Banner Iklan

Pahitnya Sambiloto Mengantarkan Cerita Berharga dalam Kegiatan Pramuka

Admin JSN
27 November 2025 | 10.17 WIB Last Updated 2025-11-27T03:17:39Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pramuka mungkin diartikan dengan kegiatan tepuk tangan, yel-yel, atau mendirikan tenda di lapangan sekolah. Tidak mungkin terdapat kegiatan yang ekstrem dan di luar nalar murid kelas 10 SMA. Namun, sedikit berbeda bagi Dewi dan rekan-rekan satu ambalannya. Pramuka adalah kanvas yang dilukis dengan lumpur, peluh, dan darah. Seorang remaja yang mungkin awalnya hanya penasaran, Dewi bertransformasi menjadi pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, dan mencintai alam. 

Tak pernah terpikirkan oleh Dewi bahwa ia akan mendapatkan pembelajaran yang sangat di luar perkiraannya. Hal ini didapatkannya dari kegiatan Pramuka. Dewi ingat sekali pembelajaran pertamanya adalah survival. Materi itu umumnya mengajarkan cara bertahan hidup apabila mereka tersesat di dalam hutan.

Ini bukan adegan dalam film petualangan, melainkan sepenggal memoar dari masa pengabdiannya di ambalan pramuka SMA. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengajarkannya bertahan hidup di hutan, tetapi juga menempa mental dan karakternya di tengah terik matahari serta guyuran hujan badai.

Akan tetapi, survival ala ambalannya bukan sekadar teori tanpa kegiatan praktis untuk dapat diamalkan ketika mereka benar-benar tersesat di hutan. Ia dan rekan-rekannya diperkenalkan pada sebuah tantangan yang bagi banyak orang adalah mimpi buruk, yaitu menangkap dan mengonsumsi ular. Ular yang dimaksud juga bukan main-main, ular itu adalah ular kobra.

Pembina yang sangat berilmu itu membagikan tata cara menangkap ular kobra dengan tangan kosong, kemudian Dewi dan rekan-rekan juga mendapat ilmu bagaimana cara memotong batas racun pada ular kobra sehingga ular itu benar-benar bisa disebut sebagai makanan layak konsumsi. Prosesnya brutal dan primitif, sebuah ujian mental yang sesungguhnya.

Kemudian Pembina mereka yang tak pelit ilmu, membagikan cara menguliti ular dengan menggigit ujung kulit ular dan mengonsumsi darah ular tersebut. Lalu, ular tersebut tak disia-siakan sehingga menjadi olahan rica-rica. itu adalah kali pertama Dewi mengonsumsi ular. Mungkin ini bisa disebut pengalaman yang sangat dramatis dengan cita rasa petualangan yang sangat kental.

Kisah ular kobra itu bukanlah kejutan. Itu adalah hasil dari sebuah proses, sebuah persiapan yang tak kenal lelah. Jika materi survival adalah ujiannya, maka latihan fisik harian adalah kurikulum wajibnya. Setiap hari, sepulang sekolah pada panasnya matahari di pukul dua siang yang menghantarkan ilmu berharga bagi Dewi dan rekan-rekannya.

Lonceng sekolah berdentang, menandakan akhir pelajaran. Saat siswa-siswa lain berhamburan keluar gerbang, mencari semilir angin atau es the dingin di kantin, Dewi dan rekan lainnya justru baru memulai "pelajaran" mereka. Membayangkan seberapa terik sinar di siang hari saja belum cukup untuk merasakan apa yang dirasakan oleh Dewi dan rekannya.

Udara terasa berat dan kulit menjadi lengket. Di tengah kondisi itu, mereka berlari memutar komplek perumahan, derap langkah mereka terdengar serempak di atas aspal yang membara. Ini bukanlah akhir, melainkan pembuka saja. Lari selesai, dilanjutkan dengan push-up hingga lengan gemetar hebat, sit-up hingga bangun tidur menjadi gusar, dan serangkaian latihan fisik lain yang dirancang untuk mendorong mereka melampaui batas nyaman.

Semua itu adalah percobaan sebelum mereka dibawa langsung pada lokasi yang sesungguhnya. Itu adalah kawah Candradimuka. Kegiatan mereka adalah daftar petualangan yang akan membuat banyak orang bergidik ngeri. Canyoneering adalah nama kegiatan itu. Keseluruhannya adalah menelusuri sungai di dalam ngarai, meniti tali prusik dan terjun dari tebing, memanjat papan panjat, serangkaian pendakian, perkemahan, dan puluhan lomba yang menguji keterampilan.

Ilmu yang tadi mungkin sudah cukup membuat orang lain berpikir kembali, mereka juga diajari menjadi pemadam api hanya dengan karung goni basah hingga keterampilan membuat relief kolam ikan di Minggu pagi. Pramuka, dalam definisi ambalan ini, adalah tentang pengabdian. Fisik mereka ditempa bukan untuk kesombongan, melainkan untuk pelayanan.

Tak hanya petualangan liar yang dilakukan oleh mereka, tetapi ambalan mereka juga kerap ikut kegiatan sosial, seperti galang dana untuk korban bencana, dan mengajar adik-adik SMK terkait materi dasar Pramuka. Mereka adalah pasukan muda yang tenaganya meluap-luap, disalurkan ke dalam disiplin, petualangan, dan pengabdian. Namun, dari semua pelatihan keras dan petualangan mendebarkan itu, ada satu memori yang terpatri paling dalam, sebuah pengalaman yang definisinya adalah "ujian".

Adapun kisah mereka di Pacet, daerah pegunungan yang sejuk itu seharusnya menjadi tempat perkemahan yang menyenangkan. Kenangan itu bukan karena pemandangannya yang indah, tetapi karena ujian fisik dan mental yang mereka hadapi. Bagi angkatan Dewi, Pacet adalah nama lain dari penyiksaan yang dingin dan basah. Mereka tiba bersamaan dengan hujan badai. Langit seolah menumpahkan seluruh airnya.

Bermula dengan kegiatan mendirikan tenda dibarengi derasnya guyuran hujan badai sehingga tak banyak tenda yang sudi untuk berdiri melindungi mereka. Alam keadaan basah kuyup dan kedinginan, mereka harus menyiapkan makan malam. Namun, menu yang disajikan jauh dari kata “hangat”. Dewi mengingat betul makanan apa yang dimakan setelah badai singkat itu.

Makanan yang harus mereka makan adalah tahu, tempe rebus yang dibentuk segitiga dengan ukuran 3x3 sentimeter, sawi rebus. Kuah yang digunakan untuk nasi adalah rebusan sambiloto. Rasa pahit sambiloto, sejenis tanaman herbal, begitu kuat dan melekat dalam ingatannya. Bahkan terpaut 6 tahun setelahnya, Dewi masih bisa merasakan pahit di kuah di ujung lidah yang menemaninya kala itu.

Ujian belum berakhir. Setelah menyelesaikan serangkaian kegiatan seperti tali-temali dan membuat pioneering. Gelap malam menjadi teman, mereka dibangunkan untuk sebuah kegiatan yang tak diduga-duga. Tidak untuk berpindah pada tempat yang hangat dan nyaman, mereka dibangunkan untuk berguling-guling di area berlumpur yang curam ke bawah. Setelah itu, mereka harus berjalan menuju air terjun yang dingin dan berendam.

Di tengah segala kesibukan dan tantangan fisik, Dewi juga dipercaya memegang peran penting dalam organisasi ambalannya. Ia diamanahi menjadi bendahara, bagian dari inti ambalan yang bertugas mengatur keuangan. Dari semua materi yang dipelajari, survival menjadi bidang yang paling dikuasainya. Pengetahuan itu memberinya rasa percaya diri. 

Bagi Dewi, ambalan adalah sekolah kehidupan yang sebenarnya. Di sana, ia belajar manajemen waktu yang efektif, tanggung jawab yang tidak bisa ditawar, kekuatan mental untuk menghadapi tekanan, dan tentu saja, fisik yang lebih sehat dan tangguh. Warisan terindah dari pengalamannya di pramuka adalah kecintaan baru pada alam.

---

Belvana Cetta Ugama
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pahitnya Sambiloto Mengantarkan Cerita Berharga dalam Kegiatan Pramuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now