dalam mengunakan Jeep itu kembali.
Akhirnya kami sampai ke tempat
tujuan, Jendela Langit. Kaki gunung yang kedinginan diselimuti rerumputan hijau
menghampar sejauh mata memandang. Seolah ketegangan yang telah kami alami
terbayarkan dengan pemandangan secantik itu. Kami mendapati beberapa spot
foto dengan latar gunung curam, kami takjub dibuatnya. Kabut tipis menari di
antara pinus, sementara cahaya matahari menembus celah ranting, jatuh lembut di
atas tanah yang lembap dan beraroma tanah basah.
Dari tepi bukit, hamparan awan
bergulung di bawah kaki, membuat kami serasa berdiri di antara bumi dan
nirwana. Udara berhembus pelan, membawa bisik alam yang menenangkan dada, kontras dari hiruk-pikuk dan ketegangan yang
baru kami tinggalkan. Setiap helaan napas terasa seperti jeda dari kehidupan. Seolah
alam sengaja membuka tirainya, memperlihatkan bahwa setelah kekacauan, selalu
ada tempat untuk kembali bernapas.
Tidak ingin berlarut, akhirnya
tawa kami kembali terdengar, pelan, tapi tulus seperti nada yang baru diingat
setelah lama hilang. Gurauan kecil bersahut dengan desir angin pegunungan yang
membawa aroma pinus dan tanah basah. Kami duduk di rerumahan kayu, membiarkan
mata telanjang memandang langit yang birunya nyaris tanpa cela. Di tengah bekas
kelelahan dan sisa debu di pakaian, kami memesan makanan ringan: roti yang
mulai mengeras, pisang yang sedikit lebam, dan air mineral yang sudah tak lagi
dingin. Anehnya, semuanya terasa nikmat. Mungkin karena kali ini, setiap suapan
adalah bentuk terima kasih atas selamatnya kami, atas kesempatan untuk masih
bisa menertawakan hidup.
Kami belajar bahwa hidup memang
tak selalu berjalan mulus seperti jalan beraspal kadang harus berbelok tajam,
menabrak, lalu berhenti untuk menyadari betapa berharganya setiap napas yang
tersisa. Pengalaman tersebut menciptakan ruang tersendiri di hati kami.
Kombinasi antara jeda dalam keheningan dan tawa yang masih tersisa di sela bincang
ringan kami menghadirkan rasa kompleks yang sulit dijelaskan, seperti tenang
yang lahir setelah badai reda. Di antara kabut yang perlahan naik dan cahaya
yang menembus pepohonan, kami menyadari bahwa seberat apa pun perjalanan yang
akan dilalui, akan selalu ada jalan pemulihan yang rela menerobos demi menemukan
kami.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?