FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Suara bel masuk terdengar nyaring di lorong
kelas SMK NU Gresik pagi itu. Matahari baru saja naik, menembus jendela ruang
kelas yang dipenuhi meja kayu sederhana. Di sinilah, di antara tumpukan buku
dan papan tulis yang mulai pudar warnanya, saya memulai perjalanan mengajar
yang tak akan pernah saya lupakan mengajar materi drama untuk pertama kalinya
dan saya sedikit cemas.
Awalnya, saya tidak pernah benar-benar
membayangkan diri saya menjadi seorang guru. Ada keraguan yang diam-diam
tumbuh: apakah saya mampu berdiri di depan kelas? Apakah saya bisa membuat
siswa belajar dengan senang? Namun, sebagai mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, saya mulai menyadari bahwa profesi guru adalah tujuan
yang sedang saya tapaki. Program Pengalaman Lapangan (PLP) pun menjadi titik
awal perubahan itu. Saya belajar bahwa menjadi guru bukan hanya soal mengajar
materi, tetapi juga tentang hadir, membimbing, dan menjadi bagian dari cerita
perkembangan siswa. Setiap hari di sekolah menjadi lembaran baru yang
menantang. Justru dari sanalah saya mulai belajar bagaimana menjadi guru yang
baik, meski harus dimulai dari kecanggungan dan keraguan yang ada.
Dalam bayangan saya, siswa SMK lebih akrab
dengan kegiatan praktik daripada pelajaran bahasa atau seni. Benar saja, ketika
saya menyebut kata drama, beberapa wajah terlihat heran, bahkan ada yang
menahan tawa. “Drama? Maksudnya kayak sinetron, Bu?” tanya salah satu siswa
sambil tersenyum malu. Saya hanya tertawa kecil dan menjawab, “Bukan sinetron,
tapi seni bermain peran tentang memahami kehidupan dari sudut pandang orang
lain.”
Pertemuan pertama saya gunakan untuk
memperkenalkan dasar-dasar drama, seperti dialog, tokoh, latar, dan konflik.
Namun, teori saja tak cukup menarik perhatian mereka. Drama adalah tentang
pengalaman, bukan sekadar hafalan. Maka, saya menantang mereka, “Minggu depan,
kalian buat adegan pendek tentang kehidupan sehari-hari di sekolah.”
Kelas sempat hening. Tak ada yang berani
berbicara. Perlahan, satu tangan terangkat. “Bu, kalau tentang teman yang
sering terlambat, boleh?” tanya seorang siswa bernama Luki. “Boleh, asal
pesannya positif,” jawab saya. Dari situ, ide-ide mulai bermunculan tentang
pertemanan, disiplin, bahkan kisah keluarga.
Hari pementasan tiba. Saya tak menyangka,
siswa yang biasanya diam di pojok kelas tampil begitu bersemangat di depan
teman-temannya. Ada yang berperan sebagai guru galak, ada pula yang menjadi
siswa nakal. Kelas penuh tawa, tetapi juga sarat makna. Saya melihat mereka
belajar percaya diri, bekerja sama, dan mengekspresikan diri dengan cara yang
tidak bisa diajarkan lewat teori semata.
Momen paling mengharukan terjadi saat
kelompok terakhir tampil. Mereka membawakan drama berjudul “Rindu Ibu”, kisah
sederhana tentang seorang siswa yatim yang berjuang tetap semangat di sekolah.
Saat tokoh utama mengucapkan dialog terakhir “Aku belajar bukan untuk
siapa-siapa, tapi untuk membanggakan Ibu di surga” kelas mendadak hening.
Beberapa siswa menunduk, menahan air mata.
Saat itu saya sadar, pelajaran drama bukan
hanya tentang seni peran, tetapi tentang melatih empati. Mereka belajar
memahami perasaan orang lain, mengucapkan kata dengan makna, dan menyalurkan
emosi yang mungkin tak sempat terucap dalam kehidupan nyata.
Seusai pementasan, saya menutup pelajaran
dengan sebuah refleksi. “Apa yang kalian pelajari dari drama hari ini?” tanya
saya. Salah satu siswa menjawab pelan, “Saya jadi berani bicara di depan orang,
Bu. Dulu saya takut salah.” Yang lain menimpali, “Saya jadi tahu, ternyata
belajar bahasa Indonesia bisa seru juga.”
Saya tersenyum. Semua kerja keras, latihan,
dan rasa gugup itu terbayar lunas. Pengalaman mengajar drama di SMK NU Gresik
telah mengubah pandangan saya tentang mengajar. Bahwa pendidikan bukan hanya
soal nilai, tetapi tentang menyalakan cahaya dalam diri siswa dengan cahaya
keberanian, empati, dan kreativitas.
Kini, setiap kali saya melintas di depan
sekolah itu, saya masih bisa membayangkan suara tawa mereka di kelas, tepukan
tangan saat tirai imajiner ditutup, dan mata-mata berbinar penuh semangat.
Drama mungkin hanya satu bab dalam buku pelajaran, tetapi di panggung kecil SMK
NU Gresik, saya menyaksikan bagaimana pelajaran itu menjadi kehidupan yang
nyata.
Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa menjadi guru adalah jalan yang ingin saya pilih. Terima kasih kepada Unesa yang telah membimbing saya sampai sejauh ini, memberi kesempatan untuk belajar langsung di dunia nyata, dan mengajarkan arti mengabdi melalui pendidikan. Semoga suatu hari nanti, saya dapat kembali membawa kebanggaan untuk kampus tercinta, dengan menjadi guru yang benar-benar bermanfaat bagi siswa.
---
Novia Indah Ramadhani
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?