FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Cahaya matahari menyinari pagi yang cerah di Desa Tarik, Kabupaten Sidoarjo. Jalanan yang saya lewati dengan sepeda motor terasa begitu akrab. Setiap belokan, jembatan kecil, hingga deretan rumah sederhana seolah berbisik menghadirkan kenangan masa kecil. Saya Fathia Nadhifah, mahasiswi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), kembali ke tempat saya pertama kali belajar mengeja huruf dan menggambar dua gunung dengan hamparan sawah.
Namun kali ini, saya kembali bukan sebagai murid, melainkan sebagai penggerak perubahan. Bersama dua rekan tim, Firdiyanti si sosok pemberani dan Rafita si penyebar tawa dan energi positif—kami berkolaborasi menghadirkan dampak nyata melalui Program Kampus Mengajar Angkatan 8, yang berlangsung selama empat bulan, dari September hingga Desember 2024.
“Beruntung sekali saya mendapat penempatan di tempat pertama kali saya bertumbuh,” tutur saya ketika pertama kali menerima kabar penugasan tersebut.
Ruang kelas tempat saya mengajar nyaris tidak berubah sejak sembilan tahun lalu. Meja dan kursi kayu masih berjejer rapi, namun kini terdengar suara anak-anak berebut menjawab pertanyaan, menghidupkan suasana kelas setiap kali pembelajaran dimulai.
Saya mengajar Bahasa Indonesia dengan cara yang menyenangkan: menyisipkan ice breaking berupa tepuk semangat, nyanyian lucu, tebak kata, hingga permainan edukatif online seperti Wordwall, Kahoot, dan Quizizz. Di lain waktu, siswa menyusun kata dari potongan huruf, membuat puisi tema keluarga, bermain ular tangga matematika, hingga mendengarkan dongeng yang saya bawakan dengan wayang sederhana.
“Siswa-siswi sangat antusias dengan adanya kakak-kakak KM. Mereka mendapat pengalaman belajar yang sangat berharga,” ujar Bu Endah, Kepala Sekolah.
Tidak hanya untuk siswa, saya juga memperkenalkan teknologi pembelajaran kepada para guru: mulai dari pembuatan game edukatif berbasis daring, pembaruan data pada laman belajar.id, hingga cara memasang proyektor untuk digunakan di seluruh kelas. Ada kebanggaan tersendiri dapat berbagi ilmu pada almamater masa kecil saya.
Suatu pagi, saya dan tim bekerja sama dengan para guru untuk merevitalisasi perpustakaan. Rak dibersihkan, buku-buku disampul ulang, dan dinding dihias dengan ilustrasi bertema literasi dan numerasi. Kami juga bekerja sama dengan Donasi Buku untuk menghadirkan buku-buku cerita baru sesuai jenjang usia siswa. Para murid ikut bergotong royong sambil bernyanyi riang.
Tak berhenti di sana, 11 November 2025, kami melaksanakan pawai kebudayaan untuk memperingati Hari Pahlawan. Siswa mengenakan pakaian adat dan profesi, membawa poster serta cerita rakyat. Jalanan desa yang biasanya lengang menjadi semarak oleh warna, tawa, dan tepuk tangan warga yang menonton di pinggir jalan.
Puncak program kerja terjadi pada bulan Oktober. Melalui kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kearsipan Kabupaten Sidoarjo, kami menghadirkan Perpustakaan Keliling. Sebuah truk besar berwarna merah muda dan biru penuh buku-buku yang tertata rapi.
Anak-anak
berebut masuk, menelusuri rak-rak buku dengan mata berbinar. Beberapa duduk di
bawah pohon, tenggelam dalam bacaan. Hadiah juga disiapkan bagi siswa yang
aktif membaca dan berani bercerita. Wajah ceria para siswa menunjukkan bahwa
kegiatan yang telah berjalan dua bulan ini tak sia-sia.
Sampailah
pada ujung kegiatan Kampus Mengajar, hari penutupan menjadi pesta kecil penuh
kenangan suka cita. Di halaman sekolah yang tak begitu luas, dihiasi pita,
tanaman dan balon warna-warni. Para siswa tampil menari, menyanyi, membaca
puisi, dan memainkan drama pendek tentang Penggembala Biri-biri. Saat
giliran terakhir, Firdi, sang ketua pelaksana menyampaikan kesan dan pesan,
suasana haru mulai terasa.
Beberapa
guru terlihat menahan air mata, sementara anak-anak melambai-lambaikan tangan
dengan riang. “Kak, nanti kembali lagi ya!” teriak seorang siswa dari barisan
paling depan. Kalimat sederhana itu membuat dada saya sesak, antara bahagia dan
berat hati. Empat bulan terasa begitu cepat berlalu.
Saya
berdiri di sisi panggung kecil, menatap wajah-wajah mungil yang kini terasa
begitu dekat. Mereka bukan sekadar siswa bagi saya, tapi seperti adik-adik
kecil yang tumbuh bersama dalam proses belajar yang hidup. Di samping panggung,
spanduk bertuliskan “Festival Literasi dan Numerasi Kampus
Mengajar 8 SD Islam Kreatif Hawari”
bergoyang ditiup angin.
Ketika
musik terakhir berhenti, saya melangkah maju dan memegang mikrofon. Dengan
suara sedikit bergetar, saya menyampaikan terima kasih. Tepuk tangan bergema,
diikuti sorak anak-anak yang berlarian mendekati kami. Beberapa memberikan
bunga kertas hasil buatan tangan mereka sendiri. Ada yang menulis surat kecil
di sobekan buku, bertuliskan “Terima kasih, Kak, belajarnya sangat seru.”
Di momen
itu, saya menyadari sesuatu, program Kampus Mengajar bukan sekadar kegiatan
akademik. Ia adalah jembatan antara dunia kampus dan realitas masyarakat.
Sebuah ruang untuk menyalakan kembali semangat belajar yang kadang redup.
Empat
bulan itu mungkin telah usai, tapi jejaknya masih tertinggal di setiap sudut
kelas, di setiap rak buku baru yang disampul, di setiap senyum yang kembali
percaya diri. Saya, Fathia Nadhifah, belajar bahwa mengajar bukan hanya soal
mentransfer ilmu, tapi juga tentang menumbuhkan harapan, bahkan di sekolah
kecil di ujung desa sekalipun.
Dengan
itu, langkah saya meninggalkan gerbang sekolah terasa ringan, karena saya tahu,
di balik dinding sederhana itu, semangat merdeka belajar telah menemukan
rumahnya.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?