![]() |
cr: BandungBergerak.Id |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Di balik setiap dokter yang menyelamatkan
nyawa, insinyur yang membangun jembatan, seniman yang menggugah perasaan, atau pemimpin
yang menentukan arah bangsa, ada sosok yang kerap tak disebut namanya: guru.
Sosok yang mungkin tak tampil di panggung keberhasilan, tetapi jejaknya ada
dalam setiap pencapaian yang lahir dari pengetahuan. Kita bisa menyebutnya
sebagai profesi akar. Ia tak selalu terlihat, tak selalu glamor, tetapi justru
darinya pohon-pohon profesi lainnya bertumbuh.
Mengajar bukan sekadar pekerjaan. Lebih dari
sekadar rutinitas transfer ilmu di ruang kelas, profesi guru memikul tanggung
jawab yang jauh lebih dalam dan mendasar: membentuk cara berpikir, mengasah
kepekaan moral, dan menanamkan nilai-nilai hidup kepada generasi penerus.
Inilah pekerjaan akar yang menentukan kokoh atau rapuhnya sebuah peradaban.
Dalam konteks Indonesia, kita tentu tak asing
dengan ungkapan klasik dari Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani. Seorang guru ideal bukan hanya
pengajar, tetapi juga pendidik yang memberi teladan di depan, mendorong di
tengah, dan membimbing dari belakang. Filosofi ini menempatkan guru sebagai
figur sentral dalam proses pembentukan manusia seutuhnya.
Sayangnya, dalam realitas sosial kita hari
ini, penghormatan terhadap profesi guru masih kerap bersifat seremoni dan
simbolik. Di Hari Guru, kita sibuk membuat poster ucapan terima kasih,
menggelar apel penghormatan, atau memberikan potongan harga di pusat
perbelanjaan. Namun, di luar itu, kesejahteraan dan martabat sosial guru masih
sering terabaikan.
Padahal, apabila kita telisik sejarah,
bangsa-bangsa besar selalu lahir dari peradaban yang menjunjung tinggi profesi
guru. Jepang, misalnya, memiliki tradisi yang menarik pasca-Perang Dunia II.
Saat negara itu hancur-lebur, Kaisar Hirohito dikabarkan bertanya, "Berapa
jumlah guru yang tersisa?" Ia paham bahwa membangun kembali Jepang bukan
hanya soal infrastruktur, tapi membentuk kembali karakter dan jiwa bangsanya
melalui pendidikan.
Begitu pula dalam khazanah Islam, Rasulullah
SAW sendiri diutus bukan hanya sebagai pembawa wahyu, tapi sebagai mu’allim,
guru bagi umat manusia. Dalam berbagai hadis disebutkan, "Sesungguhnya aku
diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pendidikan akhlak
menjadi inti dari misi kenabiannya. Sejarah mencatat, generasi sahabat yang
dibina langsung oleh Nabi adalah generasi emas yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tapi juga luhur budi pekertinya.
Dalam dunia modern yang serba transaksional
saat ini, kita perlu kembali menempatkan profesi guru pada posisi strategis dan
terhormat. Bukan semata-mata karena jasanya dalam mentransfer ilmu, tapi karena
perannya dalam membentuk manusia. Seorang guru yang baik tidak hanya mencetak
ahli di bidangnya, tetapi membentuk manusia yang utuh: yang tahu bagaimana
bersikap dalam keberhasilan maupun kegagalan, yang mampu menjaga integritas di
tengah godaan, dan yang berani berpihak pada kebenaran meski harus berbeda arus.
Dampak seorang guru memang kerap tak terlihat
secara langsung. Ia tidak seperti politisi yang bisa dihitung suara
dukungannya, atau pengusaha yang bisa diukur nilai omzetnya. Tapi pengaruhnya
sangat panjang dan melekat. Seorang guru bisa jadi telah lama wafat, tapi nilai
yang ditanamkan akan hidup dalam laku para muridnya, diteruskan ke generasi
berikutnya.
Karena itu, menghormati profesi guru bukan
hanya soal menaikkan gaji atau memberikan penghargaan di hari-hari tertentu,
meski itu penting. Lebih jauh, ini soal membangun kesadaran kolektif bahwa
kemajuan sebuah bangsa dan peradaban dimulai dari mereka yang setiap hari
dengan sabar menyalakan cahaya di kepala dan hati generasi berikutnya.
Sudah saatnya kita memandang profesi guru
bukan sebagai pilihan karier pelarian atau pekerjaan sekadar pengisi waktu.
Negara dan masyarakat harus berani menempatkan guru sebagai profesi terhormat,
strategis, dan menjadi dambaan anak-anak muda. Untuk itu, perlu kebijakan
serius, mulai dari reformasi pendidikan guru, peningkatan kesejahteraan, hingga
penyediaan ruang partisipasi yang luas dalam perumusan arah pendidikan bangsa.
Di era disrupsi teknologi saat ini, guru juga
menghadapi tantangan baru. Bukan hanya mengajarkan materi pelajaran, tapi juga
membimbing generasi digital agar tetap memiliki karakter, etika, dan nalar
kritis di tengah banjir informasi. Di sinilah profesi guru tak pernah
kehilangan relevansi, justru semakin urgen untuk memastikan bahwa kemajuan
teknologi berjalan seiring dengan kemajuan moral dan kemanusiaan.
Dalam filsafat pendidikan, mengajar sering
disebut sebagai the mother of all professions. Tanpa guru, takkan lahir dokter,
insinyur, ekonom, atau seniman. Guru adalah akar yang menopang seluruh
cabang-cabang peradaban. Dan seperti akar pada sebuah pohon, ia memang tak
selalu tampak. Tapi tanpanya, pohon-pohon itu takkan pernah berdiri kokoh,
apalagi tumbuh tinggi menjulang.
Maka, ketika kita berbicara tentang masa depan
bangsa, tentang kemajuan peradaban, atau tentang Indonesia Emas 2045, jangan
lupa bahwa semua itu bermula dari ruang-ruang kelas kecil, dari tangan para
guru yang menyalakan cahaya ilmu, budi pekerti, dan nilai-nilai kehidupan
kepada generasi muda.
Karena peradaban besar hanya bisa dibangun oleh bangsa yang menghormati akar-akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?