Banner Iklan

Meracik Masa Depan di Dapur Ayam Geprek

Admin JSN
27 November 2025 | 22.27 WIB Last Updated 2025-11-27T15:27:21Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Sebelum azan subuh menggaungkan kemerduannya, gawai usang Ibu Sarmini telah lebih dahulu memecahkan keheningan. Di antara gelapnya malam, ada satu titik di sudut kota dengan sorot cahaya terang, titik itu adalah dapur perjuangannya.

Tangan-tangan cekatan itu mulai menari. Membelah puluhan kilogram ayam, meracik bumbu rahasia yang aromanya langsung menusuk hidung, dan menyiapkan wajan-wajan besar. Suara pisau beradu dengan talenan dan desis minyak yang mulai panas menjadi musik pengiring paginya. Ini adalah rutinitas. Sebuah maraton harian yang ia mulai tepat pukul setengah empat pagi, setiap hari, tanpa jeda.

Pekerjaan di dapur ini bukan sekadar persiapan untuk satu warung. Ini adalah jantung dari tiga cabang usaha ayam geprek yang ia bangun dari nol. Sebelas tahun lalu, setelah suaminya tak lagi menafkahi, Sarmini seorang diri harus menghidupi dua anaknya yang masih kecil.

Kini, bumbu yang ia ulek sebelum fajar itu akan menjadi bumbu 35 kilogram ayam geprek yang tersebar di tiga penjuru kota. Pekerjaan yang dulu ia mulai seorang diri, kini menghidupi 11 orang karyawan.

Sarmini masih ingat betul hari pertama ia membuka warung kecilnya 11 tahun silam. Berbekal resep seadanya dan tekad yang lebih besar dari modalnya, ia nekat memulai.

"Bukan 35 kilo seperti sekarang," kenangnya sambil tersenyum tipis. "Saya hanya berani membeli 5 kilogram ayam. Semua Saya kerjakan sendiri." ucapnya saat ditemui di salah satu kedainya, Lidah wetan, Lakarsantri, Surabaya, Rabu, 12 November 2025.

Ia merinci apa arti "sendiri" saat itu: belanja ke pasar sebelum matahari terbit, mengulek bumbu, menggoreng, melayani pembeli, hingga mencuci tumpukan piring kotor di akhir hari. Di sela-sela itu, ia masih harus memastikan kedua anaknya makan dan mengerjakan pekerjaan rumah.

"Laku 15 porsi sehari saja rasanya sudah bersyukur sekali. Sering pulang dengan kondisi masakan masih banyak. Sedih, tetapi saya tidak menyerah. Yang penting mereka bisa makan dan sekolah," ujarnya.

Akan tetapi, Ibu Sarmini punya satu modal yang tak pernah habis, yakni konsistensi. Sambalnya harus sama enaknya, ayamnya harus sama renyahnya, setiap hari. Pelanggan yang datang satu kali, datang kembali membawa teman.

Titik baliknya datang di tahun ketiga. Warungnya mulai ramai. Ia kewalahan.

"Saat itu saya pertama kali berani menggaji orang. Rasanya bangga sekali," katanya. "Saya tidak lagi berjuang sendirian. Dari 'saya' menjadi 'kami'."

Dari 5 kilogram, perlahan naik menjadi 10 kilogram. Tabungan dikumpulkan sedikit demi sedikit, bukan untuk kemewahan, tapi untuk memutar roda usaha lebih besar. Ia memberanikan diri membuka cabang kedua, lalu di tahun kesembilan, cabang ketiga.

Itu bukan keajaiban. Itu adalah hasil dari ribuan pagi buta, manajemen keuangan yang ketat, dan keberanian seorang ibu yang menolak menyerah pada nasib.

Kini, di dapurnya pukul 03:30 pagi, ia adalah seorang komandan. Lima karyawan membantunya, sedangkan enam yang lain tersebar di tiga cabangnya. Sarmini tidak hanya menghidupi keluarganya, ia menciptakan lapangan kerja.

Keringat yang menetes sejak subuh itu telah menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Anak sulungnya kini duduk di bangku kuliah, dan si bungsu berseragam SMA.

Pukul 10 pagi, saat panci-panci bersih dan 35 kilogram ayam berbumbu siap didistribusikan, pekerjaan Sarmini belum selesai. Dia berganti peran. Dari koki di pagi buta, menjadi manajer di siang hari.

Ia berkeliling ke tiga cabangnya, memastikan kasir beres, menyapa pelanggan, dan menjaga standar rasa.

Pukul sembilan malam. Tiga warung telah tutup. Sarmini duduk sejenak di salah satu kursinya yang kosong, melepas lelah yang tertahan belasan jam.

11 tahun, nyaris 18 jam sehari. Apa yang membuatnya terus kuat?

"Orang bilang saya sukses. Saya tidak tahu," ujarnya pelan. "Bagi saya, kompor ini harus terus menyala. Ini bukan cuma soal ayam geprek, ini soal masa depan anak-anak."

Ia berhenti sejenak, menatap ke arah warungnya yang sudah rapi.

"Capek itu pasti, tapi melihat mereka bisa sekolah dan karyawan saya bisa berpenghasilan, capek saya lunas," pungkasnya.

---

Herlina Devi Lestari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Meracik Masa Depan di Dapur Ayam Geprek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now