Pancasuman hadir bukan hanya menjadi ruang perjamuan makna, tapi sebagai ruang berkumpul untuk mengenang, merenung, dan menyelami kembali jejak-jejak pemikiran dan kasih sayang dari Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Cak Nun. Sosok yang kerap kita kenal sebagai budayawan, penyair, pembela kemanusiaan, dan guru spiritual bagi banyak generasi. Acara ini menghadirkan perpaduan antara kontemplasi, seni, dan spiritualitas, yang menandai betapa besarnya pengaruh Cak Nun bagi generasi lintas usia.
Pancasuman terasa begitu dekat di hati karena dihangatkan oleh kehadiran para sesepuh dan narasumber seperti Ki Ardhi Purbo Antoro (Lesbumi PBNU) yang menanam biji-biji kearifan budaya, Gus Agus dan Gus Nanang yang menyulam wejangan dalam kesederhanaan, Mbah Eko yang menuturkan hidup dengan teduh, serta Gus Irul (Presiden Republik Gubuk) yang bersuara jujur dari tanah rakyat.
Dengan gaya yang egaliter, humoris, dan menyentuh kesadaran, Gus Irul menyampaikan bahwa Cak Nun bukan tokoh menara gading, bukan sosok yang menggurui dari atas, melainkan rakyat biasa yang mengajak berpikir bersama. Ia menegaskan bahwa Cak Nun adalah sahabat perjalanan hadir untuk mendengarkan bahkan saat kita belum tahu harus bicara apa.
Dalam suasana penuh rasa itu, Gus Irul juga mengangkat filosofi hidup Cak Nun: Menek Blimbing, sebuah ajakan untuk tetap bersyukur dan ikhlas dalam menjalani hidup, bahkan ketika harus terjatuh. Sebab hidup bukan sekadar tentang menang dan kalah, tetapi tentang memahami makna jatuh dan bangkit dengan cinta.
Malam itu, para hadirin tak hanya sekadar duduk sebagai penonton. Mereka larut dalam irama hati yang disampaikan melalui berbagai bentuk ekspresi: dari pembacaan puisi oleh Nayla dan Vidi yang lembut menyentuh, hingga lantunan shalawat bareng dari Jagat Tresno Sholawat yang menggema dan menghangatkan ruang, menghadirkan spiritualitas yang teduh namun menggetarkan.
Ditengah hangatnya suasana, Nayla salah satu pembaca puisi menyuarakan kesan yang begitu mendalam membacakan sajaknya.
"Aku tidak hanya datang, tapi aku pulang." Itulah ungkapan yang menggambarkan perasaannya.
Nayla hadir bukan sekadar menjadi penggembira acara, tetapi benar-benar merasakan suasana yang meneduhkan dan membumi.
Melalui lantunan shalawat, bait-bait puisi, dan petuah dari narasumber, ia merasa hatinya disentuh. Terlebih saat Gus Irul menyebut Cak Nun sebagai “sahabat perjalanan”, ia merasa seolah sedang menempuh perjalanan pulang, kembali ke dirinya sendiri. Pancasuman bukan hanya forum, tapi ruang untuk menemukan makna dan ketenangan. Dan malam itu, Nayla tidak pulang sendirian, ia pulang bersama harapan dan rasa yang utuh.
Pancasuman adalah bagian dari gerakan Brang Wetan yang menjadi ruang perjumpaan nilai-nilai Maiyah: welas asih, cinta, kebijaksanaan, dan penghargaan atas keberagaman. Acara ini bukan hanya milik satu kelompok, tapi rumah besar yang diisi dan dihidupkan oleh banyak pihak.
Keterlibatan aktif dalam acara ini dihadiri oleh: Pancasuman Brang Wetan, Lampah Klakah, IPNU dan IPPNU PAC Poncokusumo, Lembaga Adat Desa Tumpang dan Poncosukumo, Jagat Tresno Sholawat, Lesbumi NU Tumpang & Poncokusumo, Munajat Jalanan, Oi Malang Raya, Republik Gubuk, Mesem Cafe dan ISNU PAC Poncokusumo.
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa Maiyah adalah rumah bersama, tempat semua merasa diterima, dipahami, dan dicintai. Tak heran jika forum ini disebut sebagai “rumah batin jutaan orang” bukan karena kemegahannya, tapi karena kesederhanaan dan kehangatannya.
Melalui forum ini, hadirin diajak bukan hanya untuk mengenang sosok Cak Nun, tetapi untuk menghadirkan semangat Maiyah dalam diri: menjadi rumah yang nyaman bagi sesama, tempat bernaung bagi siapa pun yang lelah, gundah, atau sekadar ingin dipahami. Karena pada akhirnya, warisan terbesar dari Cak Nun bukan sekadar kata-kata indah atau ceramah penuh hikmah, tetapi teladan dalam mencintai manusia dan kehidupan dengan sederhana: hadir, mendengarkan, dan saling menghidupkan.
"Pancasuman bukan sekedar acara biasa. Ia adalah pelita yang dinyalakan bersama untuk merawat nalar, menyalakan cinta, dan menjaga bara semangat Maiyah agar terus menyala, dari generasi ke generasi". Ungkap Nayla.
Penulis: Nailur Rohmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?