FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Bayangkan sebuah gedung empat lantai berdiri di tepi jalan
cukup lebar di kawasan utara Surabaya. Sekilas, tampak tak ada yang berbeda,
catnya mulai kusam, jendelanya sedikit kehilangan kilaunya. Namun sekolah ini
berada di tengah wilayah yang oleh warga disebut sebagai “zona merah”, area
yang masih bergulat dengan maraknya peredaran dan penggunaan narkoba. Di tengah
lingkungan yang keras itu, gedung ini menjadi ruang aman bagi puluhan anak, tempat mereka
menapaki tangga-tangga pendidikan dari masa bermain menuju
mimpi masa depan.
Di sanalah, selama empat bulan pada semester lima, langkah
kami lima
mahasiswa penuh semangat bertemu dengan kenyataan yang tak pernah kami bayangkan. Datang dengan
membawa rencana pembelajaran dan idealisme, kami justru disambut oleh
kisah-kisah yang diam-diam bersembunyi di balik dinding kusam sekolah ini.
Ini bukan sekadar laporan program Kampus Mengajar. Ini
adalah fragmen kehidupan yang kami alami secara langsung: ruang kelas tanpa
listrik, kamar mandi yang gelap dan pengap, serta tiga siswa yang mengeja
nama mereka dengan getaran kecil di bibir. Di tengah semua itu, kami belajar
bahwa mengajar bukan tentang siapa yang paling pintar atau fasilitas apa yang
tersedia; mengajar adalah kesediaan untuk hadir sepenuh hati.
Udara panas menyergap begitu kami menapaki lorong pertama,lorong sempit yang
menjadi penghubung antara riuhnya masa kanak-kanak dan dunia remaja yang mulai
tumbuh. Lantai
satu menggema oleh tawa TK. Lantai dua dipenuhi suara lantang siswa SD yang belajar membaca. Memanjat ke lantai
tiga dan empat, suasana berubah menjadi bisik-bisik jenak dari siswa SMP dan
SMK yang bergantian menggunakan ruang kelas yang sama.
Sebuah ekosistem pendidikan yang unik, ramai, padat, penuh
harapan, tetapi juga memanggil rasa iba. “Selamat datang di dunia di mana satu LCD adalah
harta karun,” ujar seorang guru sambil tersenyum-senyum yang mengandung getir
sekaligus keteguhan. LCD itu memang kecil dan buram, seperti peninggalan masa
lalu. Di sekolah ini, spidol dan papan tulis adalah sahabat setia, sementara
perangkat digital hanyalah mimpi yang kadang datang, kadang pergi terutama ketika
listrik pun tak selalu hadir.
Di lantai empat, stop kontak hanya sebatas lubang harapan yang tak
berfungsi. Kelas 8 dan 9 belajar hanya ditemani cahaya matahari yang masuk dari
jendela, sementara proyektor dan laptop kami terpaksa bisu. Tapi menyerah bukan
pilihan. Kami memutar otak.
Jika kelas 7 salah satu kelas yang masih memiliki aliran listrik sedang kosong, kami
relakan untuk dipinjamkan kepada kelas lain. Jadwal kami ubah, materi kami
sesuaikan. Proyektor portable yang disediakan oleh sekolah menyala redup, tetapi cukup
untuk memantulkan semangat yang tampak pada mata para siswa. Dan dari situ kami
belajar satu hal: fasilitas boleh terbatas, tapi kreativitas punya cara untuk
menemukan cahaya.
Namun tantangan terbesar tak pernah bersembunyi di dinding
yang mengelupas atau kamar mandi yang menahan napas. Tantangan itu duduk rapi
di bangku-bangku kecil kelas VIII, menatap kami dengan mata yang lelah tapi
penuh harapan. Ada tiga di antaranya yang mencuri hati kami: Tania, Jamal, dan Arfan.
Di usia yang seharusnya lancar membaca, mereka masih
berjuang menyambung suku kata. Menulis seperti bertarung dengan huruf-huruf
yang tak mau jinak. Berhitung di atas angka sepuluh terasa seperti teka-teki
rumit dari dunia lain. Kadang, rasanya seperti hendak memindahkan gunung. Bagaimana mengejar target
literasi dan numerasi jika fondasinya saja masih goyah?
Tapi di situlah perjalanan kami bermula. Kami bentuk kelompok
kecil. Setiap hari, saat pelajaran berlangsung, kami duduk melingkar, kadang di kursi ruang guru yang terbatas, kadang juga duduk di lantai
perpustakaan yang bukunya
terbatas. Kami ajak mereka bermain dengan kata. Kami
ajarkan berhitung dengan jari. Kami ulang, ulang, dan ulang lagi, sesabar batu
karang menunggu pasang surut.
Ada hari ketika air mata kesal hampir jatuh.
Ada hari ketika kami pulang dengan kepala penuh tanya.
Namun ada juga hari ketika suara sorak kecil meledak: Tania
berhasil membaca satu kalimat penuh tanpa berhenti. Saat itu, rasanya seperti
menyaksikan matahari terbit setelah malam panjang.
Mayoritas siswa di sekolah ini bukan mereka yang
digadang-gadang meraih ranking. Latar belakang mereka beragam, kemampuan mereka
berbeda jauh. Kami belajar menjadi lebih dari sekadar guru: kami harus menjadi
kakak, pendengar, bahkan teman bermain.
Perubahan memang tak datang seperti badai. Ia datang
seperti embun pelan, nyaris tak terasa, tapi perlahan membasahi permukaan.
Anak-anak yang dulu malu-malu mulai berani mengacungkan
tangan.
Anak-anak yang awalnya acuh mulai tertarik ketika kami
membawa permainan edukatif sederhana.
LCD buram itu bukan lagi sekadar perangkat usang, ia berubah menjadi
jendela kecil ke dunia yang lebih luas bagi mereka.
Di balik semua itu, perubahan paling besar malah tumbuh
pada diri kami. Empat bulan di sekolah itu mengajari kami arti ketangguhan: bahwa
semangat tidak boleh padam hanya karena terbatasnya sumber listrik, bahwa teknologi bukan
satu-satunya jalan agar pembelajaran hidup, dan bahwa ada guru-guru hebat yang
tetap mengabdi meski segala fasilitas serba minim.
Gedung empat lantai itu mungkin tidak akan menjadi sekolah
megah. Catnya mungkin akan tetap mengelupas, beberapa lampu tetap tidak
menyala. Tapi di dalamnya, harapan tumbuh dalam bentuk tiga siswa yang mulai lancar membaca dan
puluhan mata yang berbinar ketika diajak belajar dengan cara baru.
Kami meninggalkan sekolah itu bukan hanya dengan sertifikat. Kami pergi membawa
kenangan, kehangatan, dan pelajaran tentang ketulusan. Sebab kami sadar bahwa dunia tidak
berubah oleh satu tindakan besar, tetapi oleh rangkaian aksi kecil yang
dikerjakan dengan hati. Dan di sekolah itu… hati kami lah yang paling banyak belajar. Terima kasih banyak untuk rekan-rekan
saya yang sangat hebat dan sabarnya seluas samudera, terima kasih juga sudah
berusaha dengan tulus selama empat bulan ini di projek Kampus Mengajar ini.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?