Banner Iklan

Benang Kisah yang Menjahit Perjalanan Batik Gajah Mada

Admin JSN
21 November 2025 | 21.44 WIB Last Updated 2025-11-21T15:12:26Z

 

Gambar 1. Pendiri Batik Gajah Mada

Sumber: Dokumentasi Pribadi


FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Sejak kecil, halaman rumah Eyang selalu identik dengan helai-helai batik yang dijemur berderet. Warnanya cerah, motifnya rumit, dan aromanya, perpaduan malam panas dan pewarna batik yang khas. Entah bagaimana hal ini selalu mengingatkan saya pada masa kanak-kanak.

Baru-baru ini, ketika saya tumbuh dewasa dan berkesempatan mewawancarai langsung Eyang Munganah, barulah saya memahami betapa panjang dan berat perjalanan yang telah ditempuh untuk melahirkan nama besar Batik Gajah Mada di Tulungagung. Bagi masyarakat kota ini, Batik Gajah Mada adalah nama yang sudah sangat akrab. Namun, kisah di balik kejayaannya hampir tidak pernah diketahui.

Perjalanan itu tidak dimulai dari bangunan megah ataupun modal yang besar, melainkan dari rumah sederhana pasangan Danu Mulya dan Munganah. Mereka adalah kakek dan nenek saya, yang merintis usaha ini bermodalkan keberanian dan keyakinan semata. “Dulu Eyang cuma punya sepeda ontel,” tutur Eyang Munganah sambil tersenyum kecil, dan matanya menerawang jauh mengingat masa-masa awal perjuangan.

Sepeda itulah yang akhirnya dijual. Hasil penjualannya sebesar Rp13.000,— sebuah angka yang mungkin tampak kecil hari ini, tetapi pada masa itu menjadi harapan besar. Uang tersebut mereka belikan mori, malam, dan pewarna batik. Itulah modal pertama untuk merintis Batik Gajah Mada.

Eyang bercerita tentang malam-malam awal ketika usaha itu mulai dirintis: duduk berdua di lantai rumah, ditemani lampu minyak, melowong dan membatik hingga larut malam. “Eyang melowongi kain sendiri sampai larut malam,” tuturnya. Setelah menikah pada 1974, Eyang dan Kakung menapaki usaha ini tanpa pegangan lain selain keuletan.

Eyang Munganah sudah mengenal dunia membatik sejak kecil. Meski tidak menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tangannya sangat terampil dan pikirannya selalu maju. “Sekolah eyang memang tidak tinggi, tapi kerja ya harus pintar. Besok anak-anak dan cucuku harus sekolah yang tinggi,” ujarnya dengan penuh penekanan.

Kalimat itu selalu terngiang di kepala saya. Nasihat sederhana yang justru menjadi salah satu alasan saya berani melanjutkan studi sampai perguruan tinggi. Kini, saya hanya bisa mendengar cerita-cerita itu dari Eyang Munganah. Kakung Danu telah berpulang pada 2020, meninggalkan warisan ketekunan yang terus hidup di setiap helai batik.

Setahun setelah menikah, anak pertama lahir. Eyang bercerita, saat perutnya semakin besar dan langkahnya melambat, ia tetap membatik sambil sesekali memejam menahan nyeri. “Eyang itu nggak pernah minta ke orang tua. Kalau tidak bekerja, tidak makan,” ujarnya ketika saya bertanya bagaimana beliau mampu bertahan.

Batik yang diproduksi dari hasil kerja keras itu mereka bawa ke Pasar Wage, Tulungagung. Ada hari-hari ketika kain tidak laku. Ada pula penjual yang menolak menerima titipan. Namun, Kakung dan Eyang tidak pernah berhenti mencoba. Sedikit demi sedikit beberapa toko mulai percaya. Dari sekadar menitipkan barang, Batik Gajah Mada perlahan menjadi pemasok tetap.

Tahun 1977 menjadi titik perubahan. Pesanan kian banyak. Rumah kecil yang dulu sunyi mulai dipenuhi canting, percikan malam panas, dan langkah-langkah karyawan yang mulai membantu produksi. Pada tahun itu pula, lahirlah anak kedua. Ini menambah beban, tetapi bagi Kakung dan Eyang juga menjadi alasan untuk terus berjuang. Saat Eyang bercerita tentang masa-masa itu, suaranya sedikit bergetar.

Pernah suatu waktu mereka mengambil pinjaman bank untuk menambah modal, tetapi pembayaran sering macet. “Pusing, tapi ya harus jalan terus,” katanya sambil senyum tipis. Sorot mata Eyang memperlihatkan binar kebanggaan. Bukan karena mereka telah berada di puncak, melainkan karena mereka tidak menyerah saat berada di titik terendah. Jatuh-bangun, manis-pahit sudah pernah dialaminya.

Gambar 2. Batik Sekar Jagad (Khas Gajah Mada

Pada 1979, usaha batik berkembang lebih besar. Batik Tong Yin dengan warna menyala menjadi produk yang banyak diproduksi untuk dipasok ke Mojokerto. Anak ketiga lahir pada tahun yang sama. Rumah produksi semakin sibuk. Anak dan keponakan Eyang Munganah ikut membantu.

Tahun 1981, lahirlah anak keempat. Si bungsu ini menggambar motif yang kemudian diabadikan namanya sebagai batik Nusa Indah, salah satu produk paling diminati pelanggan.

Pesanan semakin banyak hingga Kakung dan Eyang kewalahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dari situlah mereka menciptakan inovasi batik cetak dengan teknik sablon untuk mempercepat produksi dan menekan biaya.

Keberanian berinovasi inilah yang membuat Batik Gajah Mada melompat lebih jauh. Banyak pelaku usaha mulai menitipkan batik kepada mereka untuk dibantu pemasarannya. Eyang tidak hanya memasarkan batiknya sendiri, tetapi juga membuka jalan bagi usaha-usaha kecil di sekitarnya.

Ketika bercerita tentang pemasaran batik ke Solo dan Surabaya, Eyang tertawa kecil. “Saya pakai sepatu heels, rambut bob, bawa kresek besar kanan-kiri,” katanya, membuat saya ikut tertawa sembari membayangkan penampilan beliau. Dengan angkutan umum, transit berkali-kali, membawa kiloan kain, beliau menuju Pasar Slompretan, Surabaya. Perjalanan panjang itu dilakoni dengan tekad yang tak pernah padam.

Setiap bepergian untuk mengantar batik, Eyang Munganah selalu ditemani oleh Kakung Danu. Mereka saling bahu membahu. Membagi tugas dan peran. Tak lupa, Eyang juga mengajak salah satu anaknya secara bergantian.

Usaha pun semakin berkembang. Sedikit demi sedikit, keuntungan dari Batik Gajah Mada digunakan membeli tanah, membangun rumah, dan menambah karyawan. Banyak warga sekitar yang hingga kini menjadi pembatik tetap di Batik Gajah Mada. Perjuangan Eyang akhirnya membuahkan kepercayaan besar, memenangkan tander dan mendapat pesanan dari pemerintah Kabupaten Tulungagung.

Saat anak-anaknya tumbah dewasa, mereka pun ikut serta memperluas jaringan usaha. Anak keempat yang sejak kecil sudah ikut berjualan dan menciptakan motif, memberanikan diri melobi kemitraan dengan Batik Keris di Solo. Tidak mudah.

Mereka harus membuktikan kapasitas produksi, kualitas, dan komitmen. Bahkan setelah menjadi mitra, setiap pesanan tetap melalui proses kurasi ketat. Pernah beberapa kali setelah mengirim barang, lebih dari separuh produk dikembalikan. “Rugi? Ya rugi. Tapi perbaikan itu wajib,” ujar Eyang.

Setelah berhasil menembus Solo, mereka merambah ke Yogyakarta dan akhirnya diterima di Mirota Batik. Prinsip keluarga saya tetap sama; kalau ingin maju, jangan berhenti melangkah. 

Gambar 3. Batik Tulis Khas Gajah Mada

Kini, puluhan tahun setelah lembaran batik pertama itu dibuat, Batik Gajah Mada berdiri sebagai salah satu ikon batik Tulungagung. Di baliknya ada cerita tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tulus kepada keluarga.

Ketika saya menatap Eyang yang mulai renta, duduk di kursi kayu sambil memegang kain batik yang sedang dikerjakannya, saya sadar betul bahwa kesuksesan ini bukan sekadar nama besar. Ini adalah warisan perjuangan yang ditulis dengan tangan, air mata, dan doa.

Tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari kisah perjuangan Kakek, Nenek, dan keluarga saya dalam membangun dan mempertahankan usaha Batik Gajah Mada.

---

Clara Naida Wardani
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Benang Kisah yang Menjahit Perjalanan Batik Gajah Mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now