![]() |
Anggota DPD RI Lia Istifhama menanggapi kasus penyimpangan seksual besar di Surabaya./dok. Lia Istifhama Center |
SURABAYA | JATIMSATUNEWS.COM - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Jatim, Dr. Lia Istifhama, turut prihatin ketika mengetahui penggerebekan terhadap dugaan pesta seks sesama jenis (gay) yang melibatkan 34 pria di sebuah hotel di wilayah Ngagel, Surabaya.
Menurut Ning Lia--sapaannya, peristiwa itu merupakan pelanggaran hukum dan norma sosial, juga menjadi sinyal serius tergerusnya moral generasi muda di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang makin bebas.
Lia Istifhama juga menegaskan bahwa fenomena LGBT bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga menyangkut kondisi kejiwaan yang perlu perhatian serius.
"Ini realita yang sangat memprihatinkan. Kita sedang bicara tentang generasi emas Indonesia, tentang bagaimana bangsa ini bisa menjadi kuat secara moral dan mental. Jika moral anak bangsa rusak, maka masa depan negara ikut terancam," ujar Ning Lia, pada Minggu (19/10) sore.
Lia menjelaskan, maraknya perilaku menyimpang di masyarakat menjadi cerminan lemahnya pendidikan moral dan spiritual, baik di lingkungan keluarga maupun sosial.
Menurutnya, berbagai kasus kriminal yang terjadi akibat hubungan sesama jenis membuktikan adanya dampak psikologis yang tidak dapat diabaikan.
"Banyak kejadian yang menunjukkan, ketika hubungan sesama jenis berakhir, sebagian pelaku justru terjerumus ke tindakan ekstrem seperti pembunuhan atau mutilasi. Ini sangat menyedihkan dan menjadi alarm bagi kita semua," tegasnya.
Mengajak Orang Tua Bentengi Anak dengan Moral dan Agama
Senator asal Jawa Timur ini mengajak seluruh orang tua agar lebih peka dan terlibat aktif dalam menjaga anak-anak dari pengaruh lingkungan negatif.
Ia menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pendidikan karakter yang kuat sejak dini.
"Saya mohon kepada para orang tua di mana pun berada, mari bersama-sama kita jaga anak-anak kita. Jangan biarkan mereka terjerumus dalam lingkaran perilaku yang menyimpang. Ini bukan hanya tentang larangan agama, tapi tentang kesehatan mental dan masa depan mereka," imbaunya.
Jangan Menjadikan Orang Lain Korban
Ning Lia menyampaikan pesan khusus kepada mereka yang berada dalam komunitas LGBT agar tidak menyeret orang lain ke dalam situasi yang sama.
Ia menilai, beberapa individu dalam komunitas tersebut menjadi pelaku sekaligus korban dari pengalaman masa lalu, seperti kekerasan seksual atau trauma masa kecil.
"Kami paham, sebagian dari mereka mungkin pernah menjadi korban. Tapi jangan menjadikan orang lain korban baru. Dari 34 orang yang ditangkap di Surabaya itu, bisa jadi tidak semuanya pelaku, ada yang mungkin dijebak atau tidak tahu-menahu. Ini yang harus kita waspadai," ujarnya.
Penegakan Hukum Harus Jelas dan Tegas
"Ketika berbicara kekerasan seksual. Berdasarkan riset yang pernah saya lakukan, bahwa perempuan penyintas atau korban kekerasan seksual lebih cepat memiliki resiliensi atau bangkit dari trauma daripada korban berjenis kelamin laki laki. Dari semua subjek yang saya teliti, agama menjadi sumber utama proses resiliensi. Diantaranya ayat suci Alquran, Al-Insyirah ayat 5 yang menyebutkan bahwa 'Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan'," ungkap politisi sekaligus musisi tersebut.
Terkait penyimpangan dan pelecehan seksual, senator yang identik dengan tagline Cerdas Inovatif dan Kreatif (Cantik) ini juga menekankan pentingnya hukuman yang bisa memberi efek jera bagi pelaku atau sumber penyimpangan.
"Apakah hukum yang ada saat ini sudah memberikan efek jera? Penting dicermati beberapa perundang-undangan yang dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan seksual yang kemudian menjadi sumber perilaku penyimpangan seksual atau LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, red.), diantaranya Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000.
"Dalam undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai perbuatan berbentuk serangan secara meluas atau sistematik, dan ditujukan langsung kepada penduduk sipil. Beberapa contoh kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, dan lain sebagainya, dimana pada pasal 37 dijelaskan tentang pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun," bebernya.
"Hukuman berat ini penting diimplementasikan sebagai upaya abilisionistik, yaitu menekan potensi kejahatan dari sumber-nya. Mengingat kejahatan seksual merusak masa depan korban maupun keluarga korban, juga menyebabkan korban sebagai pelaku di masa mendatang. Sama halnya dengan pesta gay yang terjadi di Surabaya, saya yakin diantara mereka adalah mantan korban kejahatan seksual," lanjutnya.
Ia juga menyinggung tentang hukuman kebiri yang sebetulnya telah ada dalam Perpres.
"Kalau bicara hambatan generasi emas dari sisi moral, yaitu bagaimana kita punya mimpi besar sedangkan ada masalah moral, psikis, kejiwaan, yang terjadi akibat ulah pelaku kejahatan seksual yang menjelma sebagai komunitas LGBT? Maka ini menjadi realita, bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Oleh sebab itu, hukuman yang memberikan efek jera sangat penting, diantaranya pelaksanaan termasuk memberitahukan identitas pelaku kepada publik sebagai pemberian sanksi sosial dan hukuman kebiri sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2020. Walaupun sampai saat ini, masih menjadi perdebatan," tuturnya.
Perlu diketahui, Doktoral UINSA tersebut memang bukan kali pertama menyinggung tentang hukuman kebiri.
Beberapa tahun lalu saat dikenal sebagai aktivis perempuan, ia seringkali menyinggung implementasi hukuman kebiri. Namun, ia tak menampik bahwa kemungkinan hukuman kebiri dapat terlaksana di Indonesia masih menjadi tanda tanya. ***
Editor: YAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?