FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pada
sore hari, pukul 15.00 WIB, ketika sebagian besar mahasiswa mulai bersiap
menghadiri kegiatan organisasi, nongkrong, atau sekadar beristirahat setelah
perkuliahan panjang, Nuril Nuzhulah Nafian justru memulai rutinitas yang
berbeda. Di sudut tempat ia berjualan, ia menata barang dagangannya satu per
satu di lapaknya, memastikan semuanya siap untuk dibeli pelanggan. Di balik
tampilan sederhana itu, tersimpan kisah perjuangan yang jauh lebih besar
dibandingkan apa yang terlihat.
Perjuangan
itu dimulai sejak awal masa kuliah. Mahasiswa Program Studi Sosiologi tersebut
masuk kampus tanpa adanya laptop, perangkat yang bagi mahasiswa lain dianggap
kebutuhan dasar. Untuk mengerjakan tugas, ia meminjam laptop milik saudaranya.
Namun perangkat yang ia pinjam itu jauh dari kata layak karena jadul, lemot,
sering macet, dan beberapa tombol keyboard pun tidak berfungsi. Jika laptop itu
berhenti bekerja, Nuril pun beralih ke ponselnya, mengetik paragraf panjang di
layar kecil yang tidak nyaman.
Sejak
awal, keinginan untuk memenuhi uang saku dan kebutuhan kuliah muncul dari
dirinya sendiri. Melihat kondisi keluarga yang sederhana, Nuril memilih untuk
mandiri melalui usaha kecil yang ia rintis. Hasil jualan setiap sore menjadi
sumber utama yang membuatnya mampu bertahan di bangku kuliah untuk memenuhi
kebutuhan makan, transportasi, hingga membeli kembali modal dagangan. Rasa
lelah tentu menghampiri, tetapi ia selalu semangat dan bersyukur.
Tidak
jarang temannya mengajak Nuril untuk berkumpul atau mengikuti kegiatan Organisasi
Mahasiswa Daerah (ORMADA) di sore dan malam hari. Namun Nuril hampir selalu
menolak. Bukan karena ia tidak ingin bersosialisasi, tetapi karena ia tahu
betul apa konsekuensinya jika ia tidak membuka lapak. Kepada teman-temannya
yang memaksanya untuk ikut, ia pernah berkata tegas, “Kamu kalau nggak mau
ngasih aku uang, jangan suruh aku libur. Jualan ini buat kuliah besok lagi. Kamu
kira kalau nggak jualan itu nggak dibuat beli bensin, uang saku, dan uang
makan.” Hal tersebut menggambarkan situasi nyata yang dialami Nuril bahwa bekerja
adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
Perjalanan
kuliah Nuril juga tidak selalu mulus. Ia merasa takut apabila tidak lulus tepat
delapan semester. Penyebabnya bukan semata persoalan akademik, tetapi rasa
takut bertemu dosen pembimbing akademik (DPA). Setiap menghadiri seminar
proposal atau seminar hasil temannya, ia selalu menghindari DPA-nya karena
takut ditanya mengenai kelanjutan penelitiannya sendiri. Perasaan takut itu
justru membuat proses penyelesaian tugas akhirnya sedikit tersendat.
Dalam
masa-masa itu, majelis zikir Al-Khidmah menjadi tempat pelariannya. Di sana, ia
menemukan ketenangan, ruang untuk merenung, dan semangat untuk kembali
melanjutkan proses penyelesaian tugas akhir yang tertunda. Dari majelis itu
pula ia belajar menyeimbangkan antara usaha, ikhtiar, dan tawakal dalam
menjalani kehidupan.
Garis
akhir pun tiba. Saat toga melekat di tubuhnya, wisuda bukan lagi sekadar
perayaan simbolis bagi Nuril. Momen itu menjadi rangkuman panjang perjuangannya
karena bertahun-tahun mencari uang saku sendiri, bekerja hingga larut, memenuhi
kebutuhan kuliah dari hasil usahanya, dan bertahan dalam segala keterbatasan.
Bahkan,
ada kebanggaan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan nilai akademik. Dari
hasil usahanya, ia akhirnya mampu membeli laptop baru dengan uang MSIB, sesuatu
yang dulu tampak jauh dari jangkauan. Ia juga bisa membelikan seragam wisuda
untuk anggota keluarganya dan menyewa studio untuk foto bersama. Yang membuat
momen itu lebih berharga, keluarganya tidak pernah foto bersama sebelumnya.
Wisudanya menjadi foto keluarga pertama mereka.
“Bisa
mengajak keluarga foto sekeluarga itu sudah jadi pencapaian tersendiri,” tuturnya
sambil tersenyum. Ia merasa apa yang ia capai selama kuliah bukan sekadar gelar
sarjana, tetapi bukti bahwa kerja keras, keuletan, dan keberanian untuk mandiri
mampu membawanya melangkah lebih jauh.
Nuril
menyampaikan pesan yang lahir dari pengalaman panjangnya sendiri kepada adik
tingkatnya. “Belajarlah dengan tekun, pahamilah setiap materi. Setidaknya kamu
harus menguasai satu bidang dari prodimu, supaya ketika lulus kamu punya dasar
keilmuan yang bisa kamu terapkan di masyarakat.”
Ia
juga menekankan pentingnya keseimbangan antara usaha dan ketundukan kepada
Tuhan. “Usaha itu pasti, tapi berikhtiar, pasrah, dan tawakal itu harus.
Dua-duanya harus seimbang, karena kalau jomplang salah satu ya nggak jalan.
Kalau ketinggian salah satu juga nanti kalau jatuh sakit, maka harus seimbang
supaya tercapai rasa cukup dan tujuan itu,” ujarnya.
Dari laptop jadul yang pernah ia gunakan, dari ponsel kecil tempat ia mengetik tugas, dari malam-malam panjang berjualan, hingga akhirnya berdiri mengenakan toga, perjalanan Nuril menunjukkan bahwa mimpi tidak menunggu untuk dipermudah melainkan diperjuangkan dengan sepenuh hati. Perjuangannya menjadi pengingat bahwa dalam hidup, keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari keterbatasan itulah seseorang bisa belajar arti syukur, tekad, dan keberanian untuk bangkit.
---
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?