Banner Iklan

Dari Tanah Osing ke Kota Pahlawan: Jejak Perjuangan Ayu Wardina Menghidupkan Seni dan Pendidikan

Admin JSN
21 November 2025 | 21.20 WIB Last Updated 2025-11-21T14:20:08Z

 

FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Kereta jurusan Banyuwangi-Surabaya itu melaju pelan ketika Ayu Wardina membuka mata. Di pangkuannya masih tergeletak selendang kuning yang ia kenakan untuk manggung semalam. Pagi itu, sebagian besar mahasiswa masih terlelap, sementara Ayu sudah berada di perjalanan panjang menuju Surabaya, bersiap kembali mengikuti perkuliahan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, UNESA.

Di perantauan, ia adalah mahasiswa yang harus mengejar tugas dan menghadiri kuliah. Tapi di kampung halamannya, ia adalah penari janger, sinden muda, model, dan pegiat seni yang hidup dari panggung ke panggung. Dua dunia itu berjalan bersamaan, dan Ayu menjadi penghubung yang tidak kenal lelah.

Ayu mendeskripsikan dirinya dalam tiga kata: menari, menyanyi, berekspresi. Dunia seni sudah dikenalnya bahkan sebelum ia masuk PAUD. Ayahnya adalah seorang penari Jaranan Buto. Dari kecil Ayu sudah akrab mendengarkan suara gamelan, menonton rekaman jaranan, dan menirukan gerakan para pemain di televisi. Ia tidak malu menari di depan rumah, padahal halaman rumahnya langsung berhadapan dengan jalan raya.

Sang Ibu sering merekam Ayu menyanyikan lagu-lagu daerah Banyuwangi, padahal saat itu umurnya masih balita. Ketika anak seusianya masih menyenandungkan lagu anak-anak, Ayu justru menyukai repertoar khas sinden dewasa. Di samping itu, sejak TK, Ayu selalu ditempatkan di formasi terdepan dalam lomba menari. Kecintaan itu tumbuh tanpa paksaan, dan bakatnya menonjol lebih cepat daripada usianya.

Keputusan bergabung sebagai penari Janger di Krishna Buana datang saat Ayu duduk di kelas 9 SMP. Salah satu seniman senior yang ia idolakan mengajaknya bergabung. Awalnya ia merasa takut, sebab sama halnya dengan wayang, dunia janger identik dengan pertunjukan semalam suntuk, mulai selepas isya hingga menjelang subuh. Stigma negatif terhadap perempuan yang bekerja malam masih kuat, terlebih laki-laki dan perempuan bersiap di satu tenda yang sama.  Orang tuanya sempat tidak memberi restu karena khawatir. Namun, setelah melihat keseriusannya, izin itu akhirnya diberikan. Sejak itu panggung janger menjadi salah satu rumah ekspresi bagi Ayu.

Jauh sebelum menggeluti janger, Ayu sudah punya pengalaman seni tak terlupakan. Pada 17 November 2012, ia terpilih mengikuti pagelaran perdana Gandrung Sewu—event megah tahunan Banyuwangi yang melibatkan lebih dari seribu penari. Yang membekas baginya adalah kenyataan bahwa ia dan ayahnya sama-sama tampil di event itu, tetapi baru saling mengetahui menjelang pertunjukan berakhir. Ayu sebagai penari gandrung dan ayahnya sebagai pemain jaranan buto. Momen itu menjadi sebuah kejutan yang membekas kuat bagi seorang anak yang sedang membangun kepercayaan diri di dunia seni.

Perjalanan karier Ayu tidak selalu mulus. Ia pernah dikeluarkan dari komunitas jaranan buto tempat ia dan ayahnya bergabung, hanya karena ada orang yang tidak menyukainya. Ia dicemooh, diprediksi tidak akan menjadi apa-apa setelah keluar dari komunitas tersebut. Namun, Ayu justru menjadikan cemoohan itu sebagai motivasi. Ia mengikuti les vokal privat selama tiga tahun, mewakili sekolahnya dalam FLS2N, menang, dan menggunakan piagam itu untuk masuk SMA pilihannya. Menurut Ayu, pencapaian itu menjadi bukti bahwa bakat dan kerja keras jauh lebih berharga daripada opini lingkungan yang toksik.

Masa paling berat datang dari seseorang yang ia anggap sahabat sendiri. Ayu dan keluarganya pernah difitnah melakukan praktik mistis “santet” yang membuat sahabatnya sakit. Fitnah itu menyebar cepat, merusak nama baik keluarganya, hingga membuat kepala desa turun tangan. Produser musik turut diprovokasi agar tidak mengajak Ayu manggung lagi. Ia dikucilkan teman-temannya, kariernya terancam, dan ibunya hampir melapor ke polisi atas dasar pencemaran nama baik. Ayu melewatinya dengan mental yang koyak, tetapi ia mampu bertahan dan memilih fokus pada karya serta pendidikan.

Bagi Ayu, Banyuwangi adalah identitas yang tidak akan hilang meski ia merantau jauh. Ia menjelaskan bahwa Banyuwangi adalah rumah bagi Suku Osing dengan budaya yang berbeda dari Jawa maupun Bali. Karakter budayanya kuat, tradisi leluhur dijaga ketat, dan masyarakatnya bangga menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan. Ia menuturkan sebuah ungkapan realistis, “Banyuwangi iki ditinggal ngangeni, ditunggoni gak sugih-sugih”—ditinggal membuat rindu, tapi kalau menetap tak banyak perkembangan. Oleh sebab itu, banyak anak Banyuwangi memilih merantau, termasuk Ayu.

Setelah lulus SMA, Ayu memilih Surabaya sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Pada awal perkuliahan, ia bolak-balik Banyuwangi–Surabaya hampir setiap akhir pekan karena homesick. Perjalanan enam hingga tujuh jam itu melelahkan, tetapi ia jalani. Kini ia pulang sebulan sekali, kecuali bila ada job “besar” yang juga menanggung transportasi.

Di sela kuliah, Ayu tetap menari, menyanyi, mengambil job event kampus maupun acara pemerintahan, hingga membuat konten YouTube. Konten musiknya di YouTube dimulai sejak pandemi karena job-job yang biasa dijalaninya harus terpaksa berhenti; dan dari sanalah penghasilan tambahan mengalir. Sebagian uangnya digunakan membeli peralatan produksi. Sebuah investasi kecil dari ketekunan seorang pemuda yang tumbuh lewat seni.

Kiprahnya di kampus tak kalah menonjol. Ia terpilih menjadi Nimas Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa setelah ditunjuk sebagai delegasi kelas. Capaian itu bukan hanya soal penampilan fisik, melainkan rekam jejak, kemampuan seni, dan wawasan budayanya. Sesi wawancara adalah momen paling emosional baginya, ketika dosen-dosen bertanya, “Apa yang ingin kamu lakukan untuk jurusan ini?” Ayu menjawab dengan mantap bahwa dengan aspirasi yang lahir dari pengalamannya, ia ingin menghidupkan ruang seni dan budaya bukan dari teori semata.

Ketika ditanya siapa yang paling berjasa dalam kiprahnya, Ayu tanpa ragu menyebut dua kata “orang tua”. Ibu dan ayahnya rela mengeluarkan biaya besar untuk kostum dan latihan privat sejak Ayu kecil. “Uang yang kukeluarkan untuk membelikan kostum anakku suatu saat akan kembali,” begitu ibunya selalu berkata. Ayu mengakui bahwa tanpa dukungan itu, ia tidak akan menjadi seperti sekarang. Ayu tahu itu bukan sekadar kalimat, itu sebuah kepercayaan—hingga terbukti saat ini ia bisa berpenghasilan sendiri. Selain orang tua, sang kekasih turut berperan besar dalam membangun kepercayaan dirinya, terutama dalam dunia tarik suara dan per-sinden-an.

Tentang mimpi masa depan, Ayu bersikap realistis. Ia ingin menjadi guru bahasa Jawa dengan gaji yang stabil, tetapi tetap aktif berkesenian. Baginya, seni dan pendidikan adalah dua jalan yang ingin ia tempuh bersamaan. Ia ingin membalas perjuangan orang tuanya dan membuktikan bahwa semua biaya, tenaga, dan waktu yang mereka keluarkan untuknya tidak sia-sia. Ia juga ingin menunjukkan pada orang-orang yang pernah menjatuhkannya bahwa keberhasilan bisa lahir dari kesabaran dan ketekunan. “Allah itu tidak tidur. Allah itu Maha Adil,” ucapnya penuh keyakinan.

Di akhir wawancara, Ayu memberikan pesan kepada anak-anak muda yang ingin berkarya namun masih takut melangkah.

“Nek wis kadung njegur, yo wis menisan teles,” tuturnya. Jika sudah terjun, maka basahlah sekalian. Jangan setengah hati. Dunia seni akan selalu memiliki risiko, apalagi seni di Banyuwangi. Ayu pun memberi nasihat untuk lebih berhati-hati karena dunia seni itu tajam. Sesuai pengalamannya, teman itu bisa menjadi lawan. Percaya tidak percaya, Banyuwangi merupakan gudangnya mistis bahkan sampai saat ini. “Kalau ada teman yang tidak suka, kalau kita tidak punya ‘pagar’ itu bisa melukai secara tidak kasat mata,” terangnya.

Ayu Wardina tumbuh dalam dua ruang, yakni panggung dan kelas. Melalui keduanya ia menemukan jati diri sebagai seniman Banyuwangi yang tidak hanya tampil di atas panggung, tetapi juga berjalan jauh membawa budayanya ke dunia yang lebih luas. Ia merantau bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk pulang dengan lebih banyak hal yang bisa ia banggakan.

Gadis berusia 22 tahun itu merantau untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, profesi yang baginya bukan sekadar pekerjaan, tetapi cara untuk menjaga estafet budaya leluhur agar tetap hidup di masa depan. Kelak, ia ingin berdiri di depan kelas dengan bangga dan menyalurkan segenap ilmu yang telah ia peroleh untuk anak-anak didiknya.

Kepada anak-anak muda yang masih ragu melangkah, Ayu mengingatkan bahwa keberanian tidak lahir dari rasa aman, melainkan dari tekad meninggalkan zona nyaman. Jangan takut pada proses, jangan gentar pada cemoohan. Pengalaman adalah kunci terbesar dalam hidup dan hidup terlalu luas untuk dijalani dengan rasa takut. Bagi Ayu, pengalaman itulah yang kelak menjadi memori paling berharga untuk diceritakan kepada anak cucu.

---

Meydiana Dyah Pramesty
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dari Tanah Osing ke Kota Pahlawan: Jejak Perjuangan Ayu Wardina Menghidupkan Seni dan Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now