FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Pagi-pagi sekali, sebelum matahari muncul sempurna, aroma nasi hangat dan sambal terasi sudah tercium dari sudut Pasar Lawang. Dari lapak kecil sederhana, ibuku berdiri melayani pembeli — senyum di wajahnya tak pernah hilang, meski peluh bercucuran di dahi.
Aku tumbuh di antara wangi nasi dan hiruk pikuk pasar. Setiap butir nasi yang dijual ibu menyimpan cerita perjuangan, cinta, dan harapan. Dari situlah aku belajar arti kerja keras dan ketulusan.
Sejak lama, aku punya mimpi untuk kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Aku tahu, mimpi itu besar — terlalu besar, mungkin, untuk anak dari seorang penjual nasi di pasar tradisional. Tapi aku tetap berusaha.
Tahun pertama, aku ikut tes SBMPTN. Hari-hariku diisi belajar tanpa henti, begadang demi menghafal materi. Namun, ketika pengumuman tiba, namaku tidak ada di daftar kelulusan. Aku gagal. Rasanya hancur. Tapi ibuku menatapku dengan lembut dan berkata, 'Namanya juga berjuang, Nak. Kalau gagal sekali, bukan berarti kamu berhenti.'
Aku mencoba lagi. Tes di kampus lain, daftar di beberapa universitas, tapi hasilnya tetap sama. Gagal. Semangatku sempat redup, tapi ibuku tak pernah menyerah.
‘Kalau jalur mandiri, Ibu usahain. Kamu fokus belajar aja,’ katanya sambil menyiapkan nasi bungkus untuk pelanggan.
Aku tahu, biaya jalur mandiri itu tidak sedikit. Tapi ibu benar-benar berjuang. Ia menambah jam jualan, menerima pesanan nasi bungkus, bahkan melayani hajatan kecil di kampung. Semua dilakukan demi satu hal: agar aku bisa kuliah.
Dan akhirnya, lewat jalur mandiri, aku resmi diterima di Universitas Negeri Surabaya. Saat membaca pengumuman itu, aku langsung menangis dan memeluk ibu erat-erat. Kami menangis bersama — bukan karena sedih, tapi karena bahagia dan lega.
Kini, kehidupan kami berubah. Ibu tidak lagi berjualan di Pasar Lawang. Usahanya berkembang menjadi usaha wisata kolam pancing dan warung makan sendiri. Dari lapak kecil di pasar, kini ibu punya tempat yang ramai dikunjungi banyak orang.
Setiap kali aku pulang kuliah, aku selalu melihat ibu tersenyum di warungnya. Senyum yang dulu menguatkanku saat gagal, senyum yang jadi sumber semangatku untuk terus melangkah.
Kalau bukan karena ibu, mungkin aku sudah menyerah di tengah jalan. Kini,
setiap kali aku mengenakan jas almamater Unesa, aku tahu — keberhasilanku bukan
hanya milikku. Itu hasil dari cinta, keringat, dan doa seorang ibu penjual nasi
dari Pasar Lawang yang tak pernah berhenti bermimpi untuk anaknya.
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?