Banner Iklan

Jejak Langkah di Punggung Lawu: Ketika Gunung Menjadi Ruang untuk Pulang kepada Diri Sendiri

Admin JSN
27 November 2025 | 11.15 WIB Last Updated 2025-11-27T14:16:17Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Malam turun pelan di Terminal Purabaya, Surabaya. Lampu-lampu temaram, suara calo berteriak seperti kaset rusak, dan aroma solar bercampur kopi sachet memenuhi udara. Di antara hiruk-pikuk itu, tiga anak muda yaitu saya serta dua teman saya, Andik dan Dika berangkat dengan satu tujuan yang lebih besar dari sekadar mendaki mencari versi diri yang sempat hilang di antara rutinitas.

Gunung Lawu menjadi arah. Dan perjalanan pun dimulai-dengan ransel berat di punggung, tapi hati yang pelan-pelan terasa ringan. Pukul tujuh malam, kami menapaki tangga bus jurusan Surabaya-Solo. Carrier disimpan di rak bagasi bawah, dan perjalanan pun dimulai dalam temaram lampu jalan. Di dalam bus, semua terasa tenang-hingga akhirnya kantuk menang, dan suara mesin menjadi lagu nina bobo.

Sekitar pukul dua dini hari, bus berhenti di Terminal Solo. Udara dingin, sepi, dan aroma tembakau menguar dari warung-warung kecil yang masih buka. Rute selanjutnya naik bus mini menuju Tawangmangu yang baru beroperasi sekitar setengah empat subuh, jadi kami memutuskan menunggu sambil mengisi perut.

Warung sederhana di dalam terminal menjadi tempat singgah pertama kami malam itu. Nasi kucing, tempe hangat, dan kopi hitam disajikan tanpa basa-basi-tapi entah kenapa terasa seperti santapan terbaik di dunia. Di sela tawa dan kantuk, aku mulai menyadari: perjalanan ini bukan sekadar pelarian, tapi mungkin cara paling sunyi untuk memahami diri sendiri.

Menjelang subuh, bus kecil menuju Tawangmangu datang. Busnya sederhana-kursinya sempit, musik dangdut berdentum pelan, dan aromanya campur aduk antara sayur mayur dan parfum penumpang. Aku duduk di depan, meletakkan carrier di kursi kosong di samping, lalu terlelap karena lelah.

Tiba-tiba, kernet membangunkan kami dan menagih ongkos. Ternyata, karena tas-tas besar kami dianggap “mengisi kursi”, kami dihitung sebagai penumpang empat orang-padahal kami hanya bertiga! Satu orang bayar dua kursi. Kami saling pandang, antara kesal, geli, dan tidak percaya.

Ya sudahlah, mungkin memang begitulah harga sebuah perjalanan. Roda berputar, pemandangan kota berganti jadi hamparan kabut dan bukit. Jalan menanjak, berliku, tapi hati justru terasa lapang.

Dari Tawangmangu, kami berganti naik L300 menuju basecamp Cemoro Sewu. Biayanya 50 ribu per orang-harga yang terasa murah jika dibandingkan dengan pengalaman menegangkan saat mobil meniti tikungan curam di ketinggian. Kabut menyelimuti kaca jendela, dan dari kejauhan siluet Gunung Lawu tampak megah, seperti menunggu kami dengan sabar.

Sesampainya di basecamp, satu pesan pendek masuk dari teman keempat yang seharusnya bergabung: “Bro, aku ketiduran.” Kami tertawa keras di antara udara dingin. Rencana berempat berubah menjadi bertiga. Tapi mungkin memang begitu cara hidup bekerja-tidak semua yang direncanakan harus terjadi, yang penting tetap berjalan.

Pendakian dimulai. Jalur batu di Cemoro Sewu tersusun rapi seperti tangga yang tiada akhir. Di awal, langkah terasa ringan, tapi semakin tinggi napas mulai berat, pundak menjerit, dan lutut bergetar. Hujan rintik turun di pos satu. Aku sempat berpikir untuk berhenti, tapi ada dorongan aneh dari dalam diri-seolah gunung sendiri menantangku untuk terus maju.

Kami tiba di area camp saat langit makin gelap. Dua orang temanku tetap di luar, mendirikan tenda sambil basah kuyup. Aku di dalam, menata peralatan dan alas tidur. Ada rasa bersalah, tapi mereka hanya tertawa dan berkata: “Tenang, kamu yang jaga dalam. Kita bagi tugas.” Dalam guyuran hujan itu, kami belajar bahwa pendakian bukan soal siapa paling kuat, tapi siapa yang mau saling percaya.

Belum sempat mengeringkan pakaian, sekelompok pendaki lain yang sempat kita temui dan berkenalan sambil berbincang di trek datang-basah, lelah, dan berkenalan sambil berbincang di trek datang-basah, lelah, dan tanpa tenda. Kami mempersilakan mereka bergabung. Malam itu, tenda kami menjadi rumah kecil di tengah dingin Lawu.

Kami berbagi nasi instan, kopi sachet, dan cerita hidup. Mereka bercerita tentang nyaris tersesat; kami bercerita tentang teman yang ketiduran dan bus mini penuh barang. Tawa-tawa kecil pecah di sela dingin. Malam itu, aku sadar, di gunung tak ada orang asing. Yang ada hanyalah manusia yang sama-sama berjuang untuk sampai tujuan.

Pukul empat dini hari, alarm kecil di ponsel membangunkan kami. Angin tajam menembus jaket, tapi semangat untuk summit tak tergoyahkan. Dengan senter di kepala dan langkah pelan, kami menapaki jalur berbatu menuju puncak.

Langkah demi langkah terasa berat, napas memburu, tapi langit yang perlahan berubah warna membuat semua lelah seolah lenyap. Setelah empat hingga lima jam perjalanan, matahari pagi akhirnya menyambut kami di puncak Gunung Lawu.

Kabut menipis, langit terbuka, dan pemandangan seolah tidak berujung. Kami berfoto, beristirahat dan makan cemilan yg kami bawa dari tenda, lalu terdiam bersama. Dalam diam itu, aku tahu-kami semua sedang merasakan hal yang sama: lega, damai, dan bahagia dengan cara yang sederhana.

Sekitar satu jam kemudian, kabut turun lagi. Kami bergegas kembali ke camp sebelum pandangan tertutup seluruhnya. Jalan licin, tapi hati terasa ringan. Ada sesuatu yang kami bawa turun, bukan di ransel-melainkan di dalam diri.

Sesampainya di camp kami masak untuk sarapan dan beristirahat. Selesai menyantap masakan yang sudah dibuat kami duduk di depan tenda, menatap lembah perlahan diselimuti kabut, aku sadar: Lawu tidak hanya memberiku pemandangan, tapi pelajaran tentang kehidupan.

Aku datang untuk menenangkan diri, tapi ternyata yang kutemukan adalah versi diriku yang lebih tenang. Aku belajar bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Di bawah hujan, kami saling menopang, bukan saling mengeluh, dan tenang menciptakan solusi. Tenda yang hampir roboh bisa diselamatkan karena kami tak panik, serta persiapan mental lebih penting dari fisik. Seperti hidup, pendakian adalah soal bertahan dengan kepala dingin.

Aku turun gunung dengan langkah yang sama seperti saat naik, tapi hati yang benar-benar berbeda.

---

Rahmaddila Purwandany
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Jejak Langkah di Punggung Lawu: Ketika Gunung Menjadi Ruang untuk Pulang kepada Diri Sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now