FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pramuka mungkin diartikan dengan kegiatan tepuk tangan, yel-yel, atau mendirikan tenda di lapangan sekolah. Tidak mungkin
terdapat kegiatan yang ekstrem dan di luar nalar murid kelas 10 SMA. Namun,
sedikit berbeda bagi Dewi dan rekan-rekan satu ambalannya. Pramuka adalah
kanvas yang dilukis dengan lumpur, peluh, dan darah. Seorang remaja yang
mungkin awalnya hanya penasaran, Dewi bertransformasi menjadi pribadi yang
tangguh, bertanggung jawab, dan mencintai alam.
Tak pernah terpikirkan
oleh Dewi bahwa ia akan mendapatkan pembelajaran yang sangat di luar
perkiraannya. Hal ini didapatkannya dari kegiatan Pramuka. Dewi ingat sekali
pembelajaran pertamanya adalah survival. Materi itu umumnya mengajarkan
cara bertahan hidup apabila mereka tersesat di dalam hutan.
Ini bukan adegan dalam
film petualangan, melainkan sepenggal memoar dari masa pengabdiannya di ambalan
pramuka SMA. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengajarkannya bertahan hidup
di hutan, tetapi juga menempa mental dan karakternya di tengah terik matahari
serta guyuran hujan badai.
Akan tetapi, survival ala
ambalannya bukan sekadar teori tanpa kegiatan praktis untuk dapat diamalkan
ketika mereka benar-benar tersesat di hutan. Ia dan rekan-rekannya
diperkenalkan pada sebuah tantangan yang bagi banyak orang adalah mimpi buruk,
yaitu menangkap dan mengonsumsi ular. Ular yang dimaksud juga bukan main-main,
ular itu adalah ular kobra.
Pembina yang sangat
berilmu itu membagikan tata cara menangkap ular kobra dengan tangan kosong,
kemudian Dewi dan rekan-rekan juga mendapat ilmu bagaimana cara memotong batas
racun pada ular kobra sehingga ular itu benar-benar bisa disebut sebagai
makanan layak konsumsi. Prosesnya brutal dan primitif, sebuah ujian mental yang
sesungguhnya.
Kemudian Pembina mereka
yang tak pelit ilmu, membagikan cara menguliti ular dengan menggigit ujung
kulit ular dan mengonsumsi darah ular tersebut. Lalu, ular tersebut tak
disia-siakan sehingga menjadi olahan rica-rica. itu adalah kali pertama Dewi
mengonsumsi ular. Mungkin ini bisa disebut pengalaman yang sangat dramatis
dengan cita rasa petualangan yang sangat kental.
Kisah ular kobra itu
bukanlah kejutan. Itu adalah hasil dari sebuah proses, sebuah persiapan yang
tak kenal lelah. Jika materi survival adalah ujiannya, maka latihan
fisik harian adalah kurikulum wajibnya. Setiap hari, sepulang sekolah pada
panasnya matahari di pukul dua siang yang menghantarkan ilmu berharga bagi Dewi
dan rekan-rekannya.
Lonceng sekolah
berdentang, menandakan akhir pelajaran. Saat siswa-siswa lain berhamburan
keluar gerbang, mencari semilir angin atau es the dingin di kantin, Dewi dan rekan
lainnya justru baru memulai "pelajaran" mereka. Membayangkan seberapa
terik sinar di siang hari saja belum cukup untuk merasakan apa yang dirasakan
oleh Dewi dan rekannya.
Udara terasa berat dan kulit
menjadi lengket. Di tengah kondisi itu, mereka berlari memutar komplek
perumahan, derap langkah mereka terdengar serempak di atas aspal yang membara.
Ini bukanlah akhir, melainkan pembuka saja. Lari selesai, dilanjutkan dengan push-up
hingga lengan gemetar hebat, sit-up hingga bangun tidur menjadi gusar,
dan serangkaian latihan fisik lain yang dirancang untuk mendorong mereka
melampaui batas nyaman.
Semua itu adalah
percobaan sebelum mereka dibawa langsung pada lokasi yang sesungguhnya. Itu
adalah kawah Candradimuka. Kegiatan mereka adalah daftar petualangan yang akan
membuat banyak orang bergidik ngeri. Canyoneering adalah nama kegiatan
itu. Keseluruhannya adalah menelusuri sungai di dalam ngarai, meniti tali prusik
dan terjun dari tebing, memanjat papan panjat, serangkaian pendakian,
perkemahan, dan puluhan lomba yang menguji keterampilan.
Ilmu yang tadi mungkin
sudah cukup membuat orang lain berpikir kembali, mereka juga diajari menjadi
pemadam api hanya dengan karung goni basah hingga keterampilan membuat relief
kolam ikan di Minggu pagi. Pramuka, dalam definisi ambalan ini, adalah tentang
pengabdian. Fisik mereka ditempa bukan untuk kesombongan, melainkan untuk
pelayanan.
Tak hanya petualangan
liar yang dilakukan oleh mereka, tetapi ambalan mereka juga kerap ikut kegiatan
sosial, seperti galang dana untuk korban bencana, dan mengajar adik-adik SMK
terkait materi dasar Pramuka. Mereka adalah pasukan muda yang tenaganya
meluap-luap, disalurkan ke dalam disiplin, petualangan, dan pengabdian. Namun,
dari semua pelatihan keras dan petualangan mendebarkan itu, ada satu memori
yang terpatri paling dalam, sebuah pengalaman yang definisinya adalah
"ujian".
Adapun kisah mereka di Pacet,
daerah pegunungan yang sejuk itu seharusnya menjadi tempat perkemahan yang
menyenangkan. Kenangan itu bukan karena pemandangannya yang indah, tetapi
karena ujian fisik dan mental yang mereka hadapi. Bagi angkatan Dewi, Pacet
adalah nama lain dari penyiksaan yang dingin dan basah. Mereka tiba bersamaan
dengan hujan badai. Langit seolah menumpahkan seluruh airnya.
Bermula dengan kegiatan
mendirikan tenda dibarengi derasnya guyuran hujan badai sehingga tak banyak
tenda yang sudi untuk berdiri melindungi mereka. Alam keadaan basah kuyup dan
kedinginan, mereka harus menyiapkan makan malam. Namun, menu yang disajikan
jauh dari kata “hangat”. Dewi mengingat betul makanan apa yang dimakan setelah
badai singkat itu.
Makanan yang harus mereka
makan adalah tahu, tempe rebus yang dibentuk segitiga dengan ukuran 3x3
sentimeter, sawi rebus. Kuah yang digunakan untuk nasi adalah rebusan sambiloto.
Rasa pahit sambiloto, sejenis tanaman herbal, begitu kuat dan melekat dalam
ingatannya. Bahkan terpaut 6 tahun setelahnya, Dewi masih bisa merasakan
pahit di kuah di ujung lidah yang menemaninya kala itu.
Ujian belum berakhir.
Setelah menyelesaikan serangkaian kegiatan seperti tali-temali dan membuat pioneering.
Gelap malam menjadi teman, mereka dibangunkan untuk sebuah kegiatan yang tak
diduga-duga. Tidak untuk berpindah pada tempat yang hangat dan nyaman, mereka dibangunkan
untuk berguling-guling di area berlumpur yang curam ke bawah. Setelah itu, mereka
harus berjalan menuju air terjun yang dingin dan berendam.
Di tengah segala
kesibukan dan tantangan fisik, Dewi juga dipercaya memegang peran penting dalam
organisasi ambalannya. Ia diamanahi menjadi bendahara, bagian dari inti ambalan
yang bertugas mengatur keuangan. Dari semua materi yang dipelajari, survival
menjadi bidang yang paling dikuasainya. Pengetahuan itu memberinya rasa percaya
diri.
Bagi Dewi, ambalan adalah
sekolah kehidupan yang sebenarnya. Di sana, ia belajar manajemen waktu yang
efektif, tanggung jawab yang tidak bisa ditawar, kekuatan mental untuk
menghadapi tekanan, dan tentu saja, fisik yang lebih sehat dan tangguh. Warisan
terindah dari pengalamannya di pramuka adalah kecintaan baru pada alam.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?