| Lokasi Pak Adi menjual bucket bunga di depan halaman rektorat Unesa, Surabaya. 11 November 2025. Ada banyak jenis bunga yang dijual oleh Pak Adi dengan pilihan harga yang bisa dipilih |
FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Di tengah hiruk-pikuk pagi hari
di sekitar Graha Unesa, tampak deretan bucket bunga berwarna-warni tersusun
rapi di atas meja sederhana. Aroma segar dari kelopak mawar dan krisan menebar
lembut, menyambut setiap langkah wisudawan yang melintas. Di balik keindahan
bunga-bunga itu, berdiri seorang pria paruh baya dengan senyum hangat dan
sapaan khasnya, “Monggo, pilih bunganya, Nak.” Dialah Pak Adi atau akrab disapa
Pak Dhe, penerus generasi keempat dari keluarga petani bunga asal Malang.
“Ini usaha keluarga,
turun-temurun dari nenek, ayah, saya, sampai sekarang anak saya juga ikut
membantu,” tutur Pak Dhe sembari merapikan susunan bunga segar. Sejak tahun
1989, keluarga Pak Dhe telah menjadi bagian dari denyut kehidupan para pecinta
bunga di Malang. Dulu, keluarganya memiliki toko bunga dan jasa dekorasi di
kota tersebut. Namun, seiring waktu dan perubahan zaman, toko itu kini tinggal
kenangan.
Kini, usaha keluarga itu menjelma
dalam bentuk yang lebih sederhana penjualan bucket bunga yang hanya buka saat
momen spesial seperti wisuda. “Sekarang kami jualan pas ada wisuda saja.
Misalnya di Graha Unesa, dari pagi terus siang pindah ke sekitar rektorat
sampai sore,” jelasnya.
Keunggulan usaha keluarga ini terletak pada kesegaran bunganya. Bukan sekadar menjual, keluarga Pak Dhe juga menanam sendiri bunga-bunga yang dijual. “Kami memang petani bunga. Jadi, bunga yang dijual itu bunga segar, bukan buatan,” ucapnya dengan nada bangga.
Dalam pengelolaannya, saat ini bisnis
dikelola bersama sang adik, sementara Pak Dhe lebih banyak mengurus kegiatan di
lapangan. “Adek saya yang ngatur keuangannya, saya bagian jualan dan ngurus
tanaman,” katanya ringan. Tak ada sistem manajemen rumit, hanya kepercayaan,
kejujuran, dan kebersamaan keluarga yang menjadi kunci kelangsungan usaha ini.
Sebelum sepenuhnya berkecimpung
di dunia usaha bucket bunga, Pak Dhe sempat bekerja di Dinas Perhubungan
(Dishub). Setelah pensiun, ia memutuskan kembali ke tradisi keluarganya menjadi
petani bunga. “Saya senang melakukannya. Awalnya belajar lagi cara menanam dan
memasarkannya. Banyak juga yang datang belajar ke saya tentang bunga hias,”
tuturnya dengan mata berbinar.
Motivasi terbesarnya bukan
sekadar keuntungan, melainkan kecintaan terhadap dunia bunga dan rasa tanggung
jawab untuk menjaga warisan keluarga yang sudah berusia lebih dari tiga dekade.
Ketika ditanya tentang tantangan
dalam menjalankan bisnis, Pak Dhe hanya tersenyum. “Namanya usaha, pasti ada
tantangan. Tapi dijalani saja,” ujarnya. Ia tak merasa bersaing dengan penjual
lain, bahkan justru merasa senang melihat semakin banyak orang terjun di usaha
serupa.
“Bagus malah kalau banyak yang
jual bunga. Artinya makin banyak orang yang suka bunga,” ucapnya tulus. Tanpa
strategi pemasaran rumit atau iklan daring, daya tarik utama usahanya justru
terletak pada kesegaran bunga alami dan ketulusan pelayanan.
Setiap bucket bunga yang dijual
seolah membawa kisah cinta sederhana antara manusia dan alam antara generasi
yang datang dan pergi, meskipun begitu tetap terhubung oleh satu hal bunga yang
tak pernah layu.
Kini, saat banyak usaha kecil
tergeser oleh modernisasi, keluarga Pak Dhe tetap teguh pada jalur tradisional.
Ia tak mengejar viralitas di media sosial, namun fokus menjaga keaslian dan
kualitas bunga. Dalam kesederhanaan itulah, justru tampak kerendahan hati dari
usahanya.
Bagi Pak Dhe, setiap bunga yang
terjual bukan sekadar komoditas, melainkan simbol cinta dan dedikasi antar
generasi. “Saya jalani dengan santai dan senang. Yang penting, bunga ini bisa
bikin orang bahagia,” ujarnya menutup percakapan dengan senyum yang tak kalah
hangat dari matahari pada siang hari itu, meskipun tertutupi oleh awan mendung
di depan halaman rektorat kampus Unesa.
Vara Dibarrotur Rofiqo Kholiq


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?