Banner Iklan

Internalisasi Budaya Santri Pesantren dalam Konteks Budaya Religius di Sekolah

05 November 2025 | 12.39 WIB Last Updated 2025-11-05T13:19:26Z

 

Muhamad Asrori, S.Ag, M.Pd Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 1 Turen, Ketua MGMP PAI SMP Kab. Malang.

Oleh Muhamad Asrori, S.Ag, M.Pd

Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak peserta didik yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk manusia yang berkarakter, berakhlak mulia, dan berkepribadian religius. Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, muncul kebutuhan akan model pendidikan yang menanamkan nilai-nilai spiritual dan moral di tengah tantangan globalisasi, hedonisme, serta degradasi moral generasi muda. Salah satu sumber nilai yang dapat dijadikan inspirasi adalah budaya santri pesantren.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki kekayaan nilai dan tradisi yang kuat dalam membentuk karakter. Nilai-nilai seperti keikhlasan, kemandirian, disiplin, dan penghormatan terhadap guru menjadi ciri khas kehidupan santri. Oleh karena itu, internalisasi budaya santri di sekolah umum menjadi strategi penting dalam salah satu upaya membangun budaya religius yang kokoh dan berkesinambungan.

Perkembangan teknologi dan arus globalisasi membawa dampak positif dalam dunia pendidikan, tetapi juga menimbulkan tantangan serius berupa menurunnya moralitas siswa. Fenomena seperti perilaku tidak sopan, kurang hormat kepada guru, rendahnya disiplin, serta meningkatnya individualisme menjadi masalah umum di banyak sekolah.  Belum lagi kerap dijumpai bulying, dekandensi moral, tawuran dan problem sosial lainnya masih terus bermunculan. Pendidikan agama dan pendidikan moral sering kali hanya dipahami sebatas teori, tanpa terinternalisasi oleh peserta didik dalam dunia nyata.

Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga yang menanamkan kedisiplinan, keikhlasan, serta kehidupan kolektif yang sederhana. Santri dibiasakan untuk hidup dalam lingkungan yang religius dengan kegiatan rutin seperti shalat berjamaah, tadarus Al-Qur’an, pengajian kitab, penghormatan terhadap guru, serta kegiatan kolaboratif yang sering dilakukan antar teman yang mengedepankan nilai-nilai luhur serta ajaran akhlak mulia. Namun, sebagian sekolah umum masih berorientasi pada sistem formalistik dan birokratis, sehingga nilai-nilai kehidupan pesantren belum banyak diterapkan. Padahal, sekolah memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai kesantrian yang universal.

Masalah lain yang menghambat lahirnya budaya religius di sekolah adalah kurangnya keteladanan dari para pendidik. Guru yang tidak menunjukkan perilaku religius dan etika yang baik akan sulit menjadi teladan bagi siswa. Selain itu, pembelajaran agama sering kali tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain, sehingga nilai-nilai spiritual terpisah dari kehidupan akademik.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, diperlukan strategi sistematis yang dapat mengintegrasikan nilai-nilai santri ke dalam kehidupan sekolah. Strategi tersebut mencakup dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang.

Nilai-nilai kesantrian harus diperkenalkan dan dijelaskan secara rasional dalam proses pembelajaran di lintas mapel. Guru dapat mengaitkan materi pelajaran dengan nilai-nilai moral dan religius. Misalnya, guru PAI menjelaskan makna keikhlasan dan disiplin dengan mencontohkan kehidupan santri di pesantren. Guru IPS atau Bahasa Indonesia pun dapat mengangkat tema moral dan sosial dalam bacaan proyek atau kokurikuler sekolah.

Sekolah perlu menumbuhkan atmosfer religius melalui pembiasaan rutin seperti tadarus pagi sebelum belajar, shalat dhuha dan dzuhur berjamaah, program one day one ayat, peringatan hari besar Islam, serta kegiatan sosial keagamaan seperti sedekah Jumat dan bakti sosial. Seluruh tenaga pendidik harus menjadi figur teladan yang menunjukkan nilai-nilai kesantrian: sopan, jujur, disiplin, dan tawadhu.

Kepala sekolah dan manajemen lembaga pendidikan perlu mengintegrasikan nilai-nilai religius ke dalam sistem kebijakan sekolah. Misalnya dengan menetapkan visi-misi berbasis spiritual, tata tertib berakhlakul karimah, serta lingkungan fisik yang mendukung suasana religius seperti mushalla yang nyaman dan slogan inspiratif.

Sekolah dapat menjalin kerja sama dengan pesantren terdekat untuk berbagi praktik baik dan pembinaan karakter. Misalnya mengadakan pesantren kilat, pelatihan adab santri, atau program live in pesantren agar siswa mengalami langsung kehidupan santri.

Di era digital, internalisasi nilai santri juga dapat dilakukan melalui media sosial dan teknologi pendidikan. Sekolah dapat mengembangkan konten dakwah kreatif, seperti video inspiratif, podcast islami, atau jurnal sekolah dengan tema moral dan keagamaan.

Internalisasi budaya santri pesantren dalam konteks budaya religius di sekolah merupakan langkah strategis untuk memperkuat pendidikan karakter bangsa. Nilai-nilai kesantrian seperti keikhlasan, kemandirian, kedisiplinan, dan ketawadhuan dapat menjadi fondasi moral bagi peserta didik agar mampu menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri spiritualnya.

Budaya religius yang diadaptasi dari pesantren dapat diwujudkan melalui keteladanan guru dan pimpinan sekolah, pembiasaan kegiatan keagamaan, integrasi nilai dalam seluruh aspek pendidikan, kolaborasi dengan pesantren, serta pemanfaatan media digital secara positif.

Jika diterapkan secara konsisten, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi juga menjadi miniatur pesantren modern yang melahirkan generasi berilmu, berakhlak, dan berkepribadian islami. ***


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Internalisasi Budaya Santri Pesantren dalam Konteks Budaya Religius di Sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now