![]() |
| Sumber : Sinar Harapan |
Oleh: Khilmi Arif*
Koperasi adalah salah satu warisan sosial ekonomi
terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar lembaga usaha, tetapi
lambang dari semangat gotong royong, kebersamaan, dan cita-cita kesejahteraan
bersama. Namun di era modern yang serba digital, nilai-nilai itu mulai
menghadapi ujian berat. Manusia kini hidup dalam dunia yang kian
individualistik, di mana segalanya bisa diakses, dipesan, dan diselesaikan
lewat layar ponsel tanpa perlu berinteraksi langsung dengan sesama.
Kemudahan teknologi memang membuat hidup lebih
praktis, tetapi di sisi lain, ia perlahan mengikis semangat kolektif yang
selama ini menjadi fondasi koperasi. Tantangan terbesar koperasi saat ini bukan
hanya soal permodalan atau regulasi, tetapi bagaimana menumbuhkan kembali
semangat kebersamaan di tengah budaya yang serba "aku bisa sendiri."
Perubahan sosial akibat kemajuan teknologi telah
mengubah cara manusia berinteraksi. Kebutuhan dapur, pakaian, bahkan hiburan,
semuanya kini bisa dipenuhi tanpa keluar rumah. Platform digital memberi
kemudahan luar biasa, namun sekaligus menumbuhkan ilusi kemandirian—seolah
setiap orang bisa bertahan sendiri tanpa perlu komunitas.
Fenomena ini melahirkan masyarakat yang efisien secara
ekonomi, tetapi gersang secara sosial. Hubungan antarwarga menjadi semakin
renggang; kegiatan kolektif seperti arisan, ronda malam, atau kerja bakti mulai
ditinggalkan. Padahal, semangat gotong royong inilah yang dulu menjadi ruh bagi
gerakan koperasi desa—tempat di mana setiap orang berkontribusi, saling
mempercayai, dan menikmati hasil bersama.
Koperasi hidup dari kepercayaan dan solidaritas. Tanpa
keduanya, koperasi hanya menjadi lembaga formal tanpa jiwa. Dan ketika
masyarakat semakin individualistik, tantangan mendirikan koperasi dengan jumlah
anggota signifikan menjadi sangat nyata.
Koperasi
sebagai "Sekolah Kebersamaan"
Dalam konteks sosial seperti ini, koperasi sebenarnya
bisa memainkan peran baru—menjadi "sekolah kebersamaan" di tengah
budaya individualistik. Koperasi mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati tidak
lahir dari kompetisi yang saling menjatuhkan, melainkan dari kolaborasi yang
saling menguatkan. Di dalam koperasi, setiap anggota belajar berbagi risiko,
berbagi keuntungan, dan berbagi tanggung jawab. Ia menjadi laboratorium sosial
tempat orang belajar kejujuran, partisipasi, dan tanggung jawab bersama.
Dalam situasi ekonomi yang sering memaksa orang
berpikir "yang penting untung sendiri," koperasi hadir sebagai
alternatif moral, menawarkan jalan tengah antara kapitalisme yang eksploitatif
dan birokrasi yang pasif.
Sering kali teknologi dianggap biang keladi lunturnya
gotong royong. Namun sesungguhnya, teknologi juga bisa menjadi sarana baru
untuk memperkuat solidaritas jika digunakan dengan visi yang tepat. Yang keliru
bukan teknologinya, tapi cara kita memaknainya. Koperasi digital, misalnya,
dapat menjadi wujud baru gotong royong modern.
Melalui aplikasi keanggotaan, rapat daring, hingga
sistem keuangan digital, anggota koperasi bisa tetap saling terhubung meskipun
berada di tempat berbeda. Pemasaran hasil usaha anggota dapat dilakukan lewat marketplace
koperasi, sementara modal bisa dikumpulkan melalui sistem simpanan daring
berbasis kepercayaan bersama. Dengan demikian, teknologi justru bisa menjadi
jembatan sosial baru, bukan penghalang. Semangat gotong royong tidak harus
mati; ia hanya perlu menemukan bentuk baru yang sesuai dengan zaman.
Di tengah era digital ini, banyak orang lebih tertarik
menjadi reseller, content creator, atau freelancer yang
bekerja mandiri. Semua serba cepat dan personal. Namun, di balik gemerlap dunia
digital itu, ada banyak tantangan—persaingan ketat, pendapatan yang tidak
stabil, dan lemahnya perlindungan sosial. Koperasi bisa menjadi solusi
struktural bagi kelompok pekerja baru ini. Bayangkan jika para freelancer
digital bergabung dalam koperasi pekerja, mereka bisa berbagi sumber daya,
akses proyek, bahkan perlindungan sosial bersama.
Demikian pula bagi petani, nelayan, atau pelaku UMKM
desa, koperasi digital bisa menjadi sarana bersama untuk mengakses pasar online,
logistik, hingga permodalan tanpa bergantung pada tengkulak atau korporasi
besar. Artinya, koperasi tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan jika mampu
bertransformasi mengikuti zaman tanpa kehilangan ruh sosialnya.
Gotong
Royong Digital: Jalan Tengah Masa Kini
Kita perlu memperkenalkan gagasan "gotong royong
digital" sebagai bentuk pembaruan nilai koperasi di era modern. Gotong
royong tidak lagi berarti harus berkumpul di balai desa, tetapi dapat
diwujudkan melalui partisipasi digital yang tetap berlandaskan kebersamaan.
Beberapa contoh konkret dapat dilihat dari koperasi
pertanian yang menjual hasil panen melalui platform daring bersama, atau
koperasi perempuan yang memasarkan produk kerajinan via media sosial dan
berbagi keuntungan secara proporsional. Ada pula koperasi mahasiswa yang
menggunakan aplikasi keuangan transparan agar semua anggota dapat memantau
laporan keuangan secara real time. Bentuknya mungkin digital, tetapi
rohnya tetap sosial. Inilah cara baru untuk menyalakan kembali api gotong
royong di tengah dunia yang serba cepat dan individual.
Agar koperasi tetap hidup di tengah era digital, ada
beberapa langkah penting yang perlu dijalankan. Yang pertama adalah pendidikan
dan literasi koperasi berkelanjutan, agar masyarakat memahami kembali
nilai-nilai kebersamaan, bukan sekadar aspek bisnisnya. Yang kedua adalah
digitalisasi sistem koperasi untuk memastikan transparansi, efisiensi, dan
keterbukaan dalam setiap transaksi dan pengambilan keputusan. Yang ketiga
adalah kepemimpinan yang beretika dan visioner yang mampu memadukan nilai
tradisi dan inovasi modern tanpa kehilangan arah. Yang keempat adalah
pembangunan jejaring antarkoperasi agar koperasi tidak berjalan
sendiri-sendiri, tetapi saling menopang dalam ekosistem ekonomi rakyat yang
lebih besar dan berkelanjutan.
Perlu digaris bawahi bahwa gotong royong merupakan
jantung koperasi. Tapi di era digital, jantung itu perlu detak baru—detak yang
lebih cepat, fleksibel, namun tetap berpihak pada kemanusiaan. Koperasi bukan
sekadar lembaga ekonomi, melainkan gerakan moral dan sosial yang mengingatkan
kita bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa diraih jika dicapai bersama.
Teknologi memang telah mengubah cara manusia hidup,
tetapi ia tidak bisa menggantikan nilai dasar kemanusiaan—saling percaya,
saling berbagi, dan saling menolong. Koperasi adalah ruang untuk menghidupkan
kembali nilai-nilai itu. Di tengah derasnya perkembangan teknologi, koperasi
harus tetap eksis dengan memanfaatkannya secara tepat, melalui ponsel pintar
dan jaringan digital yang menghubungkan, bukan memisahkan.
Di dunia yang semakin individualistik, koperasi bukan
nostalgia masa lalu, melainkan harapan masa depan. Karena hanya dengan
bergandengan tangan, manusia bisa berjalan lebih jauh daripada berjalan
sendiri. Inilah momentum bagi koperasi untuk membuktikan bahwa kebersamaan
bukan nilai usang, melainkan kunci kesejahteraan yang berkelanjutan dan
berkeadilan. Koperasi adalah jalan untuk mengembalikan hakikat ekonomi pada
tempatnya bukan untuk persaingan yang mematikan, melainkan untuk kemanusiaan
yang menghidupkan.
*) Pemandu Koperasi Garudayaksa Nusantara (KGN)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?