Banner Iklan

Enam Hari, Seribu Kisah: Menyulam Cerita Pengabdian di Gresik

Admin JSN
22 November 2025 | 23.20 WIB Last Updated 2025-11-22T17:06:19Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Enam hari mungkin terdengar singkat, tetapi bagi saya, waktu sesingkat itu telah meninggalkan seribu kisah penuh makna. Dari tawa anak-anak sekolah hingga pelukan hangat warga pada malam perpisahan, semuanya menjadi catatan indah tentang arti memberi dan belajar dari kehidupan. Pengabdian itu saya jalani bersama teman-teman Formadiksi Unesa di Desa Kramat, Gresik, pada 28 Juli hingga 02 Agustus 2024. Selama waktu tersebut, kami terjun langsung ke tengah masyarakat, berbagi ilmu, pengalaman, dan kepedulian melalui berbagai kegiatan pendidikan, sosial, dan lingkungan yang sederhana namun penuh arti.

Perjalanan menuju Desa Kramat pun menjadi kisah tersendiri yang tak kalah berkesan. Dengan menaiki garnisun berwarna hijau tua, kami berangkat penuh semangat di bawah teriknya matahari siang. Canda tawa menggema di antara alunan lagu yang kami nyanyikan bersama, seolah menjadi penawar lelah di tengah jalanan berdebu. Angin panas berhembus kencang membawa aroma khas tambak yang terbentang luas di kanan-kiri jalan. Airnya berkilau memantulkan cahaya matahari, seolah menyambut langkah kecil kami menuju tempat pengabdian. Di antara tawa dan debu yang menempel di wajah, terselip rasa bahagia dan haru karena kami tahu, perjalanan itu bukan sekadar menuju desa—tetapi juga menuju pengalaman yang akan membekas selamanya.

Sesampainya di Desa Kramat, rasa lelah yang menempel sepanjang perjalanan seolah lenyap disambut senyum ramah warga dan perangkat desa. Kami beristirahat sejenak di balai desa untuk melepas penat sebelum pembukaan dimulai. Perangkat desa menyambut kami dengan penuh kehangatan, menyampaikan ucapan selamat datang serta harapan agar kegiatan pengabdian membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam balai yang sederhana namun penuh makna itu, kami duduk berdampingan mendengarkan sambutan, memperkenalkan diri, dan merasakan semangat kebersamaan yang perlahan tumbuh—pertanda awal dari pengalaman penuh cerita yang akan kami jalani bersama.

Keesokan harinya, saya mendapat jadwal mengajar di TK bersama lima rekan lain. Seluruh mahasiswa pengabdian mendapat tugas masing-masing: ada yang mengajar di TK, SD, dan TPQ. Senyum lebar menghiasi wajah kami selama perjalanan menuju sekolah. Sesampainya di sana, pihak sekolah menyambut hangat, bahkan menyajikan berbagai makanan khas Gresik. Tidak hanya anak-anak yang belajar dari kami, tetapi kami pun belajar banyak dari mereka. Senang rasanya bisa membaur dengan mereka: mewarnai, berhitung, hingga bernyanyi bersama.

Tak berhenti di ruang kelas, kami juga mengadakan sosialisasi KIP-K di SMA dan MA terdekat. Melalui kegiatan ini, mahasiswa memperkenalkan peluang pendidikan bagi generasi muda agar mereka tidak ragu bermimpi lebih tinggi. Kami percaya setiap anak memiliki hak untuk memandang masa depan dengan optimis, meski pijakannya masih berada di tanah yang sederhana. Banyak dari mereka awalnya ragu melanjutkan kuliah karena kondisi ekonomi. Namun, di mata mereka, kami melihat cahaya-cahaya harapan yang hanya butuh sedikit dorongan untuk menyala lebih terang.

Sore berganti malam, namun kehidupan di Desa Kramat belum benar-benar terlelap. Di bawah langit bertabur bintang, balai desa berubah menjadi ruang belajar sederhana yang penuh semangat. Setelah salat isya, anak-anak berdatangan satu per satu membawa buku tulis dan senyum antusias. Suasananya hangat—bukan hanya karena udara desa yang bersahabat, tetapi juga karena semangat belajar yang tak pernah padam. Para mahasiswa membimbing dengan sabar, membantu mereka mengerjakan tugas sekolah, membaca, hingga bermain kuis sederhana.

Menjelang akhir pengabdian, suasana di Desa Kramat terasa semakin meriah. Setiap malam, balai desa berubah menjadi tempat latihan yang dipenuhi tawa dan semangat. Di sanalah para mahasiswa melatih delegasi siswa dari SD setempat untuk tampil dalam pentas seni penutupan. Anak-anak berbaris rapi—sebagian memegang teks puisi, sebagian lain berlatih menyanyi dengan suara lantang yang kadang fals tapi tulus. Di sudut lain, beberapa anak tampak malu-malu mencoba berjalan untuk latihan fashion show. Balai desa yang biasanya sepi kini hidup oleh suara anak-anak yang menyiapkan penampilan terbaik mereka. Latihan pensi bukan hanya persiapan acara, tetapi juga panggung kecil tempat mereka belajar percaya diri dan berani bermimpi.

Namun, perjalanan itu tentu tidak selalu mudah. Terik matahari Gresik dan jadwal kegiatan yang padat menjadi tantangan tersendiri. Di sela-sela padatnya aktivitas, banyak cerita kecil yang membuat enam hari pengabdian terasa begitu hidup. Bukan sekadar mengajar atau berbagi ilmu, tetapi juga tentang kebersamaan sederhana yang tumbuh setiap hari.

Puncak pengabdian terasa pada hari terakhir ketika seluruh warga dan mahasiswa berkumpul dalam pentas seni penutupan yang penuh kehangatan. Lagu-lagu dinyanyikan bersama, tawa anak-anak berpadu dengan mata yang berkaca-kaca. Di penghujung acara, anak-anak menangis haru dan memeluk kami erat-erat.

Kebersamaan itu sederhana, tetapi hangatnya akan sulit dilupakan. Di antara panci yang gosong, tawa di dapur, kaki berpasir dari pantai, hingga rebutan kamar mandi di pagi hari, kami belajar bahwa pengabdian bukan hanya tentang memberi manfaat, tetapi juga tentang menemukan keluarga di tempat yang jauh dari rumah. Kini, meski langkah kami telah kembali ke kampus, kenangan itu tetap hidup di hati.

---

Yessy Assyamu Novianti
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Enam Hari, Seribu Kisah: Menyulam Cerita Pengabdian di Gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now