FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Gang kecil di Desa Ploso, Tambaksari, tampak seperti jalan
menuju rumah warga pada umumnya. Tidak ada papan nama besar atau gedung megah
di ujungnya. Namun dari gang sederhana itulah Dewi Lailatul Maghfiroh,
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya,
melangkah setiap pagi selama empat bulan untuk menjalani program asistensi
mengajar. Perjalanan itu kelak memperlihatkan besarnya arti kepedulian seorang
individu dalam dunia pendidikan.
SMP Mardi Siwi, tempat Dewi mengabdi, berdiri sederhana dan
berdempetan dengan rumah penduduk. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruang kelas
untuk siswa kelas 7, 8, dan 9. Listrik sering padam, beberapa ruangan tidak
memiliki pintu, dan fasilitas umum seperti kantin atau laboratorium nyaris
tidak ada. Meski demikian, Dewi tidak pernah melihat sekolah itu sebagai tempat
yang kurang. Baginya, sekolah ini adalah ruang ketulusan yang dijaga oleh
delapan guru dan dua tenaga kependidikan.
“Waktu pertama datang, saya merasa melihat potret kecil dari
ketimpangan pendidikan yang jarang kita tahu,” ujar Dewi. Namun alih-alih hanya
merasa iba, Dewi memilih bergerak.
Bersama tujuh rekannya, ia merancang berbagai program kecil
yang berdampak nyata. Mereka membuat pojok literasi, memperbarui mading,
mengembangkan akun Instagram sekolah, membuat video profil, hingga membantu
membentuk OSIS pertama di SMP Mardi Siwi. Mereka juga mempercantik tangga
sekolah dengan rumus matematika sederhana dan mengadakan kegiatan hari hijau
dengan membawa tanaman. Semua dilakukan tanpa banyak fasilitas, hanya berbekal
kreativitas dan ketulusan.
Di antara semua program itu, ada satu momen yang benar-benar
mengubah cara Dewi memaknai pendidikan. Suatu hari, kepala sekolah memanggil
timnya dan berkata pelan bahwa siswa kelas 7 belum memiliki kartu pelajar.
Bukan karena kelalaian, tetapi karena keterbatasan dana dan tidak adanya tenaga
yang bisa mengurusnya. Beberapa siswa bahkan tidak memiliki foto identitas
formal.
Dewi langsung tergerak. “Saya merasa tidak tega,” tuturnya. Ia
tahu bahwa kartu pelajar bukan sekadar selembar plastik. Bagi siswa-siswa itu,
kartu tersebut adalah tanda bahwa mereka terdaftar, diakui, dan merupakan
bagian dari sebuah institusi pendidikan yang peduli pada mereka.
Dewi kemudian mengoordinasikan pendataan siswa, memotret mereka
satu per satu dengan pencahayaan seadanya di kelas, lalu merancang kartu
pelajar dengan desain sederhana namun bersih. Ia memutuskan untuk mencetak
kartu tersebut dengan biaya seminimal mungkin dan tidak meminta iuran dari
siswa. “Kami tahu keadaan ekonomi mereka,” ujarnya.
Hari pembagian kartu pelajar menjadi salah satu momen paling
emosional dalam perjalanan asistensinya. Anak-anak itu memegang kartu pelajar
pertama mereka dengan wajah bangga, malu-malu, dan penuh rasa percaya diri
baru. Bagi Dewi, itu adalah bukti bahwa bantuan kecil dapat menghadirkan
identitas dan martabat bagi mereka yang selama ini nyaris terpinggirkan.
Empat bulan pengabdian Dewi terasa singkat, tetapi meninggalkan
jejak panjang. Pojok literasi kini berdiri, OSIS mulai bergerak, mading tampil
lebih rapi, dan video profil membantu sekolah dikenal lebih luas. Namun yang
paling berharga bagi Dewi adalah melihat kartu pelajar sederhana itu tergantung
di saku seragam siswa setiap pagi.
“Saya senang menjadi bagian kecil dari pertumbuhan mereka,”
kata Dewi. Ia berharap langkah-langkah kecil seperti ini bisa menjadi pijakan
bagi perubahan yang lebih besar di masa depan.
Di tengah megahnya Surabaya, kisah Dewi menjadi pengingat bahwa perubahan tidak selalu hadir dari gedung besar atau fasilitas lengkap. Kadang perubahan dimulai dari ruang kelas sempit, senyum malu-malu siswa, dan kartu pelajar yang dibuat dengan sepenuh hati. Dari tangan seorang mahasiswa, identitas itu akhirnya hadir dan harapan kecil mulai hidup.
---
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?