QRIS dan KKP Ketika Digitalisasi Belanja Negara Menyentuh Warung Tetangga, Oleh : Mansyur Arifin
ARTIKEL| JATIMSATUNEWS.COM: Transformasi digital dalam pengelolaan keuangan negara terus bergulir. Salah satu episode terbarunya: penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dalam Kartu Kredit Pemerintah (KKP). Sepintas, ini terdengar teknis. Namun sebagai seseorang yang bekerja langsung di KPPN, saya melihat bahwa ini bukan sekadar soal kode QR atau efisiensi sistem. Ini tentang bagaimana negara membeli, dan siapa yang mendapat kesempatan menjual.
Dulu, belanja barang oleh satuan kerja pemerintah (Satker) dilakukan melalui mekanisme tunai atau transfer bank. Setelah KKP diperkenalkan, proses menjadi lebih cepat dan transparan. Namun, KKP pada awalnya hanya bisa digunakan di merchant yang bekerja sama dengan bank penerbit, umumnya usaha menengah ke atas.
Kini, dengan integrasi QRIS ke dalam KKP, pedagang kecil, warung, bahkan UMKM di pelosok, bisa menjadi bagian dari ekosistem belanja negara. Negara bukan lagi belanja dari pusat belanja besar di kota, melainkan dari tetangga. Warung Pak Sahrul di belakang kantor pos bisa jadi pemasok ATK Satker.
Sebagai JF PTPN di KPPN, saya melihat langsung antusiasme, sekaligus tantangan di lapangan. Banyak pejabat pengadaan yang semula ragu, kini mencoba bertanya: “Apa bisa beli di warung pakai KKP?” Jawabannya: bisa, kalau warung itu sudah punya QRIS. Dan kini, makin banyak yang punya.
Namun realitasnya, adopsi QRIS belum merata. Banyak warung belum memahami manfaatnya, bahkan takut karena menduga ada potongan atau pajak tinggi. Di sisi lain, tidak semua Satker berani membeli di warung kecil, karena khawatir tidak memenuhi persyaratan pengadaan. Inilah paradoks digitalisasi: teknologi sudah ada, tapi praktik dan persepsi belum selaras.
Hal lain yang perlu dicermati adalah sense of ownership dari ASN terhadap perubahan ini. QRIS dalam KKP bukan hanya inovasi teknologi, tetapi bagian dari upaya menciptakan ekonomi gotong-royong versi digital. Bila belanja pemerintah bisa memberdayakan ekonomi lokal, maka digitalisasi telah menyentuh urat nadi keadilan sosial.
Isu terbaru yang tak bisa diabaikan adalah potensi shock di ekosistem pembayaran akibat kebijakan global. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS nanti bisa berarti tekanan terhadap sistem keuangan internasional, termasuk pada jaringan kartu kredit seperti Visa dan Mastercard—dua entitas yang selama ini terlibat dalam KKP. Maka, QRIS—sebagai sistem pembayaran lokal—bisa menjadi alternatif strategis, bukan hanya praktis.
Tetapi transformasi ini harus dikawal. Jangan sampai QRIS dalam KKP hanya jadi jargon tanpa makna. Misalnya, tetap saja Satker belanja ke vendor besar karena dianggap lebih “aman”, sementara warung kecil hanya jadi pelengkap laporan. Atau lebih buruk, muncul praktik mark-up digital yang tak kasat mata.
Maka, negara perlu lebih dari sekadar regulasi. Diperlukan bimbingan teknis, insentif partisipatif, dan pemahaman menyeluruh dari seluruh pihak: ASN, UMKM, dan masyarakat luas. Kita tidak sedang membangun sistem digital semata, tetapi membentuk ulang ekosistem belanja negara.
QRIS dalam KKP bisa menjadi simbol kemajuan atau sekadar alat baru dari sistem lama. Semua tergantung siapa yang dilibatkan, dan siapa yang dilupakan.
Oleh : Mansyur Arifin
Penulis adalah JF PTPN (Pembina Teknis Perbendaharaan Negara) pada KPPN Malang. Aktif membina implementasi belanja pemerintah berbasis digital di wilayah kerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?