![]() |
| Dokumentasi Pribadi |
ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM - Pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS) merupakan salah satu proyek strategis nasional yang menjadi bagian dari upaya strategis pemerintah dalam meningkatkan aksesibilitas kawasan pesisir selatan Jawa dan memperkuat konektivitas antarwilayah. Pada segmen Lot 3 Pantai Serang – Sumbersih sepanjang 4,334 km di Kabupaten Blitar, proyek ini menjadi bagian penting karena membuka jalur transportasi baru yang lebih efisien, mendorong mobilitas menuju pusat ekonomi lokal, destinasi wisata, serta memperlancar distribusi hasil pertanian masyarakat. Keberhasilan penyelesaian ruas jalan ini tidak ditentukan oleh aspek teknis saja, tetapi juga oleh kekuatan kemitraan antara pemerintah, kontraktor, konsultan pengawas, tenaga kerja lokal, serta institusi pendidikan yang sejalan dengan prinsip SDGs 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).
Bagi mahasiswa Teknik Sipil UPN “Veteran” Jawa Timur yang menjalani magang pada periode Agustus-Desember 2025, proyek JLS Lot 3 menjadi ruang pembelajaran lapangan yang sangat penting. Program magang membuka pemahaman nyata yang memperlihatkan bagaimana kolaborasi multi-pihak berperan penting dalam kelancaran pekerjaan konstruksi. Mahasiswa dapat melihat bagaimana keputusan teknis dihasilkan melalui diskusi lintas pemangku kepentingan, serta bagaimana standar keselamatan, pengendalian mutu, dan prosedur operasional dilaksanakan secara terkoordinasi. Melalui interaksi harian dengan kontraktor, konsultan pengawas, dan pihak BBPJN, mahasiswa memperoleh pemahaman bahwa keberhasilan konstruksi adalah hasil sinergi antarperan, bukan hanya kemampuan teknis semata.
Pekerjaan konstruksi di Lot 3 dilaksanakan oleh PT Brantas Abipraya bersama PT Naviri dengan lingkup pekerjaan meliputi jalan utama sepanjang 4,294 km aspal, pembangunan jembatan dengan bentang 80 meter pada STA 2+350 – 2+430, serta penanganan sistem drainase melalui pembangunan perimeter drain, saluran peluncur, box culvert, dan saluran samping berupa V-ditch dan U-ditch. Selain itu, pekerjaan juga mencakup pemasangan rambu dan marka jalan, serta sejumlah pekerjaan fasilitas pendukung lainnya untuk memastikan ruas jalan berfungsi optimal pada saat operasional. Medan perbukitan dengan dominasi batuan keras menuntut koordinasi intensif antardivisi dalam memilih metode yang tepat demi keselamatan dan efisiensi. Progres pembangunan kini telah melampaui 90%, dengan fokus pekerjaan pada pengaspalan dan stabilisasi lereng. Ruas ini ditargetkan selesai dan dapat beroperasi pada Februari 2026, sehingga pekerjaan penyempurnaan diarahkan untuk memastikan jalan dapat berfungsi optimal sesuai standar keselamatan dan kelayakan operasional.
Pada pekerjaan pengaspalan, kolaborasi antara tim survey, operator alat berat, dan pengawas lapangan menjadi kunci agar ketebalan lapis perkerasan tercapai dengan akurat. Setiap tahapan mulai dari pembersihan dan penyiapan permukaan, pengaturan suhu aspal, penghamparan dengan finisher, hingga pemadatan menggunakan tandem dan pneumatic roller memerlukan koordinasi ketat antara divisi lapangan dan tim quality control. Penentuan waktu pemadatan, pengaturan interval kedatangan truk pengangkut aspal, hingga pengawasan suhu material dilakukan melalui komunikasi harian lintas tim untuk memastikan kualitas perkerasan memenuhi spesifikasi.
Pada area lereng yang membutuhkan penguatan, pekerjaan soil-nailing dilakukan melalui kerja sama antara teknisi pengeboran, pengawas K3, serta pekerja shotcrete. Setiap rangkaian pekerjaan mulai dari pengeboran lubang nail, pemasangan steel bar, grouting, hingga pelapisan shotcrete hanya dapat dilakukan setelah seluruh pihak menyetujui rencana kerja dan memastikan kondisi lapangan aman. Pendekatan seperti ini menunjukkan bagaimana keselamatan dan stabilitas struktur merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya satu unit kerja.
Bagi kami mahasiswa magang, kegiatan monitoring lapangan menjadi pengalaman yang paling membuka wawasan. Kami melihat bagaimana produktivitas tidak hanya bergantung pada performa alat berat, tetapi juga oleh kualitas jalur angkut, kondisi cuaca, koordinasi antarpekerja dan ketepatan komunikasi. Mahasiswa magang juga mengikuti kegiatan teknis seperti pengendalian mutu agregat melalui uji analisis saringan untuk lapisan pondasi, pengambilan sampel untuk uji Sand Cone, serta pengukuran CBR lapangan. Setiap kegiatan dilakukan dengan pendampingan teknisi dan pengawas, membuktikan implementasi kegiatan berbagi pengetahuan langsung dari praktisi kepada mahasiswa sebagai bagian dari kemitraan pendidikan di lingkungan konstruksi.
Selama observasi di lapangan, kami menemukan bahwa budaya kerja dalam proyek ini tidak sepenuhnya beroperasi berdasarkan hierarki formal. Meskipun setiap pihak memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing, suasana kerja dibangun melalui komunikasi terbuka, sikap saling menghargai, dan rasa kekeluargaan. Para pekerja, operator, teknisi, hingga pengawas lapangan berinteraksi secara egaliter dan menerima kehadiran mahasiswa sebagai bagian dari tim. Diskusi teknis dilakukan tanpa jarak, dan masukan dari siapa pun tetap dihargai selama mendukung kelancaran pekerjaan. Pola hubungan kerja seperti ini menunjukkan bahwa kemitraan dalam proyek konstruksi tidak hanya terjadi antarlembaga, tetapi juga tercermin dalam hubungan antarmanusia di lapangan.
Sebagai mahasiswa magang, kami menyimpulkan bahwa pekerjaan konstruksi menuntut ketelitian, kemampuan adaptasi cepat, serta komunikasi efektif. Pengalaman selama magang memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya soal teknis dan perhitungan, tetapi juga berkaitan dengan kualitas kerja manusia, keselamatan, serta koordinasi lintas peran. Sinergi antara kontraktor, konsultan pengawas, pihak BBPJN dan institusi pendidikan dalam proyek ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai kemitraan sebagaimana prinsip SDGs 17 dapat diwujudkan secara nyata dalam pelaksanaan pembangunan jalan. ***




Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?