Banner Iklan

Gotong Royong di Era Digital: Tantangan Baru bagi Gerakan Koperasi Desa

Muh. Rahmani Hafidzi
16 November 2025 | 07.42 WIB Last Updated 2025-11-16T00:42:03Z

 

Sumber : Sinar Harapan

Oleh: Khilmi Arif*

Koperasi adalah salah satu warisan sosial ekonomi terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar lembaga usaha, tetapi lambang dari semangat gotong royong, kebersamaan, dan cita-cita kesejahteraan bersama. Namun di era modern yang serba digital, nilai-nilai itu mulai menghadapi ujian berat. Manusia kini hidup dalam dunia yang kian individualistik, di mana segalanya bisa diakses, dipesan, dan diselesaikan lewat layar ponsel tanpa perlu berinteraksi langsung dengan sesama.

Kemudahan teknologi memang membuat hidup lebih praktis, tetapi di sisi lain, ia perlahan mengikis semangat kolektif yang selama ini menjadi fondasi koperasi. Tantangan terbesar koperasi saat ini bukan hanya soal permodalan atau regulasi, tetapi bagaimana menumbuhkan kembali semangat kebersamaan di tengah budaya yang serba "aku bisa sendiri."

Perubahan sosial akibat kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia berinteraksi. Kebutuhan dapur, pakaian, bahkan hiburan, semuanya kini bisa dipenuhi tanpa keluar rumah. Platform digital memberi kemudahan luar biasa, namun sekaligus menumbuhkan ilusi kemandirian—seolah setiap orang bisa bertahan sendiri tanpa perlu komunitas.

Fenomena ini melahirkan masyarakat yang efisien secara ekonomi, tetapi gersang secara sosial. Hubungan antarwarga menjadi semakin renggang; kegiatan kolektif seperti arisan, ronda malam, atau kerja bakti mulai ditinggalkan. Padahal, semangat gotong royong inilah yang dulu menjadi ruh bagi gerakan koperasi desa—tempat di mana setiap orang berkontribusi, saling mempercayai, dan menikmati hasil bersama.

Koperasi hidup dari kepercayaan dan solidaritas. Tanpa keduanya, koperasi hanya menjadi lembaga formal tanpa jiwa. Dan ketika masyarakat semakin individualistik, tantangan mendirikan koperasi dengan jumlah anggota signifikan menjadi sangat nyata.

Koperasi sebagai "Sekolah Kebersamaan"

Dalam konteks sosial seperti ini, koperasi sebenarnya bisa memainkan peran baru—menjadi "sekolah kebersamaan" di tengah budaya individualistik. Koperasi mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati tidak lahir dari kompetisi yang saling menjatuhkan, melainkan dari kolaborasi yang saling menguatkan. Di dalam koperasi, setiap anggota belajar berbagi risiko, berbagi keuntungan, dan berbagi tanggung jawab. Ia menjadi laboratorium sosial tempat orang belajar kejujuran, partisipasi, dan tanggung jawab bersama.

Dalam situasi ekonomi yang sering memaksa orang berpikir "yang penting untung sendiri," koperasi hadir sebagai alternatif moral, menawarkan jalan tengah antara kapitalisme yang eksploitatif dan birokrasi yang pasif.

Sering kali teknologi dianggap biang keladi lunturnya gotong royong. Namun sesungguhnya, teknologi juga bisa menjadi sarana baru untuk memperkuat solidaritas jika digunakan dengan visi yang tepat. Yang keliru bukan teknologinya, tapi cara kita memaknainya. Koperasi digital, misalnya, dapat menjadi wujud baru gotong royong modern.

Melalui aplikasi keanggotaan, rapat daring, hingga sistem keuangan digital, anggota koperasi bisa tetap saling terhubung meskipun berada di tempat berbeda. Pemasaran hasil usaha anggota dapat dilakukan lewat marketplace koperasi, sementara modal bisa dikumpulkan melalui sistem simpanan daring berbasis kepercayaan bersama. Dengan demikian, teknologi justru bisa menjadi jembatan sosial baru, bukan penghalang. Semangat gotong royong tidak harus mati; ia hanya perlu menemukan bentuk baru yang sesuai dengan zaman.

Di tengah era digital ini, banyak orang lebih tertarik menjadi reseller, content creator, atau freelancer yang bekerja mandiri. Semua serba cepat dan personal. Namun, di balik gemerlap dunia digital itu, ada banyak tantangan—persaingan ketat, pendapatan yang tidak stabil, dan lemahnya perlindungan sosial. Koperasi bisa menjadi solusi struktural bagi kelompok pekerja baru ini. Bayangkan jika para freelancer digital bergabung dalam koperasi pekerja, mereka bisa berbagi sumber daya, akses proyek, bahkan perlindungan sosial bersama.

Demikian pula bagi petani, nelayan, atau pelaku UMKM desa, koperasi digital bisa menjadi sarana bersama untuk mengakses pasar online, logistik, hingga permodalan tanpa bergantung pada tengkulak atau korporasi besar. Artinya, koperasi tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan jika mampu bertransformasi mengikuti zaman tanpa kehilangan ruh sosialnya.

Gotong Royong Digital: Jalan Tengah Masa Kini

Kita perlu memperkenalkan gagasan "gotong royong digital" sebagai bentuk pembaruan nilai koperasi di era modern. Gotong royong tidak lagi berarti harus berkumpul di balai desa, tetapi dapat diwujudkan melalui partisipasi digital yang tetap berlandaskan kebersamaan.

Beberapa contoh konkret dapat dilihat dari koperasi pertanian yang menjual hasil panen melalui platform daring bersama, atau koperasi perempuan yang memasarkan produk kerajinan via media sosial dan berbagi keuntungan secara proporsional. Ada pula koperasi mahasiswa yang menggunakan aplikasi keuangan transparan agar semua anggota dapat memantau laporan keuangan secara real time. Bentuknya mungkin digital, tetapi rohnya tetap sosial. Inilah cara baru untuk menyalakan kembali api gotong royong di tengah dunia yang serba cepat dan individual.

Agar koperasi tetap hidup di tengah era digital, ada beberapa langkah penting yang perlu dijalankan. Yang pertama adalah pendidikan dan literasi koperasi berkelanjutan, agar masyarakat memahami kembali nilai-nilai kebersamaan, bukan sekadar aspek bisnisnya. Yang kedua adalah digitalisasi sistem koperasi untuk memastikan transparansi, efisiensi, dan keterbukaan dalam setiap transaksi dan pengambilan keputusan. Yang ketiga adalah kepemimpinan yang beretika dan visioner yang mampu memadukan nilai tradisi dan inovasi modern tanpa kehilangan arah. Yang keempat adalah pembangunan jejaring antarkoperasi agar koperasi tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling menopang dalam ekosistem ekonomi rakyat yang lebih besar dan berkelanjutan.

Perlu digaris bawahi bahwa gotong royong merupakan jantung koperasi. Tapi di era digital, jantung itu perlu detak baru—detak yang lebih cepat, fleksibel, namun tetap berpihak pada kemanusiaan. Koperasi bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan gerakan moral dan sosial yang mengingatkan kita bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa diraih jika dicapai bersama.

Teknologi memang telah mengubah cara manusia hidup, tetapi ia tidak bisa menggantikan nilai dasar kemanusiaan—saling percaya, saling berbagi, dan saling menolong. Koperasi adalah ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai itu. Di tengah derasnya perkembangan teknologi, koperasi harus tetap eksis dengan memanfaatkannya secara tepat, melalui ponsel pintar dan jaringan digital yang menghubungkan, bukan memisahkan.

Di dunia yang semakin individualistik, koperasi bukan nostalgia masa lalu, melainkan harapan masa depan. Karena hanya dengan bergandengan tangan, manusia bisa berjalan lebih jauh daripada berjalan sendiri. Inilah momentum bagi koperasi untuk membuktikan bahwa kebersamaan bukan nilai usang, melainkan kunci kesejahteraan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Koperasi adalah jalan untuk mengembalikan hakikat ekonomi pada tempatnya bukan untuk persaingan yang mematikan, melainkan untuk kemanusiaan yang menghidupkan.

*) Pemandu Koperasi Garudayaksa Nusantara (KGN)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Gotong Royong di Era Digital: Tantangan Baru bagi Gerakan Koperasi Desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now