Banner Iklan

Perjalanan Prasojo, Membuktikan Mimpi Bisa Dibeli dengan Kerja Keras

Admin JSN
28 November 2025 | 12.03 WIB Last Updated 2025-11-28T05:03:43Z

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM – Ruangan kerja itu sunyi, dihiasi rak buku yang tertata rapi, menawarkan pemandangan kota Malang yang teduh. Di balik meja besar itu duduk seorang pria berusia 30 tahun, Muhammad Wahyudi Prasojo, yang akrab dipanggil Prasojo. Jabatannya saat ini tidak main-main: Wakil Kepala Sekolah di salah satu institusi pendidikan swasta paling terkemuka di kota pelajar ini.

Dalam usia yang terbilang muda untuk posisi strategis tersebut, Prasojo memancarkan aura kepemimpinan yang tenang. Namun, ketenangan itu adalah hasil tempaan keras. Kisahnya bukan tentang warisan atau jalan tol beasiswa; ini adalah kisah tentang bagaimana seorang anak dari keluarga sederhana harus membeli sendiri setiap tiket menuju kesuksesannya. Ini adalah potret kritis tentang biaya pendidikan yang harus dibayar mahal oleh ketahanan pribadi, bukan oleh Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau bantuan finansial lainnya.

Kisah perjuangan Prasojo dimulai di kota rantau saat ia menempuh pendidikan sarjana. Berasal dari keluarga sederhana, dukungan finansial yang ia terima hanya berkisar Rp 500.000 per bulan. Angka ini harus mencakup biaya sewa kamar, makan, transportasi, dan kebutuhan kuliah. Sebuah angka yang tipis, bahkan untuk biaya hidup minimalis di awal tahun 2010-an.

"Rp 500 ribu itu bukan saku, itu adalah tantangan logistik," ujar Prasojo sambil tersenyum tipis, mengenang masa lalunya saat kami temui di kantornya.

Ia kemudian menjelaskan bagaimana proses bertahan hidup itu membentuk karakternya.

“Ketika Anda hanya punya uang segitu, fokus Anda terpecah dua: bagaimana caranya lulus dengan nilai terbaik, dan bagaimana caranya besok masih bisa makan,” kata Prasojo, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Setiap pengeluaran harus dihitung kritis. Saya ingat betul, kalau saya naik angkot Rp 4.000 pulang pergi, berarti saya harus memangkas jatah makan siang saya. Jadi, saya putuskan, ‘Tidak ada angkot, jalan kaki saja.’ Jarak lima kilometer terasa biasa saat itu. Uang Rp 8.000 itu bisa jadi makan malam.”

Ketiadaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa lainnya berarti ia tidak memiliki jaring pengaman. Setiap kegagalan finansial kecil bisa berarti putus kuliah. Tekanan ini, menurutnya, adalah kurikulum terbaik yang pernah ia ikuti. Kurikulum yang mengajarkan prioritas dan disiplin diri yang tanpa kompromi.

Setelah lulus sarjana, ia langsung memasuki dunia kerja sebagai seorang guru. Gaji pertamanya jauh dari kata mewah, namun tekadnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 tidak pernah pudar. Ia melihat gelar Master bukan sekadar tambahan, melainkan investasi vital yang akan melipatgandakan peluang karirnya.

“Saya tahu, untuk naik ke level manajerial di pendidikan, S2 itu wajib. Saya tidak mau menunggu. Jadi, saya menabung mati-matian dari gaji guru dan pekerjaan sampingan,” jelasnya.

Kami bertanya, mengapa ia tidak mencari beasiswa S2, yang tentu akan meringankan beban besar tersebut.

Prasojo terdiam sejenak, menatap ke luar jendela sebelum menjawab. “Beasiswa itu pertolongan. Tetapi saya ingin membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya mampu. Jika beasiswa tidak datang, bukan berarti impian saya harus ditunda. Saya ingin ‘membeli’ tiket S2 ini dengan uang saya sendiri, dari hasil mengajar dan proyek kecil-kecilan.”

Keputusan ini adalah penjelmaan dari kemandirian finansial yang ia latih sejak S1. Selama menempuh S2, hari-harinya adalah marathon: mengajar hingga sore, malam kuliah atau mengerjakan tugas, dan akhir pekan dihabiskan untuk proyek sampingan agar tagihan semester tertutup. Ia tidak hanya belajar materi pendidikan; ia belajar manajemen waktu, manajemen stres, dan yang paling utama, manajemen dana secara mikro.

Pada usia 30 tahun, Prasojo kini duduk sebagai Wakil Kepala Sekolah, sebuah posisi yang menuntut kemampuan administrasi, kepemimpinan, dan empati. Pengalaman hidupnya menjadi aset tak ternilai. Ia memimpin dari perspektif seorang yang pernah berada di titik nol, yang membuat kebijakannya grounded dan manusiawi.

"Apa filosofi kepemimpinan Anda, yang dibentuk oleh perjalanan sulit itu?" tanya kami.

Prasojo merangkumnya dalam sebuah pernyataan penutup yang penuh makna, menghubungkan masa lalunya dengan tanggung jawabnya saat ini.

“Kepemimpinan itu bukan soal jabatan. Kepemimpinan itu soal kapasitas dan empati. Dulu, saya berjuang dengan Rp 500 ribu. Itu mengajarkan saya bahwa potensi terbesar siswa itu sering terhalang oleh kendala logistik kecil—biaya seragam, buku, atau sekadar ongkos transportasi. Sekarang, sebagai pemimpin, tanggung jawab saya adalah menghapus kendala-kendala logistik itu, sehingga mereka bisa fokus pada apa yang paling penting: belajar. Saya tidak mendapat KIP, tapi saya memastikan siswa saya yang layak, tidak merasakan perjuangan yang sama kerasnya.”

Kisah Muhammad Wahyudi Prasojo bukan hanya inspirasi pribadi, tetapi juga cermin bagi sistem pendidikan kita. Ia adalah bukti bahwa ketika dukungan sistemik absen, ketahanan dan kemauan individu yang membiayai ambisinya sendiri dapat melahirkan pemimpin yang matang. Dalam setiap keputusan dan langkahnya di sekolah ternama di Malang itu, terdengar gema tekad seorang pemuda yang pernah menghitung setiap rupiah demi mencapai puncak yang ia beli dengan keringat dan keuletannya sendiri.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perjalanan Prasojo, Membuktikan Mimpi Bisa Dibeli dengan Kerja Keras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now