Banner Iklan

Keterbatasan Menuju Gerbang Impian

Admin JSN
27 November 2025 | 11.26 WIB Last Updated 2025-11-27T04:26:17Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Di sebuah rumah sederhana di kota kecil Gresik, Jawa Timur, seorang gadis bernama Putri Devi Oktaviani pernah menatap langit sore dengan mata yang penuh tanya. Di tahun 2016 itu, usianya baru menginjak delapan belas tahun. Ia baru saja menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Krian, salah satu sekolah unggulan yang cukup jauh dari rumahnya. Setiap hari, Putri rela menempuh perjalanan panjang demi bisa menimba ilmu, di sekolah Ia masuk di jurusan Bahasa, jurusan yang Ia pilih karena kecintaannya pada dunia sastra.

Sore itu, di rumah temannya, Putri menatap layar laptop dengan jantung berdebar. Di sana terpampang pengumuman hasil seleksi masuk Universitas Gadjah Mada. Dengan tangan gemetar, ia mencari namanya dan seketika matanya membulat, air mata menitik perlahan. Namanya tercantum di daftar penerima jalur tanpa tes, yang kini dikenal sebagai Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Ia berhasil lolos ke kampus impiannya, Universitas Gadjah Mada, sebuah pencapaian yang menjadi saksi nyata dari kerja keras dan ketekunan yang ia pupuk selama ini.

Namun, kebahagiaan itu tak sepenuhnya utuh. Di balik senyum bangganya, terselip kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Saat sebagian teman-temannya bersorak gembira karena akan melanjutkan kuliah ke kota besar, Putri justru dihadapkan pada kenyataan pahit, orang tuanya sedang berjuang keras untuk bertahan hidup.

Ayahnya, seorang karyawan di perusahaan swasta, baru saja kehilangan pekerjaan. Pabrik tempatnya bekerja selama belasan tahun mengalami kebangkrutan. Pengumuman pemutusan hubungan kerja massal datang tiba-tiba, meninggalkan luka yang tak hanya finansial, tapi juga emosional.

Sejak saat itu, roda kehidupan keluarga Putri berubah arah. Penghasilan yang semula cukup untuk kebutuhan sehari-hari kini berhenti total. Tabungan keluarga perlahan menipis untuk membiayai kebutuhan pokok, sementara ibu yang selama ini menjadi ibu rumah tangga harus belajar kembali menapaki dunia kerja.

“Waktu itu kami benar-benar bingung. Semua serba mendadak. Ayah kehilangan pekerjaan, dan saya tahu, untuk bisa lanjut kuliah di luar kota bukan hal yang mudah,” kenang Putri ketika diwawancarai.

Meski begitu, Putri bukanlah gadis yang mudah menyerah pada keadaan. Ketika hasil pengumuman mahasiswa UGM keluar, matanya berkaca-kaca. Itu bukan sekadar pengumuman, melainkan simbol harapan yang ia genggam erat sejak kecil. Ia percaya pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik.

Namun, impian besar sering kali berbenturan dengan realitas kehidupan. Ayahnya sempat menyarankan agar Putri menunda kuliah dulu, atau mencari kampus yang lebih dekat dengan rumah agar biaya hidup tidak terlalu besar.

“Bukan karena kami tidak percaya pada kemampuan Putri,” tutur sang ayah, “tapi kami takut tidak bisa mendukungnya secara penuh. Kami takut ia akan kesulitan di sana sendirian.”

Putri hanya diam waktu itu. Ia tahu orang tuanya sedang berada dalam masa sulit. Tapi di dalam hati, tekadnya sudah bulat. Ia ingin menempuh jalan itu, meski harus berjalan sendiri.

Ibu Putri, yang biasanya mengurus rumah tangga, mulai mencari pekerjaan tambahan. Sang ibu mencoba melamar ke berbagai pabrik, menjadi seorang buruh pabrik, semua ia lakukan tanpa rasa malu demi bisa membantu ekonomi keluarga. Sementara sang ayah, dengan semangat yang belum padam, melamar ke berbagai tempat kerja meski sering pulang dengan wajah kecewa.

Dalam suasana keluarga yang penuh keterbatasan itulah, sebuah keputusan besar diambil. Dengan doa dan keyakinan, kedua orang tua Putri akhirnya mengizinkannya berangkat ke Yogyakarta.

“Untuk pendidikan, pasti ada jalannya,” kata sang ibu sambil menahan air mata di hari keberangkatan itu.

Tanggal keberangkatan itu masih diingat jelas oleh Putri. Ia menaiki kereta sore itu menuju Yogyakarta, membawa satu koper, satu tas ransel, dan secuil keberanian. Tak ada yang menemaninya. Ia tahu, mulai hari itu, ia harus menjadi tulang punggung bagi dirinya sendiri.

Di kota pelajar itu, Putri memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sastra Jepang. Ia memilih jurusan itu karena kecintaannya pada bahasa dan budaya, sekaligus keyakinannya bahwa dunia global membutuhkan jembatan lintas budaya yang kuat. Namun di balik ketertarikannya pada sastra, ada realitas yang lebih mendesak yaitu ia harus bertahan hidup.

Putri tak mau hanya bergantung pada kiriman orang tua yang terbatas. Sejak semester pertama, ia mencari pekerjaan paruh waktu. Ia pernah menjadi pelayan di sebuah kafe kecil, membantu mencatat pesanan dan mengantarkan minuman ke pelanggan. Kadang, ia bekerja di bagian dapur untuk memasak hingga larut malam. Hal itu ia lakukan sepulang kuliah sekitar pukul 4 sore.

“Capek, iya. Tapi setiap kali rasanya ingin menyerah, aku selalu ingat wajah ibu dan Ayah,” ujarnya lirih.

Tak berhenti di situ, Putri bahkan pernah berjualan air mineral kemasan di tengah kerumunan massa saat ada kegiatan demonstrasi mahasiswa. Bukan karena ia bagian dari aksi itu, melainkan karena ia tahu di sana banyak orang haus, dan setiap botol yang terjual bisa menjadi tambahan uang untuk makan atau membeli buku.

Kehidupan seperti itu membentuk Putri menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kenyamanan, tetapi dari keberanian untuk terus berjalan meski jalanan berat dan sepi.

Meski sibuk bekerja, Putri tak melupakan jati dirinya sebagai mahasiswa. Ia aktif mengikuti organisasi di kampus, dari kegiatan seni budaya hingga kepanitiaan acara besar antar fakultas. Ia ingin mengisi masa kuliahnya dengan pengalaman yang beragam, bukan hanya sekadar belajar di kelas.

“Saya ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berkembang,” ucapnya.

Rekan-rekannya di kampus mengenalnya sebagai sosok yang supel, disiplin, dan penuh semangat. Ia sering membantu teman-teman yang kesulitan bahasa Jepang, bahkan menjadi mentor kecil di komunitas belajar. Ia juga aktif dalam acara pertukaran budaya, mengajarkan teman-teman dari Jepang tentang bahasa dan adat Indonesia.

Waktu berjalan cepat. Empat tahun kuliah bukan perjalanan mudah bagi Putri. Ada masa-masa ia harus menunda pembayaran kos karena uang belum cukup. Ada juga masa-masa ia hanya makan nasi dan lauk seadanya selama berhari-hari untuk menghemat biaya.

Ketika ditanya apa yang membuatnya kuat menghadapi semua rintangan itu, Putri tersenyum. “Karena saya tidak pernah sendirian,” katanya. “Ada doa orang tua yang selalu menyertai. Ada keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti membawa pelajaran.”

Kisah hidup Putri Devi Oktaviani bukan hanya tentang perjuangan seorang gadis sederhana yang berhasil kuliah di kampus ternama. Lebih dari itu, kisah ini adalah potret nyata keteguhan hati generasi muda Indonesia, bahwa keterbatasan ekonomi bukan penghalang untuk menuntut ilmu, dan bahwa keluarga yang saling percaya bisa melahirkan keajaiban.

Putri mungkin hanya satu dari sekian banyak anak bangsa yang lahir dari keluarga sederhana, tetapi semangatnya adalah cermin bagi siapa pun yang sedang berjuang, bahwa setiap langkah kecil menuju impian besar selalu berarti.

“Jika dulu saya menyerah karena takut tidak mampu, mungkin saya tidak akan pernah tahu seberapa kuat saya sebenarnya. Jangan pernah takut bermimpi, karena Tuhan selalu punya cara untuk membantu mereka yang mau berusaha,” ujar Putri di akhir wawancara.

---

Anisa Anggun Septia
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Keterbatasan Menuju Gerbang Impian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now