OPINI | JATIMSATUNEWS.COM - Kampus, seharusnya adalah benteng
intelektual dan laboratorium demokrasi. Namun, realitas pahit menunjukkan bahwa
banyak organisasi mahasiswa saat ini justru menjadi peternakan oligarki
politik. Di sana, mahasiswa ditempa tidak hanya dengan ilmu pengetahuan, tetapi
juga dengan idealisme dan etika berpolitik. Namun, realitas yang terjadi di
banyak kampus saat ini justru mengkhianati idealisme tersebut. Alih-alih
menjadi cerminan aspirasi mahasiswa, kebijakan strategis yang dibuat oleh
organisasi internal (DEMA/BEM/SEMA) justru sering kali ditentukan oleh arahan
ketua umum organisasi ekstra kampus (OMEK) untuk kepentingan tertentu.
Ironisnya, Fenomena ini bukanlah hal
baru. Jika kita amati, pola ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di tingkat
pemerintahan. Seperti yang pernah diungkapkan Prof. Mahfud MD saat berdebat
dengan Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) mengenai pengesahan RUU Perampasan Aset
saat membahas transaksi mencurigakan kementerian keuangan rapat pada hari rabu
tanggal 23 Maret 2023. Alih-alih menjadi arena musyawarah wakil rakyat, DPR
lebih tampak sebagai perpanjangan tangan ketua umum partai. Anggota DPR, meski
dipilih langsung oleh rakyat, tidak bisa mengesahkan kebijakan strategis tanpa
menunggu sinyal “siap” atau “berhenti” dari sang ketua partai. Bukankah ini
ironis? Dewan yang sejatinya perwakilan rakyat malah berubah menjadi perwakilan
partai.
Lalu, mengapa ini sangat berbahaya
bagi kampus?
Pertama, praktik ini mengikis
independensi organisasi mahasiswa. Organisasi internal mahasiswa seharusnya
memiliki otonomi penuh untuk menentukan arah dan kebijakan mereka berdasarkan
kebutuhan dan aspirasi nyata dari seluruh mahasiswa, bukan dari agenda politik
pihak luar. Ketika kebijakan ditentukan oleh OMEK, maka suara mayoritas
mahasiswa bisa jadi terabaikan.
Kedua, ini melahirkan generasi
pemimpin yang pragmatis dan tidak mandiri. Mahasiswa yang berproses dalam
organisasi internal dengan pola seperti ini akan terbiasa untuk
"nurut" dan tidak memiliki keberanian untuk mengambil keputusan
secara independen. Mereka dididik untuk menjadi petugas partai sejak dini,
bukan pemimpin yang berintegritas. Bayangkan jika kelak mereka menjadi pemimpin
di pemerintahan atau perusahaan. Mereka akan cenderung mencari "bos"
atau patron untuk menentukan langkah, alih-alih mengambil keputusan berdasarkan
kebenaran dan kepentingan bersama.
Ketiga, ini merusak iklim demokrasi
di kampus. Jika kebijakan kampus dikendalikan oleh segelintir elite di luar
kampus, maka esensi dari musyawarah, debat, dan dialog menjadi tidak relevan.
Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya pemikiran kritis dan pemimpin
berkarakter, justru menjadi tempat di mana budaya patron-klien dipelihara.
Kampus harus kembali pada khittahnya
sebagai benteng intelektual. Organisasi internal mahasiswa harus berani menolak
intervensi dari OMEK, dan kembali pada prinsip kedaulatan mahasiswa. Kebijakan
harus lahir dari aspirasi kolektif, bukan dari arahan segelintir elit di luar
kampus. Jika tidak, maka kita sedang mencetak generasi "Yes-man" yang
akan membawa praktik buruk ini ke pemerintahan dan merusak masa depan demokrasi
Indonesia. Kita harus memastikan bahwa miniatur pemerintahan di kampus ini,
berjalan dengan prinsip-prinsip demokrasi sejati, bukan menjadi perpanjangan
tangan oligarki.
Oleh : Mahasiswa Anonym
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?