Banner Iklan

Dewi Lailatul Maghfiroh: Menghadirkan Identitas di Tengah Keterbatasan

Admin JSN
26 November 2025 | 09.47 WIB Last Updated 2025-11-26T02:47:06Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Gang kecil di Desa Ploso, Tambaksari, tampak seperti jalan menuju rumah warga pada umumnya. Tidak ada papan nama besar atau gedung megah di ujungnya. Namun dari gang sederhana itulah Dewi Lailatul Maghfiroh, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, melangkah setiap pagi selama empat bulan untuk menjalani program asistensi mengajar. Perjalanan itu kelak memperlihatkan besarnya arti kepedulian seorang individu dalam dunia pendidikan.

SMP Mardi Siwi, tempat Dewi mengabdi, berdiri sederhana dan berdempetan dengan rumah penduduk. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruang kelas untuk siswa kelas 7, 8, dan 9. Listrik sering padam, beberapa ruangan tidak memiliki pintu, dan fasilitas umum seperti kantin atau laboratorium nyaris tidak ada. Meski demikian, Dewi tidak pernah melihat sekolah itu sebagai tempat yang kurang. Baginya, sekolah ini adalah ruang ketulusan yang dijaga oleh delapan guru dan dua tenaga kependidikan.

“Waktu pertama datang, saya merasa melihat potret kecil dari ketimpangan pendidikan yang jarang kita tahu,” ujar Dewi. Namun alih-alih hanya merasa iba, Dewi memilih bergerak.

Bersama tujuh rekannya, ia merancang berbagai program kecil yang berdampak nyata. Mereka membuat pojok literasi, memperbarui mading, mengembangkan akun Instagram sekolah, membuat video profil, hingga membantu membentuk OSIS pertama di SMP Mardi Siwi. Mereka juga mempercantik tangga sekolah dengan rumus matematika sederhana dan mengadakan kegiatan hari hijau dengan membawa tanaman. Semua dilakukan tanpa banyak fasilitas, hanya berbekal kreativitas dan ketulusan.

Di antara semua program itu, ada satu momen yang benar-benar mengubah cara Dewi memaknai pendidikan. Suatu hari, kepala sekolah memanggil timnya dan berkata pelan bahwa siswa kelas 7 belum memiliki kartu pelajar. Bukan karena kelalaian, tetapi karena keterbatasan dana dan tidak adanya tenaga yang bisa mengurusnya. Beberapa siswa bahkan tidak memiliki foto identitas formal.

Dewi langsung tergerak. “Saya merasa tidak tega,” tuturnya. Ia tahu bahwa kartu pelajar bukan sekadar selembar plastik. Bagi siswa-siswa itu, kartu tersebut adalah tanda bahwa mereka terdaftar, diakui, dan merupakan bagian dari sebuah institusi pendidikan yang peduli pada mereka.

Dewi kemudian mengoordinasikan pendataan siswa, memotret mereka satu per satu dengan pencahayaan seadanya di kelas, lalu merancang kartu pelajar dengan desain sederhana namun bersih. Ia memutuskan untuk mencetak kartu tersebut dengan biaya seminimal mungkin dan tidak meminta iuran dari siswa. “Kami tahu keadaan ekonomi mereka,” ujarnya.

Hari pembagian kartu pelajar menjadi salah satu momen paling emosional dalam perjalanan asistensinya. Anak-anak itu memegang kartu pelajar pertama mereka dengan wajah bangga, malu-malu, dan penuh rasa percaya diri baru. Bagi Dewi, itu adalah bukti bahwa bantuan kecil dapat menghadirkan identitas dan martabat bagi mereka yang selama ini nyaris terpinggirkan.

Empat bulan pengabdian Dewi terasa singkat, tetapi meninggalkan jejak panjang. Pojok literasi kini berdiri, OSIS mulai bergerak, mading tampil lebih rapi, dan video profil membantu sekolah dikenal lebih luas. Namun yang paling berharga bagi Dewi adalah melihat kartu pelajar sederhana itu tergantung di saku seragam siswa setiap pagi.

“Saya senang menjadi bagian kecil dari pertumbuhan mereka,” kata Dewi. Ia berharap langkah-langkah kecil seperti ini bisa menjadi pijakan bagi perubahan yang lebih besar di masa depan.

Di tengah megahnya Surabaya, kisah Dewi menjadi pengingat bahwa perubahan tidak selalu hadir dari gedung besar atau fasilitas lengkap. Kadang perubahan dimulai dari ruang kelas sempit, senyum malu-malu siswa, dan kartu pelajar yang dibuat dengan sepenuh hati. Dari tangan seorang mahasiswa, identitas itu akhirnya hadir dan harapan kecil mulai hidup.

---

M. Wisnu Pawoko
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dewi Lailatul Maghfiroh: Menghadirkan Identitas di Tengah Keterbatasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now