Banner Iklan

Lapak, Lelah, dan Toga: Perjalanan Mandiri Nuril ke Garis Akhir

Admin JSN
27 November 2025 | 10.13 WIB Last Updated 2025-11-27T03:14:23Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pada sore hari, pukul 15.00 WIB, ketika sebagian besar mahasiswa mulai bersiap menghadiri kegiatan organisasi, nongkrong, atau sekadar beristirahat setelah perkuliahan panjang, Nuril Nuzhulah Nafian justru memulai rutinitas yang berbeda. Di sudut tempat ia berjualan, ia menata barang dagangannya satu per satu di lapaknya, memastikan semuanya siap untuk dibeli pelanggan. Di balik tampilan sederhana itu, tersimpan kisah perjuangan yang jauh lebih besar dibandingkan apa yang terlihat.

Perjuangan itu dimulai sejak awal masa kuliah. Mahasiswa Program Studi Sosiologi tersebut masuk kampus tanpa adanya laptop, perangkat yang bagi mahasiswa lain dianggap kebutuhan dasar. Untuk mengerjakan tugas, ia meminjam laptop milik saudaranya. Namun perangkat yang ia pinjam itu jauh dari kata layak karena jadul, lemot, sering macet, dan beberapa tombol keyboard pun tidak berfungsi. Jika laptop itu berhenti bekerja, Nuril pun beralih ke ponselnya, mengetik paragraf panjang di layar kecil yang tidak nyaman.

Sejak awal, keinginan untuk memenuhi uang saku dan kebutuhan kuliah muncul dari dirinya sendiri. Melihat kondisi keluarga yang sederhana, Nuril memilih untuk mandiri melalui usaha kecil yang ia rintis. Hasil jualan setiap sore menjadi sumber utama yang membuatnya mampu bertahan di bangku kuliah untuk memenuhi kebutuhan makan, transportasi, hingga membeli kembali modal dagangan. Rasa lelah tentu menghampiri, tetapi ia selalu semangat dan bersyukur.

Tidak jarang temannya mengajak Nuril untuk berkumpul atau mengikuti kegiatan Organisasi Mahasiswa Daerah (ORMADA) di sore dan malam hari. Namun Nuril hampir selalu menolak. Bukan karena ia tidak ingin bersosialisasi, tetapi karena ia tahu betul apa konsekuensinya jika ia tidak membuka lapak. Kepada teman-temannya yang memaksanya untuk ikut, ia pernah berkata tegas, “Kamu kalau nggak mau ngasih aku uang, jangan suruh aku libur. Jualan ini buat kuliah besok lagi. Kamu kira kalau nggak jualan itu nggak dibuat beli bensin, uang saku, dan uang makan.” Hal tersebut menggambarkan situasi nyata yang dialami Nuril bahwa bekerja adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Perjalanan kuliah Nuril juga tidak selalu mulus. Ia merasa takut apabila tidak lulus tepat delapan semester. Penyebabnya bukan semata persoalan akademik, tetapi rasa takut bertemu dosen pembimbing akademik (DPA). Setiap menghadiri seminar proposal atau seminar hasil temannya, ia selalu menghindari DPA-nya karena takut ditanya mengenai kelanjutan penelitiannya sendiri. Perasaan takut itu justru membuat proses penyelesaian tugas akhirnya sedikit tersendat.

Dalam masa-masa itu, majelis zikir Al-Khidmah menjadi tempat pelariannya. Di sana, ia menemukan ketenangan, ruang untuk merenung, dan semangat untuk kembali melanjutkan proses penyelesaian tugas akhir yang tertunda. Dari majelis itu pula ia belajar menyeimbangkan antara usaha, ikhtiar, dan tawakal dalam menjalani kehidupan.

Garis akhir pun tiba. Saat toga melekat di tubuhnya, wisuda bukan lagi sekadar perayaan simbolis bagi Nuril. Momen itu menjadi rangkuman panjang perjuangannya karena bertahun-tahun mencari uang saku sendiri, bekerja hingga larut, memenuhi kebutuhan kuliah dari hasil usahanya, dan bertahan dalam segala keterbatasan.

Bahkan, ada kebanggaan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan nilai akademik. Dari hasil usahanya, ia akhirnya mampu membeli laptop baru dengan uang MSIB, sesuatu yang dulu tampak jauh dari jangkauan. Ia juga bisa membelikan seragam wisuda untuk anggota keluarganya dan menyewa studio untuk foto bersama. Yang membuat momen itu lebih berharga, keluarganya tidak pernah foto bersama sebelumnya. Wisudanya menjadi foto keluarga pertama mereka.

“Bisa mengajak keluarga foto sekeluarga itu sudah jadi pencapaian tersendiri,” tuturnya sambil tersenyum. Ia merasa apa yang ia capai selama kuliah bukan sekadar gelar sarjana, tetapi bukti bahwa kerja keras, keuletan, dan keberanian untuk mandiri mampu membawanya melangkah lebih jauh.

Nuril menyampaikan pesan yang lahir dari pengalaman panjangnya sendiri kepada adik tingkatnya. “Belajarlah dengan tekun, pahamilah setiap materi. Setidaknya kamu harus menguasai satu bidang dari prodimu, supaya ketika lulus kamu punya dasar keilmuan yang bisa kamu terapkan di masyarakat.”

Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara usaha dan ketundukan kepada Tuhan. “Usaha itu pasti, tapi berikhtiar, pasrah, dan tawakal itu harus. Dua-duanya harus seimbang, karena kalau jomplang salah satu ya nggak jalan. Kalau ketinggian salah satu juga nanti kalau jatuh sakit, maka harus seimbang supaya tercapai rasa cukup dan tujuan itu,” ujarnya.

Dari laptop jadul yang pernah ia gunakan, dari ponsel kecil tempat ia mengetik tugas, dari malam-malam panjang berjualan, hingga akhirnya berdiri mengenakan toga, perjalanan Nuril menunjukkan bahwa mimpi tidak menunggu untuk dipermudah melainkan diperjuangkan dengan sepenuh hati. Perjuangannya menjadi pengingat bahwa dalam hidup, keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari keterbatasan itulah seseorang bisa belajar arti syukur, tekad, dan keberanian untuk bangkit.

---

Hanum Zahronida
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lapak, Lelah, dan Toga: Perjalanan Mandiri Nuril ke Garis Akhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now