FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Kereta jurusan
Banyuwangi-Surabaya itu melaju pelan ketika Ayu Wardina membuka mata. Di
pangkuannya masih tergeletak selendang kuning yang ia kenakan untuk manggung
semalam. Pagi itu, sebagian besar mahasiswa masih terlelap, sementara Ayu sudah
berada di perjalanan panjang menuju Surabaya, bersiap kembali mengikuti
perkuliahan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, UNESA.
Di
perantauan, ia adalah mahasiswa yang harus mengejar tugas dan menghadiri
kuliah. Tapi di kampung halamannya, ia adalah penari janger, sinden muda,
model, dan pegiat seni yang hidup dari panggung ke panggung. Dua dunia itu
berjalan bersamaan, dan Ayu menjadi penghubung yang tidak kenal lelah.
Ayu mendeskripsikan
dirinya dalam tiga kata: menari, menyanyi, berekspresi. Dunia seni sudah
dikenalnya bahkan sebelum ia masuk PAUD. Ayahnya adalah seorang penari Jaranan
Buto. Dari kecil Ayu sudah akrab mendengarkan suara gamelan, menonton rekaman
jaranan, dan menirukan gerakan para pemain di televisi. Ia tidak malu menari di
depan rumah, padahal halaman rumahnya langsung berhadapan dengan jalan raya.
Sang Ibu
sering merekam Ayu menyanyikan lagu-lagu daerah Banyuwangi, padahal saat itu umurnya
masih balita. Ketika anak seusianya masih menyenandungkan lagu anak-anak, Ayu
justru menyukai repertoar khas sinden dewasa. Di samping itu, sejak TK, Ayu
selalu ditempatkan di formasi terdepan dalam lomba menari. Kecintaan itu tumbuh
tanpa paksaan, dan bakatnya menonjol lebih cepat daripada usianya.
Keputusan
bergabung sebagai penari Janger di Krishna Buana datang saat Ayu duduk di kelas
9 SMP. Salah satu seniman senior yang ia idolakan mengajaknya bergabung.
Awalnya ia merasa takut, sebab sama halnya dengan wayang, dunia janger identik
dengan pertunjukan semalam suntuk, mulai selepas isya hingga menjelang subuh. Stigma
negatif terhadap perempuan yang bekerja malam masih kuat, terlebih laki-laki
dan perempuan bersiap di satu tenda yang sama. Orang tuanya sempat tidak memberi restu karena
khawatir. Namun, setelah melihat keseriusannya, izin itu akhirnya diberikan. Sejak
itu panggung janger menjadi salah satu rumah ekspresi bagi Ayu.
Jauh sebelum
menggeluti janger, Ayu sudah punya pengalaman seni tak terlupakan. Pada 17 November
2012, ia terpilih mengikuti pagelaran perdana Gandrung Sewu—event megah
tahunan Banyuwangi yang melibatkan lebih dari seribu penari. Yang membekas
baginya adalah kenyataan bahwa ia dan ayahnya sama-sama tampil di event
itu, tetapi baru saling mengetahui menjelang pertunjukan berakhir. Ayu sebagai
penari gandrung dan ayahnya sebagai pemain jaranan buto. Momen itu menjadi sebuah
kejutan yang membekas kuat bagi seorang anak yang sedang membangun kepercayaan
diri di dunia seni.
Perjalanan
karier Ayu tidak selalu mulus. Ia pernah dikeluarkan dari komunitas jaranan
buto tempat ia dan ayahnya bergabung, hanya karena ada orang yang tidak
menyukainya. Ia dicemooh, diprediksi tidak akan menjadi apa-apa setelah keluar
dari komunitas tersebut. Namun, Ayu justru menjadikan cemoohan itu sebagai
motivasi. Ia mengikuti les vokal privat selama tiga tahun, mewakili sekolahnya dalam
FLS2N, menang, dan menggunakan piagam itu untuk masuk SMA pilihannya. Menurut
Ayu, pencapaian itu menjadi bukti bahwa bakat dan kerja keras jauh lebih
berharga daripada opini lingkungan yang toksik.
Masa
paling berat datang dari seseorang yang ia anggap sahabat sendiri. Ayu dan
keluarganya pernah difitnah melakukan praktik mistis “santet” yang membuat
sahabatnya sakit. Fitnah itu menyebar cepat, merusak nama baik keluarganya, hingga
membuat kepala desa turun tangan. Produser musik turut diprovokasi agar tidak
mengajak Ayu manggung lagi. Ia dikucilkan teman-temannya, kariernya terancam,
dan ibunya hampir melapor ke polisi atas dasar pencemaran nama baik. Ayu
melewatinya dengan mental yang koyak, tetapi ia mampu bertahan dan memilih
fokus pada karya serta pendidikan.
Bagi Ayu,
Banyuwangi adalah identitas yang tidak akan hilang meski ia merantau jauh. Ia
menjelaskan bahwa Banyuwangi adalah rumah bagi Suku Osing dengan budaya yang
berbeda dari Jawa maupun Bali. Karakter budayanya kuat, tradisi leluhur dijaga
ketat, dan masyarakatnya bangga menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan. Ia menuturkan
sebuah ungkapan realistis, “Banyuwangi iki ditinggal ngangeni, ditunggoni
gak sugih-sugih”—ditinggal membuat rindu, tapi kalau menetap tak banyak
perkembangan. Oleh sebab itu, banyak anak Banyuwangi memilih merantau, termasuk
Ayu.
Setelah
lulus SMA, Ayu memilih Surabaya sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Pada awal
perkuliahan, ia bolak-balik Banyuwangi–Surabaya hampir setiap akhir pekan
karena homesick. Perjalanan enam hingga tujuh jam itu melelahkan, tetapi
ia jalani. Kini ia pulang sebulan sekali, kecuali bila ada job “besar” yang
juga menanggung transportasi.
Di sela kuliah,
Ayu tetap menari, menyanyi, mengambil job event kampus maupun acara
pemerintahan, hingga membuat konten YouTube. Konten musiknya di YouTube dimulai
sejak pandemi karena job-job yang biasa dijalaninya harus terpaksa
berhenti; dan dari sanalah penghasilan tambahan mengalir. Sebagian uangnya
digunakan membeli peralatan produksi. Sebuah investasi kecil dari ketekunan
seorang pemuda yang tumbuh lewat seni.
Kiprahnya
di kampus tak kalah menonjol. Ia terpilih menjadi Nimas Pendidikan Bahasa dan
Sastra Jawa setelah ditunjuk sebagai delegasi kelas. Capaian itu bukan hanya
soal penampilan fisik, melainkan rekam jejak, kemampuan seni, dan wawasan
budayanya. Sesi wawancara adalah momen paling emosional baginya, ketika
dosen-dosen bertanya, “Apa yang ingin kamu lakukan untuk jurusan ini?”
Ayu menjawab dengan mantap bahwa dengan aspirasi yang lahir dari pengalamannya,
ia ingin menghidupkan ruang seni dan budaya bukan dari teori semata.
Ketika
ditanya siapa yang paling berjasa dalam kiprahnya, Ayu tanpa ragu menyebut dua
kata “orang tua”. Ibu dan ayahnya rela mengeluarkan biaya besar untuk kostum
dan latihan privat sejak Ayu kecil. “Uang yang kukeluarkan untuk
membelikan kostum anakku suatu saat akan kembali,” begitu ibunya selalu berkata. Ayu
mengakui bahwa tanpa dukungan itu, ia tidak akan menjadi seperti sekarang. Ayu
tahu itu bukan sekadar kalimat, itu sebuah kepercayaan—hingga terbukti saat ini
ia bisa berpenghasilan sendiri. Selain orang tua, sang kekasih turut berperan besar
dalam membangun kepercayaan dirinya, terutama dalam dunia tarik suara dan per-sinden-an.
Tentang
mimpi masa depan, Ayu bersikap realistis. Ia ingin menjadi guru bahasa Jawa
dengan gaji yang stabil, tetapi tetap aktif berkesenian. Baginya, seni dan
pendidikan adalah dua jalan yang ingin ia tempuh bersamaan. Ia ingin membalas
perjuangan orang tuanya dan membuktikan bahwa semua biaya, tenaga, dan waktu
yang mereka keluarkan untuknya tidak sia-sia. Ia juga ingin menunjukkan pada
orang-orang yang pernah menjatuhkannya bahwa keberhasilan bisa lahir dari
kesabaran dan ketekunan. “Allah itu tidak tidur. Allah itu Maha Adil,” ucapnya penuh
keyakinan.
Di akhir
wawancara, Ayu memberikan pesan kepada anak-anak muda yang ingin berkarya namun
masih takut melangkah.
“Nek wis
kadung njegur, yo wis menisan teles,” tuturnya. Jika sudah terjun, maka basahlah
sekalian. Jangan setengah hati. Dunia seni akan selalu memiliki risiko, apalagi
seni di Banyuwangi. Ayu pun memberi nasihat untuk lebih berhati-hati
karena dunia seni itu tajam. Sesuai pengalamannya, teman itu bisa menjadi
lawan. Percaya tidak percaya, Banyuwangi merupakan gudangnya mistis bahkan sampai
saat ini. “Kalau ada teman yang tidak suka, kalau kita tidak punya ‘pagar’ itu
bisa melukai secara tidak kasat mata,” terangnya.
Ayu
Wardina tumbuh dalam dua ruang, yakni panggung dan kelas. Melalui keduanya ia
menemukan jati diri sebagai seniman Banyuwangi yang tidak hanya tampil di atas
panggung, tetapi juga berjalan jauh membawa budayanya ke dunia yang lebih luas.
Ia merantau bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk pulang dengan lebih
banyak hal yang bisa ia banggakan.
Gadis
berusia 22 tahun itu merantau untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang guru bahasa
Jawa, profesi yang baginya bukan sekadar pekerjaan, tetapi cara untuk menjaga
estafet budaya leluhur agar tetap hidup di masa depan. Kelak, ia ingin berdiri
di depan kelas dengan bangga dan menyalurkan segenap ilmu yang telah ia peroleh
untuk anak-anak didiknya.
Kepada
anak-anak muda yang masih ragu melangkah, Ayu mengingatkan bahwa keberanian
tidak lahir dari rasa aman, melainkan dari tekad meninggalkan zona nyaman. Jangan
takut pada proses, jangan gentar pada cemoohan. Pengalaman adalah kunci
terbesar dalam hidup dan hidup terlalu luas untuk dijalani dengan rasa takut. Bagi
Ayu, pengalaman itulah yang kelak menjadi memori paling berharga untuk diceritakan
kepada anak cucu.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?