Banner Iklan

Dari Gedung Kusam Itu, Kami Belajar Tentang Harapan

Admin JSN
27 November 2025 | 22.14 WIB Last Updated 2025-11-27T15:14:38Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Bayangkan sebuah gedung empat lantai berdiri di tepi jalan cukup lebar di kawasan utara Surabaya. Sekilas, tampak tak ada yang berbeda, catnya mulai kusam, jendelanya sedikit kehilangan kilaunya. Namun sekolah ini berada di tengah wilayah yang oleh warga disebut sebagai “zona merah”, area yang masih bergulat dengan maraknya peredaran dan penggunaan narkoba. Di tengah lingkungan yang keras itu, gedung ini menjadi ruang aman bagi puluhan anak, tempat mereka menapaki tangga-tangga pendidikan dari masa bermain menuju mimpi masa depan.

Di sanalah, selama empat bulan pada semester lima, langkah kami lima mahasiswa penuh semangat bertemu dengan kenyataan yang tak pernah kami bayangkan. Datang dengan membawa rencana pembelajaran dan idealisme, kami justru disambut oleh kisah-kisah yang diam-diam bersembunyi di balik dinding kusam sekolah ini.

Ini bukan sekadar laporan program Kampus Mengajar. Ini adalah fragmen kehidupan yang kami alami secara langsung: ruang kelas tanpa listrik, kamar mandi yang gelap dan pengap, serta tiga siswa yang mengeja nama mereka dengan getaran kecil di bibir. Di tengah semua itu, kami belajar bahwa mengajar bukan tentang siapa yang paling pintar atau fasilitas apa yang tersedia; mengajar adalah kesediaan untuk hadir sepenuh hati.

Udara panas menyergap begitu kami menapaki lorong pertama,lorong sempit yang menjadi penghubung antara riuhnya masa kanak-kanak dan dunia remaja yang mulai tumbuh. Lantai satu menggema oleh tawa TK. Lantai dua dipenuhi suara lantang siswa SD yang belajar membaca. Memanjat ke lantai tiga dan empat, suasana berubah menjadi bisik-bisik jenak dari siswa SMP dan SMK yang bergantian menggunakan ruang kelas yang sama.

Sebuah ekosistem pendidikan yang unik, ramai, padat, penuh harapan, tetapi juga memanggil rasa iba. “Selamat datang di dunia di mana satu LCD adalah harta karun,” ujar seorang guru sambil tersenyum-senyum yang mengandung getir sekaligus keteguhan. LCD itu memang kecil dan buram, seperti peninggalan masa lalu. Di sekolah ini, spidol dan papan tulis adalah sahabat setia, sementara perangkat digital hanyalah mimpi yang kadang datang, kadang pergi terutama ketika listrik pun tak selalu hadir.

Di lantai empat, stop kontak hanya sebatas lubang harapan yang tak berfungsi. Kelas 8 dan 9 belajar hanya ditemani cahaya matahari yang masuk dari jendela, sementara proyektor dan laptop kami terpaksa bisu. Tapi menyerah bukan pilihan. Kami memutar otak.

Jika kelas 7 salah satu kelas yang masih memiliki aliran listrik sedang kosong, kami relakan untuk dipinjamkan kepada kelas lain. Jadwal kami ubah, materi kami sesuaikan. Proyektor portable yang disediakan oleh sekolah menyala redup, tetapi cukup untuk memantulkan semangat yang tampak pada mata para siswa. Dan dari situ kami belajar satu hal: fasilitas boleh terbatas, tapi kreativitas punya cara untuk menemukan cahaya.

Namun tantangan terbesar tak pernah bersembunyi di dinding yang mengelupas atau kamar mandi yang menahan napas. Tantangan itu duduk rapi di bangku-bangku kecil kelas VIII, menatap kami dengan mata yang lelah tapi penuh harapan. Ada tiga di antaranya yang mencuri hati kami: Tania, Jamal, dan Arfan.

Di usia yang seharusnya lancar membaca, mereka masih berjuang menyambung suku kata. Menulis seperti bertarung dengan huruf-huruf yang tak mau jinak. Berhitung di atas angka sepuluh terasa seperti teka-teki rumit dari dunia lain. Kadang, rasanya seperti hendak memindahkan gunung. Bagaimana mengejar target literasi dan numerasi jika fondasinya saja masih goyah?

Tapi di situlah perjalanan kami bermula. Kami bentuk kelompok kecil. Setiap hari, saat pelajaran berlangsung, kami duduk melingkar, kadang di kursi ruang guru yang terbatas, kadang juga duduk di lantai perpustakaan yang bukunya terbatas. Kami ajak mereka bermain dengan kata. Kami ajarkan berhitung dengan jari. Kami ulang, ulang, dan ulang lagi, sesabar batu karang menunggu pasang surut.

Ada hari ketika air mata kesal hampir jatuh.

Ada hari ketika kami pulang dengan kepala penuh tanya.

Namun ada juga hari ketika suara sorak kecil meledak: Tania berhasil membaca satu kalimat penuh tanpa berhenti. Saat itu, rasanya seperti menyaksikan matahari terbit setelah malam panjang.

Mayoritas siswa di sekolah ini bukan mereka yang digadang-gadang meraih ranking. Latar belakang mereka beragam, kemampuan mereka berbeda jauh. Kami belajar menjadi lebih dari sekadar guru: kami harus menjadi kakak, pendengar, bahkan teman bermain.

Perubahan memang tak datang seperti badai. Ia datang seperti embun pelan, nyaris tak terasa, tapi perlahan membasahi permukaan.

Anak-anak yang dulu malu-malu mulai berani mengacungkan tangan.

Anak-anak yang awalnya acuh mulai tertarik ketika kami membawa permainan edukatif sederhana.

LCD buram itu bukan lagi sekadar perangkat usang, ia berubah menjadi jendela kecil ke dunia yang lebih luas bagi mereka.

Di balik semua itu, perubahan paling besar malah tumbuh pada diri kami. Empat bulan di sekolah itu mengajari kami arti ketangguhan: bahwa semangat tidak boleh padam hanya karena terbatasnya sumber listrik, bahwa teknologi bukan satu-satunya jalan agar pembelajaran hidup, dan bahwa ada guru-guru hebat yang tetap mengabdi meski segala fasilitas serba minim.

Gedung empat lantai itu mungkin tidak akan menjadi sekolah megah. Catnya mungkin akan tetap mengelupas, beberapa lampu tetap tidak menyala. Tapi di dalamnya, harapan tumbuh dalam bentuk tiga siswa yang mulai lancar membaca dan puluhan mata yang berbinar ketika diajak belajar dengan cara baru.

Kami meninggalkan sekolah itu bukan hanya dengan sertifikat. Kami pergi membawa kenangan, kehangatan, dan pelajaran tentang ketulusan. Sebab kami sadar bahwa dunia tidak berubah oleh satu tindakan besar, tetapi oleh rangkaian aksi kecil yang dikerjakan dengan hati. Dan di sekolah itu… hati kami lah yang paling banyak belajar. Terima kasih banyak untuk rekan-rekan saya yang sangat hebat dan sabarnya seluas samudera, terima kasih juga sudah berusaha dengan tulus selama empat bulan ini di projek Kampus Mengajar ini.

---

Nadhira Nazharani Najmah
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dari Gedung Kusam Itu, Kami Belajar Tentang Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now