FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Malam turun pelan di
Terminal Purabaya, Surabaya. Lampu-lampu temaram, suara calo berteriak seperti
kaset rusak, dan aroma solar bercampur kopi sachet memenuhi udara. Di antara
hiruk-pikuk itu, tiga anak muda yaitu saya serta dua teman saya, Andik dan Dika
berangkat dengan satu tujuan yang lebih besar dari sekadar mendaki mencari
versi diri yang sempat hilang di antara rutinitas.
Gunung Lawu menjadi arah.
Dan perjalanan pun dimulai-dengan ransel berat di punggung, tapi hati yang
pelan-pelan terasa ringan. Pukul tujuh malam, kami menapaki tangga bus jurusan
Surabaya-Solo. Carrier disimpan di rak bagasi bawah, dan perjalanan pun
dimulai dalam temaram lampu jalan. Di dalam bus, semua terasa tenang-hingga
akhirnya kantuk menang, dan suara mesin menjadi lagu nina bobo.
Sekitar pukul dua dini
hari, bus berhenti di Terminal Solo. Udara dingin, sepi, dan aroma tembakau
menguar dari warung-warung kecil yang masih buka. Rute selanjutnya naik bus
mini menuju Tawangmangu yang baru beroperasi sekitar setengah empat subuh, jadi
kami memutuskan menunggu sambil mengisi perut.
Warung sederhana di dalam
terminal menjadi tempat singgah pertama kami malam itu. Nasi kucing, tempe
hangat, dan kopi hitam disajikan tanpa basa-basi-tapi entah kenapa terasa
seperti santapan terbaik di dunia. Di sela tawa dan kantuk, aku mulai menyadari:
perjalanan ini bukan sekadar pelarian, tapi mungkin cara paling sunyi untuk
memahami diri sendiri.
Menjelang subuh, bus
kecil menuju Tawangmangu datang. Busnya sederhana-kursinya sempit, musik
dangdut berdentum pelan, dan aromanya campur aduk antara sayur mayur dan parfum
penumpang. Aku duduk di depan, meletakkan carrier di kursi kosong di samping,
lalu terlelap karena lelah.
Tiba-tiba, kernet
membangunkan kami dan menagih ongkos. Ternyata, karena tas-tas besar kami
dianggap “mengisi kursi”, kami dihitung sebagai penumpang empat orang-padahal
kami hanya bertiga! Satu orang bayar dua kursi. Kami saling pandang, antara
kesal, geli, dan tidak percaya.
Ya sudahlah, mungkin
memang begitulah harga sebuah perjalanan. Roda berputar, pemandangan kota
berganti jadi hamparan kabut dan bukit. Jalan menanjak, berliku, tapi hati
justru terasa lapang.
Dari Tawangmangu, kami
berganti naik L300 menuju basecamp Cemoro Sewu. Biayanya 50 ribu per
orang-harga yang terasa murah jika dibandingkan dengan pengalaman menegangkan
saat mobil meniti tikungan curam di ketinggian. Kabut menyelimuti kaca jendela,
dan dari kejauhan siluet Gunung Lawu tampak megah, seperti menunggu kami dengan
sabar.
Sesampainya di basecamp,
satu pesan pendek masuk dari teman keempat yang seharusnya bergabung: “Bro, aku
ketiduran.” Kami tertawa keras di antara udara dingin. Rencana berempat berubah
menjadi bertiga. Tapi mungkin memang begitu cara hidup bekerja-tidak semua yang
direncanakan harus terjadi, yang penting tetap berjalan.
Pendakian dimulai. Jalur
batu di Cemoro Sewu tersusun rapi seperti tangga yang tiada akhir. Di awal,
langkah terasa ringan, tapi semakin tinggi napas mulai berat, pundak menjerit,
dan lutut bergetar. Hujan rintik turun di pos satu. Aku sempat berpikir untuk
berhenti, tapi ada dorongan aneh dari dalam diri-seolah gunung sendiri
menantangku untuk terus maju.
Kami tiba di area camp
saat langit makin gelap. Dua orang temanku tetap di luar, mendirikan tenda
sambil basah kuyup. Aku di dalam, menata peralatan dan alas tidur. Ada rasa
bersalah, tapi mereka hanya tertawa dan berkata: “Tenang, kamu yang jaga dalam.
Kita bagi tugas.” Dalam guyuran hujan itu, kami belajar bahwa pendakian bukan
soal siapa paling kuat, tapi siapa yang mau saling percaya.
Belum sempat mengeringkan
pakaian, sekelompok pendaki lain yang sempat kita temui dan berkenalan sambil
berbincang di trek datang-basah, lelah, dan berkenalan sambil berbincang di
trek datang-basah, lelah, dan tanpa tenda. Kami mempersilakan mereka bergabung.
Malam itu, tenda kami menjadi rumah kecil di tengah dingin Lawu.
Kami berbagi nasi instan,
kopi sachet, dan cerita hidup. Mereka bercerita tentang nyaris tersesat; kami
bercerita tentang teman yang ketiduran dan bus mini penuh barang. Tawa-tawa
kecil pecah di sela dingin. Malam itu, aku sadar, di gunung tak ada orang
asing. Yang ada hanyalah manusia yang sama-sama berjuang untuk sampai tujuan.
Pukul empat dini hari,
alarm kecil di ponsel membangunkan kami. Angin tajam menembus jaket, tapi
semangat untuk summit tak tergoyahkan. Dengan senter di kepala dan langkah
pelan, kami menapaki jalur berbatu menuju puncak.
Langkah demi langkah
terasa berat, napas memburu, tapi langit yang perlahan berubah warna membuat
semua lelah seolah lenyap. Setelah empat hingga lima jam perjalanan, matahari
pagi akhirnya menyambut kami di puncak Gunung Lawu.
Kabut menipis, langit
terbuka, dan pemandangan seolah tidak berujung. Kami berfoto, beristirahat dan
makan cemilan yg kami bawa dari tenda, lalu terdiam bersama. Dalam diam itu,
aku tahu-kami semua sedang merasakan hal yang sama: lega, damai, dan bahagia
dengan cara yang sederhana.
Sekitar satu jam
kemudian, kabut turun lagi. Kami bergegas kembali ke camp sebelum pandangan
tertutup seluruhnya. Jalan licin, tapi hati terasa ringan. Ada sesuatu yang
kami bawa turun, bukan di ransel-melainkan di dalam diri.
Sesampainya di camp kami
masak untuk sarapan dan beristirahat. Selesai menyantap masakan yang sudah
dibuat kami duduk di depan tenda, menatap lembah perlahan diselimuti kabut, aku
sadar: Lawu tidak hanya memberiku pemandangan, tapi pelajaran tentang kehidupan.
Aku datang untuk
menenangkan diri, tapi ternyata yang kutemukan adalah versi diriku yang lebih
tenang. Aku belajar bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Di bawah hujan, kami
saling menopang, bukan saling mengeluh, dan tenang menciptakan solusi. Tenda
yang hampir roboh bisa diselamatkan karena kami tak panik, serta persiapan
mental lebih penting dari fisik. Seperti hidup, pendakian adalah soal bertahan
dengan kepala dingin.
Aku turun gunung dengan langkah yang sama
seperti saat naik, tapi hati yang benar-benar berbeda.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?