cr: Kumparan |
Uswatun Hasanah: "Nasib guru di tengah tuduhan, pentingnya komunikasi dan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menjaga marwah pendidikan."
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Belakangan ini,
ruang kelas tak lagi sekadar tempat belajar; ia berubah menjadi ladang ranjau
yang siap meledak kapan saja. Guru yang dahulu dihormati, kini berada di ujung
tanduk rentan dilaporkan, diseret ke ranah hukum, bahkan dipermalukan di ruang
publik tanpa proses yang adil. Fenomena kriminalisasi guru bukan lagi hal
sporadis. Ia menjelma jadi gejala sistemik yang mengancam fondasi pendidikan
itu sendiri.Ketika tindakan mendidik seperti menegur, mendisiplinkan, atau
mengarahkan dibaca sebagai bentuk kekerasan atau pelanggaran hukum, maka yang
terjadi bukan sekadar salah paham, tapi pembunuhan karakter. Guru tak hanya
dituduh, tapi langsung diadili oleh opini publik, media sosial, dan seringkali
oleh aparat hukum bahkan sebelum kebenaran sempat diurai. Di tengah badai
tuduhan ini, siapa yang masih mau menjadi guru?.Contoh kasus salah satu teman
guru yang menegur siswanya karena ramai saat melaksanakan sholat dhuhur.Anak
tersebut ditegur dengan suara lembut tetapi tidak menghiraukan lalu guru
tersebut manikkan oktavnya agak keras tidak juga dihiraukan sampai oktav
tertinggi juga dan sampailah pada tahap anak tersebut dipukul dengan sajadah.dari
pukulan tersebut murid tersebut tidak terima akhirnya dia mengadu kepada orang
tuanya dan akhirnya orang tua tersebut mendatangi sekolah.Tidak berhenti di
situ orang tua mendatangi kemendiknas dan melaporkan kejadian tersebut.Bahkan
melaporkan pemukulan anaknya terhadap pihak yang berwajib atau polisi.Media
massa yang memang sehari-hari nongkrong di kantor tersebut mendapatkan berita
dan akhirnya viral.Berita tersebut tidak hanya viral di media cetak seperti
koran,bahkan yang lebih dahsyat adalah viral di media sosial.Orang-orang yang
tidak tahu kejadian sebenarnya akhirnya ikut berkomentar dari sudut pandang
mereka,ada yang pro dan ada yang kontra bahkan mereka cenderung
menghakimi.Guru-guru yang mempunyai dedikasi tinggi dan disiplin biasanya
mereka peka terhadap pembentukan karakter murid dibanding guru yang memang
datang ke sekolah hanya mengajar,memberi materi,setelah itu pulang. Orang tua yang cepat melaporkan guru
ke pihak berwajib mungkin tidak sepenuhnya memahami betapa pentingnya peran
guru dalam membentuk karakter anak mereka. Sikap ini tidak hanya membuat para
guru rentan terhadap tindakan hukum yang merugikan, tetapi juga memberikan
contoh buruk bagi siswa. Mereka cenderung melihat otoritas guru sebagai sesuatu yang bisa
ditentang kapan saja, tanpa harus memikirkan tanggung jawab dan batasan dalam
pergaulan sosial.
Solusi Sekolah
Secara Menyeluruh dalam Menyikapi Laporan Wali Murid
Dalam
menghadapi laporan dari wali murid terkait tindakan guru, khususnya yang
menyangkut dugaan kekerasan fisik, sekolah perlu bersikap bijak dan
profesional. Penanganan harus dilakukan secara menyeluruh dengan mengutamakan
keadilan, empati, serta menjaga marwah pendidikan. Langkah pertama yang harus
diambil adalah bersikap responsif dan tidak defensif. Sekolah harus segera
menanggapi laporan yang masuk dengan serius tanpa terburu-buru membela guru
atau menyalahkan siswa. Sikap empatik sangat diperlukan dalam komunikasi awal
dengan wali murid, misalnya dengan menyampaikan, “Kami memahami perasaan
Bapak/Ibu, dan kami akan menangani masalah ini secara adil.”
Setelah laporan
diterima, langkah berikutnya adalah melakukan investigasi internal. Kepala
sekolah atau tim yang ditunjuk perlu segera memanggil guru yang bersangkutan
untuk mendapatkan klarifikasi. Informasi dari berbagai pihak juga penting,
seperti dari siswa lain yang menyaksikan kejadian, guru pendamping, atau
pengawas kegiatan. Jika tersedia, rekaman CCTV atau bukti pendukung lainnya
harus segera ditelaah secara objektif. Hasil dari proses ini dituangkan dalam
laporan tertulis sebagai dokumentasi resmi dan acuan langkah selanjutnya.
Apabila situasi
masih memungkinkan untuk diselesaikan secara internal, sekolah dapat
mengupayakan mediasi antara guru dan orang tua. Mediasi ini sebaiknya dilakukan
secara kekeluargaan dengan melibatkan kepala sekolah, komite sekolah, atau
pengawas. Dalam mediasi, bila memang terjadi tindakan kekerasan fisik, guru
didorong untuk menyampaikan permintaan maaf secara tulus. Pendekatan yang
restoratif menjadi kunci, yaitu dengan menekankan perbaikan hubungan dan
membangun kembali kepercayaan, bukan sekadar mencari siapa yang salah.
Namun jika
laporan sudah masuk ke ranah hukum, sekolah tetap harus memberikan dukungan
kepada guru dengan cara yang proporsional. Pendampingan hukum dapat diberikan
melalui Dinas Pendidikan atau Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH).
Sekolah juga harus bersikap kooperatif terhadap aparat hukum dan tidak
menghalangi proses penyidikan. Guru yang terlibat pun perlu bersikap terbuka
dan bersedia mengikuti seluruh tahapan hukum dengan baik.
Jika dalam
proses penyelidikan terbukti terjadi pelanggaran, sekolah memiliki kewajiban
memberikan sanksi yang tepat. Teguran tertulis dan masa pembinaan dapat
dijadikan langkah pembinaan yang lebih edukatif daripada sanksi berat seperti
pemecatan langsung. Selama masa pembinaan, guru dapat dilibatkan dalam
pelatihan tentang manajemen emosi, komunikasi edukatif, dan penerapan disiplin
positif. Tujuannya bukan menghukum, melainkan memperbaiki cara mendidik agar
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan profesionalisme.
Dalam jangka
panjang, sekolah juga perlu merevisi kebijakan disiplin dan tata tertib yang
berlaku. Khusus dalam konteks kegiatan keagamaan, pendekatan yang digunakan
harus berbasis pada pembinaan akhlak, bukan penegakan disiplin semata. Guru
harus dikuatkan perannya sebagai teladan dalam ibadah, bukan hanya sebagai
pengawas. SOP yang berlaku perlu ditinjau kembali agar lebih sesuai dengan
semangat mendidik, bukan menghukum.
Apabila kasus
ini telah menyebar ke masyarakat atau media, sekolah harus menjaga komunikasi
publik yang netral, bijak, dan bertanggung jawab. Pernyataan resmi dari sekolah
sebaiknya menegaskan komitmen terhadap proses hukum, pembinaan guru, dan upaya
menciptakan lingkungan belajar yang aman, berakhlak, dan mendidik. Misalnya
dengan pernyataan, “Sekolah menghormati proses hukum yang sedang berjalan
dan berkomitmen membina seluruh guru agar menciptakan lingkungan belajar yang
positif.”
Sebagai penutup, langkah pencegahan menjadi hal yang sangat penting untuk diprioritaskan. Sekolah perlu membangun relasi emosional yang sehat antara guru dan siswa, agar proses pendisiplinan tidak lagi menggunakan kekerasan fisik. Forum komunikasi antara sekolah dan orang tua juga harus dihidupkan kembali, tidak hanya menjadi tempat keluhan, tetapi sebagai ruang bersama membangun karakter siswa. Di sinilah pentingnya peran Tri Pusat Pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai kunci keberhasilan pembentukan karakter dan etika peserta didik. Dengan pendekatan kolaboratif dan solutif ini, sekolah dapat menjaga marwahnya sebagai institusi yang mendidik dengan hati dan akal sehat.Tidak ada sekolah yang sempurna begitupun juga tidak ada guru yang sempurna. sinergi antara tiga pusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketika salah satu pihak bertindak tanpa pendekatan mendidik yang tepat, dan pihak lain merespons tanpa komunikasi yang sehat, maka pendidikan kehilangan ruh utamanya. Guru sebagai pendidik harus menjunjung tinggi etika profesi dengan menghindari kekerasan dalam bentuk apa pun. Di sisi lain, keluarga dan masyarakat perlu mendukung proses pendidikan dengan dialog, empati, dan kolaborasi. Hanya dengan keterlibatan aktif ketiga elemen ini, dunia pendidikan akan menjadi tempat tumbuh yang aman, bijak, dan berkarakter bagi anak-anak.Sekolah adalah ruang tumbuh, bukan ruang takut. Dalam setiap proses pendidikan, keteladanan lebih kuat daripada hukuman, dan komunikasi lebih bermakna daripada kekerasan. Mari kita jaga marwah pendidikan dengan mengedepankan akhlak, saling pengertian, dan solusi yang bermartabat agar tidak ada lagi anak yang terluka, guru yang terpojok, maupun orang tua yang kecewa.
Uswatun Hasanah,M.Pd
Guru Bahasa Indonesia MTs Muhammadiyah 1 Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?