FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Fajar baru saja merekah ketika langkah kakinya terdengar di jalanan
kampung yang masih lengang. Di pundaknya tergantung tas besar berisi tumpukan
koran pagi. Satu per satu rumah ia datangi, meletakkan lembaran berita di teras
sambil mengatur napas di antara kabut subuh. Sementara sebagian orang baru
menyiapkan sarapan, dia sudah memulai perjuangannya yang tak pernah henti.
Namanya Yudin. Di usia sembilan belas tahun, hari-harinya dipenuhi
kerja keras tanpa jeda. Pukul enam pagi ia sudah mengantar koran, lalu bergegas
ke pasar untuk berdagang pakaian olahraga hingga siang menjelang. Tak berhenti
di sana, sore hari ia lanjut menjaga koperasi di SMA tempatnya dulu bersekolah.
“Dulu sekolah saya masuk sore, jadi pagi saya bisa berjualan. Lama-lama malah
jadi pekerjaan tetap,” kenangnya sambil tersenyum kecil.
Semua aktivitas itu ia jalani dengan satu-satunya kendaraan yang ia
miliki, sepeda motor tua yang sering mogok di tengah jalan. Kadang mesinnya tak
mau menyala, kadang rantainya lepas, tapi Yudin tetap sabar menuntunnya di
bawah terik matahari. “Motor itu saksi perjuangan saya,” ujarnya sambil tertawa
kecil. “Kalau dia mogok, saya anggap dia juga butuh istirahat.”
Suatu pagi, motornya benar-benar berhenti di tengah jalan utama.
Asap tipis keluar dari knalpot, sementara waktu terus berjalan mendekati jam
kuliahnya. Bukannya panik, Yudin malah menuntun motornya perlahan sambil
tersenyum, sesekali menyapa orang yang lewat. Ia menepi ke bengkel kecil di
pinggir jalan, meminta bantuan sekadar meminjam kunci busi. “Biar lambat, yang
penting jalan,” katanya sambil bercanda dengan montir. Setelah mesin menyala
lagi, ia langsung melaju ke kampus, baju terkena noda oli tapi semangatnya
tetap utuh.
Senin sampai Kamis jadwalnya makin padat. Setelah mengantar koran
dan berdagang, ia harus bergegas ke kampus. Kuliah dimulai pukul satu siang,
tapi pikirannya sering terbagi antara tugas kuliah dan urusan dagangan. Malam
hari, ketika teman-temannya beristirahat, Yudin justru berkeliling ke toko
grosir mencari peralatan untuk koperasi sekolah. “Capek pasti, tapi kalau ingat
ibu di rumah, rasanya semua tenaga balik lagi,” ucapnya pelan.
Ibu menjadi alasan terbesar Yudin untuk bertahan. Sejak ayahnya meninggal, sang ibu hanya mengandalkan penghasilan kecil dari menjahit. Yudin tahu, jika ingin kuliah, ia harus berjuang sendiri. Maka, tak ada pilihan lain selain bekerja dari pagi hingga malam, menabung sedikit demi sedikit agar bisa membayar UKT. “Saya nggak mau ibu saya mikir biaya kuliah saya. Biarlah saya yang tanggung,” katanya.
Perjuangan itu akhirnya berbuah manis. Yudin berhasil menyelesaikan
kuliahnya, bahkan melanjutkan hingga jenjang magister. Kini, ia berdiri di
depan kelas, bukan lagi sebagai siswa atau penjaga koperasi, melainkan sebagai
dosen muda di dua kampus swasta. Namun, baginya, perjuangan belum benar-benar
selesai. “Kalau sekarang saya senang membantu mahasiswa yang sedang berjuang
seperti saya dulu, rasanya seperti membayar lunas masa lalu,” ujarnya.
Setiap kali ia melihat mahasiswa yang datang dengan pakaian
sederhana atau motor tuanya yang penuh goresan, Yudin sering terdiam sejenak.
Ia melihat dirinya di masa lalu, seseorang yang berlari di antara waktu,
membawa harapan dan tanggung jawab di punggung yang sama. “Saya selalu bilang
ke mahasiswa, jangan malu berjuang. Karena dari situ nanti kita belajar
menghargai setiap hasil kecil yang datang,” tuturnya penuh makna.
Setiap kali fajar datang, kenangan masa lalunya seakan ikut menyapa,
aroma kertas koran, teriakan pedagang pasar, suara mesin motor tua yang
sesekali batuk, dan wajah ibunya yang sabar menunggu di rumah. Semua itu
menjadi pengingat, bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia selama dilakukan
dengan cinta dan niat yang tulus.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?