FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Suara
mesin cuci berputar menjadi musik keseharian Wisnu Pawoko, seorang mahasiswa
yang kini menempuh semester tujuh. Di tengah aroma deterjen dan tumpukan
pakaian pelanggan, ia menulis ulang kisah perjuangannya yang mungkin tak banyak
diketahui orang. Namanya tidak terpampang di panggung besar, tetapi semangatnya
layak diabadikan dalam cerita.
Sejak
tahun 2021, jauh sebelum menapaki bangku kuliah, ia sudah terbiasa membantu
usaha laundry keluarganya. “Awalnya hanya bantu-bantu, belum teratur.
Tapi lama-lama saya mulai ikut mencatat pembukuan, antar-jemput, bahkan
melayani pelanggan melalui WhatsApp,” kenangnya.
Bagi
sebagian orang, itu mungkin pekerjaan sederhana. Namun baginya, setiap cucian
yang bersih adalah tanda dari kerja keras keluarga yang saling menopang.
Perjalanan hidupnya berubah pada tahun 2023 ketika ia mulai menambah pengalaman
baru sebagai freelance tutor. Ia mengajar anak-anak belajar materi Ujian
Tulis Berbasis Komputer (UTBK). “Saya senang ketika bisa berbagi ilmu,”
ujarnya.
Di
balik kesibukan itu, Wisnu sebenarnya menjalani hari-hari yang sempit akan
jeda. Ada kalanya ia baru bisa merebahkan diri menjelang tengah malam, setelah
kuliah, kegiatan mengajar, dan tumpukan cucian yang menanti di rumah.
Teman-temannya mungkin punya waktu untuk nongkrong atau sekadar melepas penat,
tetapi Wisnu lebih sering menghabiskan malam dengan mengelap mesin cuci atau
menyetrika pakaian pelanggan. Ruang bermain dan waktu istirahat pelan-pelan terkikis,
tetapi ia menjalaninya dengan lapang, seolah memahami bahwa setiap pilihan
memang menuntut pengorbanan.
Namun,
di balik senyum hangat itu, ada cerita lelah yang jarang terlihat. Awal kuliah
menjadi masa paling berat. “Saya sempat kewalahan membagi waktu antara kuliah
dan membantu usaha laundry,” kenangnya. Jadwal kuliah yang padat sering
bertabrakan dengan waktu kerja. Namun, dari setiap kelelahan itu ia belajar
manajemen diri, memilah mana kewajiban, dan mana yang harus diutamakan.
Tidak
berhenti di situ, Wisnu kemudian mulai mencari cara agar hidupnya tidak
terus-menerus terasa kacau. Ia membuat sebuah spreadsheet sederhana
berisi jadwal harian, mulai dari jam kuliah, waktu antar-jemput laundry,
jadwal mengajar, hingga batas pengumpulan tugas kuliah. Setiap harinya, ia
menandai bagian mana yang sudah dikerjakan dan mana yang masih menunggu
giliran. Selain spreadsheet, ia juga membuat daftar tugas kecil yang
ditempel di dinding dekat meja belajar. Daftar itu berisi hal-hal sepele namun
penting, seperti membalas pesan pelanggan, menyiapkan materi mengajar, hingga
mengunggah laporan kelas.
Catatan
kecil itu menjadi panduan untuk membuat harinya terasa lebih teratur, memberi
ruang untuk bernapas meski sedikit. Kemampuan mengatur waktu yang kini tampak
matang sebenarnya lahir dadi keterpaksaan. Setiap hari seperti potongan puzzle
yang berantakan. Namun sedikit demi sedikit, ia membangun sistemnya sendiri,
mencatat prioritas, dan memanfaatkan jeda sekecil apa pun. Kesibukan yang dulu
melelahkan perlahan berubah menjadi ritme yang ia pahami.
Kini,
di semester tujuh, ia juga bekerja sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk
Penutur Asing (BIPA). Aktivitas yang padat membuatnya nyaris tak punya waktu
luang, tetapi juga membuat hidupnya lebih bermakna. “Saya memang capek. Tapi
saya juga bangga, karena saya bisa melakukan semua itu dengan usaha terbaik,”
ujarnya jujur.
Melalui
perjalanan yang padat itu, ia menemukan pelajaran berharga dalam membentuk
kemampuan dirinya. Kesibukan yang semula membuatnya kewalahan kini justru
menjadi guru terbaik. Ia belajar tentang kesabaran, konsistensi, dan rasa
syukur. “Hal yang paling membahagiakan adalah ketika saya sadar bahwa saya bisa
berkembang dari semua kesibukan ini,” tuturnya.
Bagi
orang lain, Wisnu mungkin hanya terlihat sebagai mahasiswa yang rajin dan
pekerja keras. Namun perjuangan yang ia jalani tidak sesederhana itu. Ada rasa
lelah yang disimpan sendiri, ada momen-momen ketika ia ingin menyerah tetapi
memilih tetap berjalan, dan ada tekad yang ia perbarui setiap bangun pagi.
Perjuangannya tidak heroik dalam gemerlap, namun perjuangan itu pada hakikatnya
sangat manusiawi, dibentuk oleh kebutuhan untuk membantu keluarga dan tekad
pribadi untuk terus melangkah maju.
Dari
tumpukan cucian hingga ruang kelas, ia membuktikan bahwa belajar tak hanya
terjadi di kampus. Kadang, pelajaran hidup justru ditemukan di antara waktu
yang sempit dan tangan yang terus bekerja. Berangkat dari perjalanan yang padat
itu, Wisnu belajar satu hal penting bahwa hidup tidak selalu menyediakan jalan
yang lapang, tetapi setiap langkah kecil yang ia ambil tengah menuntunnya
menuju masa depan.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?