Banner Iklan

Mengayuh Mimpi dari Kampung ke Negeri Jerman

Admin JSN
27 November 2025 | 10.01 WIB Last Updated 2025-11-27T03:02:50Z

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Di sebuah kampung pinggiran kota, seorang anak laki-laki hidup dalam kesederhanaan. Setiap pagi ia melihat ayahnya mengayuh sepeda tua dengan dua karung garam di belakang, berkeliling dari pasar ke pasar. Tangan ayahnya kasar karena garam, tetapi senyumnya tidak pernah hilang. Dari situlah ia belajar bahwa hidup boleh keras, tetapi langkah tidak boleh berhenti. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa meski keluarganya sederhana, mimpinya tetap boleh besar.

Selepas SMA, ia membuat keputusan yang jarang dipilih orang lain di kampungnya. Ia memilih jurusan Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Surabaya. Banyak yang terkejut, bahkan ada yang menganggap pilihannya itu aneh dan tidak realistis. “Untuk apa belajar bahasa yang tidak semua orang pakai?” begitu komentar yang sering ia dengar. Namun ia tetap melangkah. Baginya, bahasa adalah pintu menuju tempat yang lebih luas, kesempatan untuk keluar dari lingkaran keterbatasan yang sudah lama membayangi keluarganya. Ia tahu jalannya akan panjang, tetapi ia juga tahu ia tidak sendirian, karena setiap langkahnya seakan membawa harapan ayahnya yang memikul garam setiap hari.

Hari-hari kuliahnya dijalani dengan penuh kesederhanaan. Ia berangkat sejak pagi, membawa bekal yang disiapkan dari rumah. Sebelumnya, ia sempat mencoba tinggal di kos, berharap dapat fokus belajar tanpa harus pulang-pergi setiap hari. Namun pengalaman selama ngekos tidak berjalan seperti harapannya. Ia mendapat perlakuan merendahkan dari beberapa orang di sekitarnya. Ada yang mengejek cara berpakaiannya, ada yang menyindir bahwa ayahnya “hanya pedagang garam keliling.” Kata-kata itu tajam, jauh lebih tajam daripada kristal garam yang pernah melukai tangannya waktu kecil dulu. Pada akhirnya ia memilih meninggalkan kos dan kembali pulang-pergi tiap hari dengan uang saku yang hanya cukup untuk ongkos transportasi umum. Jika lelah, ia menahannya. Jika sedih, ia simpan sendiri. Namun ia tidak pernah membiarkan ejekan itu mematikan langkahnya.

Usahanya perlahan berbuah. Setelah lulus dari Universitas Negeri Surabaya, ia mendapat kesempatan tinggal selama satu tahun di Jerman sebagai Au-Pair. Di sana ia belajar tentang budaya, bahasa, cara bekerja, dan cara memandang dunia. Pengalaman itu menjadi titik balik yang membuka cakrawala baru dalam hidupnya. Sepulang dari Jerman, ia mulai bekerja di Wisma Jerman pada tahun 2014 sebagai pengajar bahasa Jerman. Cara mengajarnya yang sabar, tidak menghakimi, dan hangat membuat banyak siswanya merasa nyaman. Perlahan tapi pasti, ia menjadi salah satu pengajar yang dihormati di sana. Tak lama kemudian, ia juga dipercaya menjadi guru bahasa Jerman di salah satu SMA ternama di Surabaya.

Namun perjalanan itu tidak hanya soal pendidikan dan profesi. Ia juga belajar merawat keseimbangan hidup. Di waktu luang, ia senang berolahraga untuk menjaga tubuh dan pikirannya tetap kuat. Ketika pulang ke rumah, ia menikmati waktu bersama keluarga, berbincang sederhana, dan tertawa ringan. Ada satu buku yang selalu ia sebut saat diminta rekomendasi yakni berjudul “Negeri 5 Menara”, buku yang tokohnya juga berangkat dari keterbatasan namun memilih untuk tidak membatasi mimpi. Ia merasa dirinya menemukan dirinya sendiri di dalam cerita itu.

Beberapa tahun berikutnya, ia kembali bolak-balik Indonesia–Jerman untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan kemampuan. Hidupnya seperti membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara kampung yang mengajarinya arti kesederhanaan dan negeri yang memperluas pandangannya tentang kemungkinan. Kini, ia tengah memperjuangkan langkah berikutnya: menjadi pegawai negeri sipil di Jerman. Ia tahu jalannya tidak mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah berjalan sejauh ini bukan untuk berhenti.

Perjalanannya belum selesai. Namun satu hal yang pasti, di setiap pencapaiannya, ada ayah yang masih berkeliling membawa garam, dan ada anak yang tumbuh dari keteguhan itu. Dulu, ia memegang garam untuk membantu ayahnya. Sekarang ia memegang ilmu, bahasa, dan masa depan yang ia bentuk sendiri. Setiap langkahnya adalah bukti bahwa mimpi tidak mengenal latar belakang, tetapi keberanian untuk melangkah dari titik awal yang sederhana.

---

Debi Dwi Rohmatul Aini
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mengayuh Mimpi dari Kampung ke Negeri Jerman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now