Banner Iklan

Terperosok Jurang Langit

Admin JSN
27 November 2025 | 22.43 WIB Last Updated 2025-11-27T15:43:21Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Waktu menunjukkan pukul delapan, saat matahari mulai naik perlahan dan cahaya hangatnya menembus jendela mobil. Musik 90 an menggema dan beradu dengan suara paman yang tengah merayapi setir Terios. Saat itu kami berdelapan, ada Saya, tiga sepupu perempuan bernama Ira, Layla, dan Nafa, dua sepupu laki-laki bernama Abi dan Shofi, bibi Faiq, dan tentunya paman Roziq. Kami memanfaatkan musim liburan dengan mengunjungi wisata alam di Prigen bernama Jendela Langit yang terletak di kaki gunung Ringgit dan gunung Arjuno pada Minggu, (16/05/2021).

Kebetulan cuaca saat itu sedang cerah, kami berangkat dengan hati riang. Sepertiga perjalanan telah terlewati. Tetiba mobil kami berhenti di tengah jalan. ”Sepertinya akinya bermasalah” ungkap paman. Karena saat itu mobil kami tidak memungkinkan dikemudikan di tanjakan terjal, kami putuskan untuk memarkirkan mobil di salah satu kenalan paman.

Selanjutnya kami menaiki Jeep untuk meneruskan sisa perjalanan kami. Tentunya sopir telah tersedia dari tempat wisata tersebut. Tempat duduk dalam Jeep tidak begitu luas, para perempuan bertempat duduk di dalam. Sedangkan tiga lelaki sisanya berdiri di belakang, termasuk pamanku. Saat itu, aku tengah duduk di samping sopir bersama Ira, salah satu sepupu perempuanku.

Kami sungguh menikmati perjalanan. Pepohonan rindang menjadi pemandangan utama kami sepanjang jalan. Cahaya matahari merabah dedaunan di kanan jalan. Beberapa tanah telah didatarkan dan dijadikan rumah makan. Sementara itu, di sebelah kiri hanya terdapat jurang yang telah diberi pagar pembatas. Meskipun jalannya terjal, kami cukup percaya kepada sopir yang bertugas. Toh, ia sudah pasti berpengalaman. ”Nanti aku mau foto sama mas sopir ah” ucap Ira dalam hati.

Sekitar satu setengah kilo meter berlalu, kami tengah asik mengobrol bersama pak sopir. Tetiba kami mendengar Srrrkkk... suara besi menyeret aspal, memekik lirih di antara panas dan debu. Sontak menghentikan jeep, sopir pun turun mencari sumber bunyi diantara mesin-mesin Jeep.  Setelah dirasa temukan sumber kerusakan, ia bergegas membenahinya dan kembali masuk ke dalam Jeep. Kami melanjutkan perjalanan dengan sedikit lega, namun masih waswas.

Sepuluh menit berlalu, kami berada di puncak tanjakan. Besi itu memekikkan suaranya lagi. Sopir kami menghantikan Jeep kembali. Jemarinya menghantam rem dengan gemetar panik, seolah waktu bisa dihentikan paksa. Salah seorang sepupuku melompat keluar mencari batu agar jeep tidak bergerak mundur. Sopir kami pun keluar untuk membenahi besi kembali. Setengah badannya masuk ke kolong Jeep, setengahnya lagi masih tampak. Saat itu kami masih lengkap berada di atas Jeep, kecuali mereka berdua. Berharap kerusakan mesin segera selesai, kami merapal segala doa sambil menatap satu sama lain dengan muka yang sama paniknya.

Satu menit berlalu, kerusakan Jeep tak kunjung terbenah. Seolah waktu ikut membeku di bawah terik matahari. Batu pengganjal yang sejak tadi setia menahan beban enam manusia akhirnya menyerah, retak, bergetar, lalu rebah dalam keluhan yang nyaris terdengar. Dalam sekejap, tubuh Jeep berguncang dan bergerak mundur, pelan tapi pasti.

Panik menelan kami hidup-hidup. Teriakan, doa, dan pekik ketakutan saling bertubrukan di udara. Setir berputar liar, 360 derajat tanpa ampun, menyeret kami di ambang antara harap dan maut. Aspal mengerang, digurat besi yang meraung. Dari bawah, sopir kami berjuang, lengannya menegang, menahan tenaga terakhir yang ia punya. Jeep berbelok setengah, namun cukup untuk menentukan takdir. Dalam satu hentakan, besi dan aspal berpadu dalam dentum maut. Kami terperosok, Jeep menghantam pohon besar di kiri jalan. ”Untung saja, jika kami berbelok beberapa langkah ke samping, kami akan terjun bebas ke jurang” ucapku dalam hati.

Dunia mendadak sunyi, hanya menyisakan suara napas yang terengah dan rasa selamat yang nyaris tak bisa dipercaya. Tanpa pikir panjang, kami segera turun dari Jeep. Kami mendapati bagian belakang Jeep mengepulkan asap putih. Seolah kesadaran kami tidak dapat dipertanyakan waktu itu, kami hanya mematung tanpa sepatah kata pun. Tidak ada satu pun goresan luka pada raga kami, badan Jeep pun demikian. Namun, tidak dengan sopir. Ia mengalami patah tulang di bagian paha. Selang beberapa detik, entah dari mana datangnya, banyak orang menyerbu tempat kami. Mendapati tujuh patung pucat, mereka sontak menyodorkan air minum dan menenangkan jantung kami.

Sopir kami pun dibawa berobat ke sangkal putung. Kami menunggu beberapa menit untuk Jeep pengganti, lengkap dengan sopirnya. Selama sisa perjalanan, sopir baru menghempas ketegangan kami. ”Emang Jeep yang itu sudah lama buk, keluaran sekitar tahun 2013.” Ujar pak sopir.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa Jeep yang kami tumpangi sebelumnya juga sudah tidak beroperasi selama beberapa bulan terakhir. Ia juga mengakui kecerobohan sopir atas pilihannya dalam mengunakan Jeep itu kembali.

Akhirnya kami sampai ke tempat tujuan, Jendela Langit. Kaki gunung yang kedinginan diselimuti rerumputan hijau menghampar sejauh mata memandang. Seolah ketegangan yang telah kami alami terbayarkan dengan pemandangan secantik itu. Kami mendapati beberapa spot foto dengan latar gunung curam, kami takjub dibuatnya. Kabut tipis menari di antara pinus, sementara cahaya matahari menembus celah ranting, jatuh lembut di atas tanah yang lembap dan beraroma tanah basah.

Dari tepi bukit, hamparan awan bergulung di bawah kaki, membuat kami serasa berdiri di antara bumi dan nirwana. Udara berhembus pelan, membawa bisik alam yang menenangkan dada,  kontras dari hiruk-pikuk dan ketegangan yang baru kami tinggalkan. Setiap helaan napas terasa seperti jeda dari kehidupan. Seolah alam sengaja membuka tirainya, memperlihatkan bahwa setelah kekacauan, selalu ada tempat untuk kembali bernapas.

Tidak ingin berlarut, akhirnya tawa kami kembali terdengar, pelan, tapi tulus seperti nada yang baru diingat setelah lama hilang. Gurauan kecil bersahut dengan desir angin pegunungan yang membawa aroma pinus dan tanah basah. Kami duduk di rerumahan kayu, membiarkan mata telanjang memandang langit yang birunya nyaris tanpa cela. Di tengah bekas kelelahan dan sisa debu di pakaian, kami memesan makanan ringan: roti yang mulai mengeras, pisang yang sedikit lebam, dan air mineral yang sudah tak lagi dingin. Anehnya, semuanya terasa nikmat. Mungkin karena kali ini, setiap suapan adalah bentuk terima kasih atas selamatnya kami, atas kesempatan untuk masih bisa menertawakan hidup.

Kami belajar bahwa hidup memang tak selalu berjalan mulus seperti jalan beraspal kadang harus berbelok tajam, menabrak, lalu berhenti untuk menyadari betapa berharganya setiap napas yang tersisa. Pengalaman tersebut menciptakan ruang tersendiri di hati kami. Kombinasi antara jeda dalam keheningan dan tawa yang masih tersisa di sela bincang ringan kami menghadirkan rasa kompleks yang sulit dijelaskan, seperti tenang yang lahir setelah badai reda. Di antara kabut yang perlahan naik dan cahaya yang menembus pepohonan, kami menyadari bahwa seberat apa pun perjalanan yang akan dilalui, akan selalu ada jalan pemulihan yang rela menerobos demi menemukan kami.

---

Nur Fithriyatul Chasanah
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Terperosok Jurang Langit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now