FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM – Ruangan kerja itu sunyi, dihiasi rak buku yang tertata rapi, menawarkan
pemandangan kota Malang yang teduh. Di balik meja besar itu duduk seorang pria
berusia 30 tahun, Muhammad Wahyudi Prasojo, yang akrab dipanggil Prasojo.
Jabatannya saat ini tidak main-main: Wakil Kepala Sekolah di salah satu
institusi pendidikan swasta paling terkemuka di kota pelajar ini.
Dalam
usia yang terbilang muda untuk posisi strategis tersebut, Prasojo memancarkan
aura kepemimpinan yang tenang. Namun, ketenangan itu adalah hasil tempaan
keras. Kisahnya bukan tentang warisan atau jalan tol beasiswa; ini adalah kisah
tentang bagaimana seorang anak dari keluarga sederhana harus membeli sendiri
setiap tiket menuju kesuksesannya. Ini adalah potret kritis tentang biaya
pendidikan yang harus dibayar mahal oleh ketahanan pribadi, bukan oleh Kartu
Indonesia Pintar (KIP) atau bantuan finansial lainnya.
Kisah
perjuangan Prasojo dimulai di kota rantau saat ia menempuh pendidikan sarjana.
Berasal dari keluarga sederhana, dukungan finansial yang ia terima hanya
berkisar Rp 500.000 per bulan. Angka ini harus mencakup biaya sewa kamar,
makan, transportasi, dan kebutuhan kuliah. Sebuah angka yang tipis, bahkan
untuk biaya hidup minimalis di awal tahun 2010-an.
"Rp
500 ribu itu bukan saku, itu adalah tantangan logistik," ujar Prasojo
sambil tersenyum tipis, mengenang masa lalunya saat kami temui di kantornya.
Ia
kemudian menjelaskan bagaimana proses bertahan hidup itu membentuk karakternya.
“Ketika
Anda hanya punya uang segitu, fokus Anda terpecah dua: bagaimana caranya lulus
dengan nilai terbaik, dan bagaimana caranya besok masih bisa makan,” kata
Prasojo, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Setiap pengeluaran harus dihitung
kritis. Saya ingat betul, kalau saya naik angkot Rp 4.000 pulang pergi, berarti
saya harus memangkas jatah makan siang saya. Jadi, saya putuskan, ‘Tidak ada
angkot, jalan kaki saja.’ Jarak lima kilometer terasa biasa saat itu. Uang Rp
8.000 itu bisa jadi makan malam.”
Ketiadaan
Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa lainnya berarti ia tidak memiliki
jaring pengaman. Setiap kegagalan finansial kecil bisa berarti putus kuliah.
Tekanan ini, menurutnya, adalah kurikulum terbaik yang pernah ia ikuti.
Kurikulum yang mengajarkan prioritas dan disiplin diri yang tanpa kompromi.
Setelah
lulus sarjana, ia langsung memasuki dunia kerja sebagai seorang guru. Gaji
pertamanya jauh dari kata mewah, namun tekadnya untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang S2 tidak pernah pudar. Ia melihat gelar Master bukan sekadar tambahan,
melainkan investasi vital yang akan melipatgandakan peluang karirnya.
“Saya
tahu, untuk naik ke level manajerial di pendidikan, S2 itu wajib. Saya tidak
mau menunggu. Jadi, saya menabung mati-matian dari gaji guru dan pekerjaan
sampingan,” jelasnya.
Kami
bertanya, mengapa ia tidak mencari beasiswa S2, yang tentu akan meringankan
beban besar tersebut.
Prasojo
terdiam sejenak, menatap ke luar jendela sebelum menjawab. “Beasiswa itu
pertolongan. Tetapi saya ingin membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya
mampu. Jika beasiswa tidak datang, bukan berarti impian saya harus ditunda.
Saya ingin ‘membeli’ tiket S2 ini dengan uang saya sendiri, dari hasil mengajar
dan proyek kecil-kecilan.”
Keputusan
ini adalah penjelmaan dari kemandirian finansial yang ia latih sejak S1. Selama
menempuh S2, hari-harinya adalah marathon: mengajar hingga sore, malam kuliah
atau mengerjakan tugas, dan akhir pekan dihabiskan untuk proyek sampingan agar
tagihan semester tertutup. Ia tidak hanya belajar materi pendidikan; ia belajar
manajemen waktu, manajemen stres, dan yang paling utama, manajemen dana secara
mikro.
Pada
usia 30 tahun, Prasojo kini duduk sebagai Wakil Kepala Sekolah, sebuah posisi
yang menuntut kemampuan administrasi, kepemimpinan, dan empati. Pengalaman
hidupnya menjadi aset tak ternilai. Ia memimpin dari perspektif seorang yang
pernah berada di titik nol, yang membuat kebijakannya grounded dan manusiawi.
"Apa
filosofi kepemimpinan Anda, yang dibentuk oleh perjalanan sulit itu?"
tanya kami.
Prasojo
merangkumnya dalam sebuah pernyataan penutup yang penuh makna, menghubungkan
masa lalunya dengan tanggung jawabnya saat ini.
“Kepemimpinan
itu bukan soal jabatan. Kepemimpinan itu soal kapasitas dan empati. Dulu, saya
berjuang dengan Rp 500 ribu. Itu mengajarkan saya bahwa potensi terbesar siswa
itu sering terhalang oleh kendala logistik kecil—biaya seragam, buku, atau
sekadar ongkos transportasi. Sekarang, sebagai pemimpin, tanggung jawab saya
adalah menghapus kendala-kendala logistik itu, sehingga mereka bisa fokus pada
apa yang paling penting: belajar. Saya tidak mendapat KIP, tapi saya memastikan
siswa saya yang layak, tidak merasakan perjuangan yang sama kerasnya.”
Kisah Muhammad Wahyudi Prasojo bukan hanya inspirasi pribadi, tetapi juga cermin bagi sistem pendidikan kita. Ia adalah bukti bahwa ketika dukungan sistemik absen, ketahanan dan kemauan individu yang membiayai ambisinya sendiri dapat melahirkan pemimpin yang matang. Dalam setiap keputusan dan langkahnya di sekolah ternama di Malang itu, terdengar gema tekad seorang pemuda yang pernah menghitung setiap rupiah demi mencapai puncak yang ia beli dengan keringat dan keuletannya sendiri.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?