Banner Iklan

Kegagalan adalah Guru Terbaik: Kisah Bangkit dari Keterpurukan Nilai Ujian

Admin JSN
27 November 2025 | 22.20 WIB Last Updated 2025-11-27T15:20:53Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Bau buku usang dan papan tulis yang menguar di gedung sekolah favorit itu seharusnya menjadi motivasi, bukan sarang kesombongannya. Dhira remaja dengan otak cemerlang, sejak awal tahu bahwa ia berada di sana berkat nilai tes yang menjulang. Namun, bagi Dhira di bangku kelas 9 SMP, kepintaran adalah takdir, bukan hasil usaha yang konsisten. Ia merasa sudah berada di puncak, dan sayangnya, sikap itulah yang kemudian menjerumuskannya.

Saat itu, Ujian Nasional (UN) masih menjadi momok bagi siswa akhir. Tapi Dhira, dengan kepercayaan diri yang berlebihan, hanya belajar seadanya. “Ah, sudah pasti lulus dan dapat nilai bagus. Aku kan pintar,” mungkin begitulah bisikan sombong yang kerap ia dengar di telinga sendiri. Ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal-hal lain yang terasa lebih menyenangkan daripada bergelut dengan rumus-rumus dan teori. Ia lupa, bahwa kepintaran tanpa ketekunan hanyalah bakat yang tertidur.

Akibat dari kemalasan yang berlumur kesombongan itu akhirnya datang. Hasil UN-nya jauh dari kata memuaskan. Dalam sistem pendidikan yang baru memperkenalkan zonasi di Surabaya kala itu. Impian Dhira sangat sederhana yakni melanjutkan ke SMA Negeri favorit yang letaknya hanya sepelemparan batu dari rumah. Ia sudah membayangkan betapa mudahnya kehidupan sekolah barunya nanti, tidak perlu repot dengan transportasi, dan bisa menikmati waktu santai lebih banyak.

Namun, realita menamparnya dengan keras. “Tidak Diterima.”

Dua kata sederhana yang terasa seperti jutaan pecahan kaca menghujam ulu hati. Segala harapan, impian, dan citra diri sebagai siswa pintar, runtuh dalam sekejap. Namanya tidak tertera dalam daftar siswa yang diterima di SMA Negeri dekat rumah. Bahkan, peluangnya tertutup di hampir semua sekolah negeri yang menjadi incarannya. Rasa kecewa itu bukan hanya miliknya. Orang tuanya pun merasakan kesedihan yang sama. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya keputusan pahit harus diambil akhirnya Dhira akan bersekolah di SMA swasta.

Di satu sisi, ia sangat berterima kasih karena orang tuanya tetap memfasilitasinya pendidikan dengan layak, namun di sisi lain, ia didera gelombang emosi yang tak tertahankan. Kecewa, sedih, dan yang paling menyakitkan adalah marah pada diri sendiri. Kemarahan itu memuncak karena ia tahu, kegagalan ini adalah murni hasil dari kecerobohan dan sikap angkuhnya di masa lalu.

Titik nadir itu, alih-alih melumpuhkannya, justru menjadi pemicu ledakan energi luar biasa. Kekalahan di jenjang SMP menumbuhkan sebuah tekad baru yang membaja dalam diri Dhira. Ia memutuskan, pengalaman pahit itu tidak boleh terulang. Sejak menginjakkan kaki di bangku SMA swasta, Dhira yang lama telah mati, berganti menjadi sosok yang haus akan ilmu dan prestasi. Ia mulai menata kembali prioritasnya. Belajar bukan lagi menjadi beban atau pekerjaan sambilan, melainkan kebutuhan mendasar dan jalan penebusan dosa masa lalu. Ia mulai rajin mengikuti pelajaran, tekun membaca buku, dan bersungguh-sungguh dalam setiap tugas yang diberikan.

Perubahan drastis ini rupanya menarik perhatian teman-temannya. Ia yang dulunya santai dan terkesan malas-malasan, kini menjelma menjadi siswa paling gigih dan fokus. Alhasil, sebuah julukan baru pun lahir dan melekat padanya: “Dhira si ambis.” Julukan itu diterima Dhira dengan lapang dada. Baginya, "ambis" adalah pengakuan atas perjuangannya, sebuah penanda bahwa ia telah benar-benar berubah. Ia tidak pernah lagi malas. Konsistensi menjadi mantra barunya, dari kelas 10, 11, hingga kelas 12. Ia berjuang keras untuk membuktikan, bahwa kegagalan di masa lalu tidak mendefinisikan masa depannya.

Setiap lembar buku yang ia baca, setiap latihan soal yang ia kerjakan, terasa seperti upaya menebus waktu yang telah terbuang sia-sia. Ia belajar dengan cerdas dan ulet, tidak hanya demi nilai, tetapi juga demi menggapai cita-cita yang selama ini ia impikan.

Perjuangan yang konsisten itu akhirnya berbuah manis di penghujung masa SMA. Kesempatan kedua datang dalam bentuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), jalur prestasi yang didasarkan pada rapor dan rekam jejak akademik. Dhira yang kini matang dan bertanggung jawab, mengisi formulir pendaftaran dengan penuh harap. 

Dhira memilih program studi yang benar-benar ia minati: Bahasa dan Sastra Indonesia, di salah satu universitas negeri ternama di Surabaya, Universitas Negeri Surabaya. Beberapa waktu kemudian, saat pengumuman tiba, Dhira membuka laman pengumuman dengan dada berdebar kencang. Kali ini, ia tidak lagi sombong, hanya ada ketulusan dan doa dalam hatinya.

Dan akhirnya, layar menampilkan kata yang ia tunggu-tunggu: DITERIMA!

Tangis haru pun pecah. Bukan tangis kekalahan, melainkan tangis kemenangan dan rasa syukur yang tak terhingga. Dhira akhirnya berhasil membalikkan keadaan. Ia membuktikan, meskipun harus menempuh jalan memutar melalui sekolah swasta, kegigihan dan tekad yang kuat akan selalu menemukan jalannya.


Kisah Dhira adalah pengingat berharga bagi siapa saja, bahwa kegagalan adalah guru terbaik, dan bahwa tidak ada kata terlambat untuk bangkit dari penyesalan. Nilai UN yang jelek dan kegagalan masuk sekolah impian adalah bayangan masa lalu yang kelam, namun telah berhasil ia ubah menjadi modal perjuangan yang membuahkan hasil luar biasa. Ia membuktikan, julukan "si ambis" adalah sebuah mahkota, yang ia raih dengan keringat dan tekad untuk tidak pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama.

---

Shella Sanggam Prameswari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kegagalan adalah Guru Terbaik: Kisah Bangkit dari Keterpurukan Nilai Ujian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now