FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Di
sebuah rumah sederhana di kota kecil Gresik, Jawa Timur, seorang gadis bernama
Putri Devi Oktaviani pernah menatap langit sore dengan mata yang penuh tanya.
Di tahun 2016 itu, usianya baru menginjak delapan belas tahun. Ia baru saja
menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Krian, salah satu sekolah
unggulan yang cukup jauh dari rumahnya. Setiap hari, Putri rela menempuh
perjalanan panjang demi bisa menimba ilmu, di sekolah Ia masuk di jurusan
Bahasa, jurusan yang Ia pilih karena kecintaannya pada dunia sastra.
Sore
itu, di rumah temannya, Putri menatap layar laptop dengan jantung berdebar. Di
sana terpampang pengumuman hasil seleksi masuk Universitas Gadjah Mada. Dengan
tangan gemetar, ia mencari namanya dan seketika matanya membulat, air mata
menitik perlahan. Namanya tercantum di daftar penerima jalur tanpa tes, yang
kini dikenal sebagai Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Ia berhasil
lolos ke kampus impiannya, Universitas Gadjah Mada, sebuah pencapaian yang
menjadi saksi nyata dari kerja keras dan ketekunan yang ia pupuk selama ini.
Namun,
kebahagiaan itu tak sepenuhnya utuh. Di balik senyum bangganya, terselip
kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Saat sebagian teman-temannya bersorak
gembira karena akan melanjutkan kuliah ke kota besar, Putri justru dihadapkan
pada kenyataan pahit, orang tuanya sedang berjuang keras untuk bertahan hidup.
Ayahnya,
seorang karyawan di perusahaan swasta, baru saja kehilangan pekerjaan. Pabrik
tempatnya bekerja selama belasan tahun mengalami kebangkrutan. Pengumuman
pemutusan hubungan kerja massal datang tiba-tiba, meninggalkan luka yang tak
hanya finansial, tapi juga emosional.
Sejak
saat itu, roda kehidupan keluarga Putri berubah arah. Penghasilan yang semula
cukup untuk kebutuhan sehari-hari kini berhenti total. Tabungan keluarga
perlahan menipis untuk membiayai kebutuhan pokok, sementara ibu yang selama ini
menjadi ibu rumah tangga harus belajar kembali menapaki dunia kerja.
“Waktu
itu kami benar-benar bingung. Semua serba mendadak. Ayah kehilangan pekerjaan,
dan saya tahu, untuk bisa lanjut kuliah di luar kota bukan hal yang mudah,”
kenang Putri ketika diwawancarai.
Meski
begitu, Putri bukanlah gadis yang mudah menyerah pada keadaan. Ketika hasil
pengumuman mahasiswa UGM keluar, matanya berkaca-kaca. Itu bukan sekadar pengumuman,
melainkan simbol harapan yang ia genggam erat sejak kecil. Ia percaya
pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik.
Namun,
impian besar sering kali berbenturan dengan realitas kehidupan. Ayahnya sempat
menyarankan agar Putri menunda kuliah dulu, atau mencari kampus yang lebih
dekat dengan rumah agar biaya hidup tidak terlalu besar.
“Bukan
karena kami tidak percaya pada kemampuan Putri,” tutur sang ayah, “tapi kami
takut tidak bisa mendukungnya secara penuh. Kami takut ia akan kesulitan di
sana sendirian.”
Putri
hanya diam waktu itu. Ia tahu orang tuanya sedang berada dalam masa sulit. Tapi
di dalam hati, tekadnya sudah bulat. Ia ingin menempuh jalan itu, meski harus
berjalan sendiri.
Ibu
Putri, yang biasanya mengurus rumah tangga, mulai mencari pekerjaan tambahan. Sang
ibu mencoba melamar ke berbagai pabrik, menjadi seorang buruh pabrik, semua ia
lakukan tanpa rasa malu demi bisa membantu ekonomi keluarga. Sementara sang
ayah, dengan semangat yang belum padam, melamar ke berbagai tempat kerja meski
sering pulang dengan wajah kecewa.
Dalam
suasana keluarga yang penuh keterbatasan itulah, sebuah keputusan besar
diambil. Dengan doa dan keyakinan, kedua orang tua Putri akhirnya
mengizinkannya berangkat ke Yogyakarta.
“Untuk
pendidikan, pasti ada jalannya,” kata sang ibu sambil menahan air mata di hari
keberangkatan itu.
Tanggal
keberangkatan itu masih diingat jelas oleh Putri. Ia menaiki kereta sore itu
menuju Yogyakarta, membawa satu koper, satu tas ransel, dan secuil keberanian.
Tak ada yang menemaninya. Ia tahu, mulai hari itu, ia harus menjadi tulang
punggung bagi dirinya sendiri.
Di
kota pelajar itu, Putri memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa Fakultas
Ilmu Budaya, jurusan Sastra Jepang. Ia memilih jurusan itu karena kecintaannya
pada bahasa dan budaya, sekaligus keyakinannya bahwa dunia global membutuhkan
jembatan lintas budaya yang kuat. Namun di balik ketertarikannya pada sastra,
ada realitas yang lebih mendesak yaitu ia harus bertahan hidup.
Putri
tak mau hanya bergantung pada kiriman orang tua yang terbatas. Sejak semester
pertama, ia mencari pekerjaan paruh waktu. Ia pernah menjadi pelayan di sebuah
kafe kecil, membantu mencatat pesanan dan mengantarkan minuman ke pelanggan.
Kadang, ia bekerja di bagian dapur untuk memasak hingga larut malam. Hal itu ia
lakukan sepulang kuliah sekitar pukul 4 sore.
“Capek,
iya. Tapi setiap kali rasanya ingin menyerah, aku selalu ingat wajah ibu dan Ayah,”
ujarnya lirih.
Tak
berhenti di situ, Putri bahkan pernah berjualan air mineral kemasan di tengah
kerumunan massa saat ada kegiatan demonstrasi mahasiswa. Bukan karena ia bagian
dari aksi itu, melainkan karena ia tahu di sana banyak orang haus, dan setiap
botol yang terjual bisa menjadi tambahan uang untuk makan atau membeli buku.
Kehidupan
seperti itu membentuk Putri menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia
belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kenyamanan, tetapi dari
keberanian untuk terus berjalan meski jalanan berat dan sepi.
Meski
sibuk bekerja, Putri tak melupakan jati dirinya sebagai mahasiswa. Ia aktif
mengikuti organisasi di kampus, dari kegiatan seni budaya hingga kepanitiaan
acara besar antar fakultas. Ia ingin mengisi masa kuliahnya dengan pengalaman
yang beragam, bukan hanya sekadar belajar di kelas.
“Saya
ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berkembang,”
ucapnya.
Rekan-rekannya
di kampus mengenalnya sebagai sosok yang supel, disiplin, dan penuh semangat.
Ia sering membantu teman-teman yang kesulitan bahasa Jepang, bahkan menjadi
mentor kecil di komunitas belajar. Ia juga aktif dalam acara pertukaran budaya,
mengajarkan teman-teman dari Jepang tentang bahasa dan adat Indonesia.
Waktu
berjalan cepat. Empat tahun kuliah bukan perjalanan mudah bagi Putri. Ada
masa-masa ia harus menunda pembayaran kos karena uang belum cukup. Ada juga
masa-masa ia hanya makan nasi dan lauk seadanya selama berhari-hari untuk
menghemat biaya.
Ketika
ditanya apa yang membuatnya kuat menghadapi semua rintangan itu, Putri
tersenyum. “Karena saya tidak pernah sendirian,” katanya. “Ada doa orang tua
yang selalu menyertai. Ada keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti membawa
pelajaran.”
Kisah
hidup Putri Devi Oktaviani bukan hanya tentang perjuangan seorang gadis sederhana
yang berhasil kuliah di kampus ternama. Lebih dari itu, kisah ini adalah potret
nyata keteguhan hati generasi muda Indonesia, bahwa keterbatasan ekonomi bukan
penghalang untuk menuntut ilmu, dan bahwa keluarga yang saling percaya bisa
melahirkan keajaiban.
Putri
mungkin hanya satu dari sekian banyak anak bangsa yang lahir dari keluarga
sederhana, tetapi semangatnya adalah cermin bagi siapa pun yang sedang berjuang,
bahwa setiap langkah kecil menuju impian besar selalu berarti.
“Jika
dulu saya menyerah karena takut tidak mampu, mungkin saya tidak akan pernah
tahu seberapa kuat saya sebenarnya. Jangan pernah takut bermimpi, karena Tuhan
selalu punya cara untuk membantu mereka yang mau berusaha,” ujar Putri di akhir
wawancara.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?