| Sumber gambar : Dokumentasi kegiatan studi banding HMTL UIN Sunan Ampel Surabaya X HIMAKI Universitas Airlangga |
FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi penolakan. Sekali saja rasanya sudah menyesakkan—apalagi jika penolakan itu datang bertubi-tubi, hingga delapan kali, dari berbagai jalur masuk perguruan tinggi yang selama ini diimpikan. Luka, ragu, kehilangan percaya diri, bahkan air mata, semuanya pernah dialami Muhammad Evan Maulana Zaki. Bertahun-tahun lalu, ia berdiri di titik terendah hidupnya, mempertanyakan apa yang salah dari dirinya dan apakah ia masih pantas berharap.
Delapan penolakan membuat Evan hampir menyerah. Padahal sejak SD hingga SMA, semuanya terasa mudah baginya. Ia selalu berprestasi, menjadi lulusan terbaik SD, hingga masuk tujuh besar lulusan terbaik SMA Negeri 1 Gresik. Namun saat kelas 12, ia mulai goyah.
Kesibukannya sebagai wakil ketua organisasi, banyaknya dispensasi untuk mengikuti perlombaan akademik seperti OSN, tumpukan kepanitiaan, serta dampak pandemi Covid-19 membuat motivasi belajarnya merosot. Penolakan pertama yang ia terima membuatnya merasa gagal dan mulai mempertanyakan apakah kuliah memang bukan jalannya. Namun di saat bersamaan, ia menyadari bahwa mungkin kegagalan itu bukan tanda Tuhan menolak, melainkan cara Tuhan mengajaknya belajar tentang perjuangan.
Bagi Evan, ujian terberat bukanlah soal pelajaran, tetapi melawan dirinya sendiri. Rasa minder, takut, dan malas terasa jauh lebih berat daripada mengerjakan soal apa pun. Pikiran buruk tentang “tidak cukup baik” terus menghantuinya, ditambah hilangnya sosok-sosok yang dulu menjadi sumber semangat. Di masa pencarian jati dirinya, ia sempat kehilangan arah.
“Tapi justru dari hal-hal seperti inilah aku bersyukur banget sekarang,” ungkap Evan pada 10 November 2025. “Karena itu bisa buat aku mikir lebih dewasa. Aku tanemin prinsip: kalau semua dipikir hari ini, besok aku mikir apa? Stop sekiranya yang nggak kamu bisa handle, dan ubah yang bisa kamu ubah. Terakhir, lebih baik positif thinking daripada overthinking.”
Delapan penolakan bukan jumlah yang kecil. Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri: mengapa aku tidak diterima? Apa aku kurang pintar? Apa Tuhan benar-benar tidak berpihak padaku? Namun Evan selalu kembali pada dua hal: rasa haus terhadap ilmu, dan tanggung jawabnya terhadap keluarga.
Kepergian ayahnya saat Evan kelas dua SD membuatnya merasa harus bertahan. Ia tahu ibunya telah berkorban terlalu banyak untuk dirinya dan adiknya. Itu sebabnya, meski hancur berkali-kali, Evan tetap mencoba lagi. Baginya, ia hanya butuh satu kali diterima untuk menutup semua penolakan. Selama ia masih mampu berdoa dan berusaha, ia tidak akan berhenti.
“Bagiku, setiap penolakan itu bukan tanda berhenti, tapi tanda aku masih diuji untuk jadi lebih kuat,” ujarnya.
Hingga pada suatu hari, ketika ia merasa tidak punya arah, seorang dosen memberi informasi tentang pendaftaran di salah satu universitas ternama di Surabaya. Dengan dorongan tante dan ibunya, Evan kembali belajar serius selama tiga hari penuh. Tuhan tahu waktu yang tepat. Tidak ada lagi pengumuman penolakan—hanya namanya tertera sebagai mahasiswa baru Universitas Airlangga.
“Aku baca namaku berkali-kali, takut itu cuma halu. Tapi ternyata nyata. Aku nangis waktu itu. Bukan karena sedih, tapi karena lega,” kenangnya. “Akhirnya aku bisa bilang ke diriku sendiri: See, you can do it, Bro.”
Dari titik itulah perjalanan barunya dimulai. Evan membangun dirinya dari bawah: menjadi Komting saat ospek, dikenal karena kepemimpinannya, hingga meraih gelar Best Staff HIMAKI 2024. Kepercayaan itu terus meningkat sampai akhirnya ia terpilih sebagai Ketua HIMAKI UNAIR 2025.
Ketika ditanya apa yang ingin ia sampaikan kepada dirinya yang dulu, Evan menjawab dengan penuh refleksi:
“Aku bakal bilang, ‘Calm, semua rasa sakitmu ada gunanya. Kamu cuma belum sampai. Berani ambil risiko itu perlu. Nggak apa-apa dulu sempat malas, yang penting kamu sadar dan mau berubah. Orang besar itu bukan yang nggak pernah jatuh, tapi yang nggak malu buat bangkit lagi.’”
Kini, setelah semua penolakan itu berubah menjadi batu loncatan, Evan mampu melihat makna di baliknya. Pelajaran terbesar yang ia dapatkan adalah bahwa hasil besar lahir dari keberanian kecil yang dilakukan berulang-ulang. Ia percaya bahwa waktu dan rencana Tuhan selalu lebih indah dari apa yang manusia rencanakan.
“Kadang yang kita kira kegagalan, ternyata cara Tuhan melindungi kita dari sesuatu yang belum siap kita jalani,” tambahnya. “Dan aku belajar, jangan pernah berhenti mengenal diri. Dari situ kita tahu kekuatan kita, tahu apa yang perlu diperbaiki, dan tahu harus melangkah ke mana.”
Untuk teman-teman yang sedang berada dalam fase ditolak, gagal, atau kehilangan arah, Evan memberikan pesan:
“Rasanya kayak semua usaha nggak dihargai. But believe me, suatu hari nanti kamu bakal bersyukur pernah gagal. Jangan buru-buru merasa kalah. Tetap jalan, sekecil apa pun langkahmu.”
Kini Evan menatap masa depan dengan harapan besar. Ia ingin melanjutkan S2 di kampus top dunia dan bekerja di perusahaan ternama. Mimpinya sederhana namun bermakna: menjadi manfaat bagi orang lain melalui kimia berkelanjutan, khususnya green chemistry.
“Buatku, kimia itu bukan cuma tentang menciptakan hal baru,” pungkasnya. “Tapi bagaimana kita menciptakan sesuatu tanpa merusak.”
---
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?