Banner Iklan

Menguji Daya Tahan Pesantren dalam Perubahan Sosial

Admin JSN
21 Oktober 2025 | 17.37 WIB Last Updated 2025-10-22T07:49:49Z

 

Abdul Malik Karim Amrullah (Guru Besar, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Ketua LP Ma’arif NU Kab Malang)

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Menjelang hari santri, pesantren memang di sorot dengan berbagai perspektif, ada yang menyorot dari perspektif tradisi agung bahkan sampai ke feodalisme ala pesantren yang akhirnya menjadi diskusi public yang cukup menyita perhatian.

Diskusi publik ini pada dasarnya meng “uji” daya tahan pesantren dalam perubahan pandangan Masyarakat, apakah Lembaga Pendidikan Islam tertua di Nusantara ini memang betul-betul bisa bertahan dan eksis melampaui jaman atau akan menjadi tanda-tanda kemunduran eksistensi pesantren di Masyarakat.

Persoalan klasik memang jika kita cermati feodalisme di dunia seperti budaya membungkuk dan sujud di Jepanga (Ojigi) atau Korea (Cheonsang Yeolcha Bow) misalnya, akan memiliki stigma lebih positif ketimbang budaya membungkuk di kalangan santri.

Selain itu juga tradisi “Nyeker” santri dengan “Nyeker” di Australia, akan memiliki stigma berbeda. Kalau di Australia akan di analisis dengan penyatuan manusia dengan alam yang akan menghasilkan kualitas daya tahan tubuh manusia.

Sedangkan, “Nyeker” di Pesantren akan dimaknai dengan tindakan yang memalukan karena dianggap tidak rapi dalam menggunakan aksesoris pakaian, atau mungkin dalam perilaku yang lainnya.

Mengapa tradisi pesantren masuk stigma negatif, mungkin bisa dipahami karena stigma negara maju dan bukan maju.

Biasanya negara “maju” menjadi trendsetter, misalnya perempuan cantik itu menurut negara maju adalah yang berkulit putih, maka perempuan yang berkulit hitam akan menjadi golongan inferior, dan begitu sebaliknya.

Jika negara maju suatu saat memiliki standar bahwa perempuan yang cantik adalah yang berkulit hitam, maka standar itu juga akan menjadi trendsetter dunia.

Jadi, setidaknya jika pesantren ingin menjadi trendsetter, maka harus menjadi bagian negara maju, atau setidaknya pesantren sendiri menjadi Lembaga yang maju dalam pengelolaannya.

Bagaimana Pesantren bisa disebut maju? Apakah harus meninggalkan identitas sebagai Lembaga tradisional?

Sebenarnya, jawabannya sudah sering disebut para pendahulunya, yaitu kaidah al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah, yakni mempertahankan tradisi lama yang baik dan melakukan inovasi untuk kemaslahatan.

Kalangan manajemen pesantren segera mungkin mengidentifikasi nilai-nilai luhur mana yang harus dipertahankan.

Misalnya, tradisi Ro’an (kerja bakti) yang selama ini dilakukan, apa tetap harus dipertahankan? Tradisi Ro’an sebenarnya tradisi yang baik, karena hakikatnya mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan rasa self belonging santri terhadap pesantren yang memang harus mereka lakukan.

Hanya saja, untuk perspektif masyarakat saat ini tampaknya tradisi ini menjadi sorotan terutama ketika melihat ro’an santri yang terlibat dalam Pembangunan Gedung pesantren.

Melihat itu, masyarakat menilai dengan perspektif nalar rasional umum sedangkan pesantren menggunakan nalar ketaatan.

Ada baiknya mungkin tradisi Ro’an tetap dipertahankan tapi harus ada modifikasi. Misalnya, dilakukan secara selektif bagi santri yang memang memiliki bakat dan kecakapan khusus.

Tradisi seleksi ini sebenarnya juga tradisi seorang kiai saat ingin memilih murid tertentu yang dinilai bakat pada ilmu tertentu, atau seorang kiai saat meminta seorang santri untuk menjaga kebersihan pesantren setiap hari sementara santri yang lainnya tidak dianjurkan. Mungkin, karena dalam pandangan seorang kiai, santri tersebut memang memiliki kecakapan yang memang harus dilatih dengan menjaga kebersihan pesantren, sehingga santri akan terbiasa disiplin dan sabar dalam menjalankannya.

Nah, nilai disiplin dan kesabaran inilah yang diinginkan seorang kiai dalam menyeleksi santri. Begitu juga dengan tradisi ro’an dalam Pembangunan Gedung pesantren. Dalam pandangan seorang kiai yang memiliki kebijaksanaan, akan betul-betul menempatkan santri yang memang benar-benar punya bakat di bidang bangunan, atau bisa jadi menempatkan santri yang dipersyaratkan menguasai nilai dan sikap tertentu saat menjalankan ro’an.

Jadi, sebenarnya tidak perlu pesantren meninggalkan tradisi luhur yang selama ini dipegang teguh. Akan tetapi, tinggal menjalani dengan konteks kekinian dengan prinsip kebijaksanaan.

Prinsip kebijaksanaan memang kerap kita sering baca dari perilaku kiai sepuh, yakni mereka selalu mengedepankan maslahat saat melaksanakan aktivitas kesehariannya. Para penerus kiai atau yang dikenal dengan Gawagis (para Gus) ini sangat paham betul perilaku kiai sepuh yang harus mereka terjemahkan dengan konteks saat ini.

Terlebih para gus saat ini juga memiliki pandangan yang lebih rasional karena selain menempuh jenjang Pendidikan pesantren mereka juga kebanyakan menempuh jenjang Pendidikan formal. Sehingga, mereka memandang pesantren barangkali sudah mulai berbeda dengan pandangan kiai sepuh, yang mereka murni mengenyam Pendidikan pesantren dengan nilai adi luhungnya itu.

Pesantren itu sebenarnya Lembaga yang sudah 'menjadi' dan 'menjadikan', artinya mereka sebenarnya Lembaga yang matang dengan identitasnya.

Sebenarnya, tidak perlu “kaget” dengan fenomena baru yang mungkin masih mau 'menjadi' dan 'menjadikan', jika pesantren melakukan transformasi dengan model tata kelola baru. Sebenarnya, itu juga tidak masalah, yang penting tujuan organisasi bisa tercapai.

Ibarat, kalau kita lebih suka makan pecel ya silakan, atau makan rawon yang silakan. Itu hanya pilihan dalam tata kelola pesantren. Karenanya, tata kelola pesantren yang sangat kuat dengan identitas ini harus menjadi arus kuat untuk menjadi trendsetter Lembaga lainnya dalam menata dengan kaidahnya luhur yang dipegang selama ini. Yaitu, mempertahankan nilai lama yang baik dan melakukan inovasi pada nilai baru yang dianggap maslahat. Wallahu a’lam.

***


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menguji Daya Tahan Pesantren dalam Perubahan Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now