FEATURE | JATIMSATUNEWS.COM - Suara tawa anak-anak menggema di Aula SDN Pagerejo, Gedeg,
Mojokerto pada Senin (14/10/2024). Ratusan siswa duduk rapi, matanya fokus ke
layar proyektor yang menayangkan video pendek tentang pentingnya menghentikan bullying.
Dalam video itu, seorang anak kerap diejek hingga akhirnya teman-temannya
menyadari kesalahan dan meminta maaf.
Perlahan, suasana yang semula riuh berubah hening. Beberapa siswa menunduk, seolah ikut merasakan perasaan tokoh dalam video. Begitulah awal kegiatan “Gerakan Cap Tangan Anti-Bullying”, program hasil inisiatif mahasiswa Kampus Mengajar (KM) di sekolah ini. Kegiatan ini dikemas dengan cara menyenangkan agar pesan tentang menghargai sesama bisa lebih mudah dipahami anak-anak.
Setelah video berakhir, Aurelia, salah satu mahasiswa Kampus
Mengajar maju ke depan. “Menurut kalian, apa itu bullying?” tanyanya. Beberapa
tangan kecil terangkat cepat. “Kalau mengejek teman,” jawab seorang siswa kelas
lima. “Atau tidak mau berteman,” sambung
yang lain.
Jawaban polos itu membuka diskusi ringan tapi bermakna.
Mahasiswa KM menjelaskan bahwa bullying bukan sekadar memukul, tapi juga bisa
berupa ejekan, pengucilan, atau kata-kata yang menyakiti.
Suasana aula sekolah menjadi hidup. Anak-anak antusias
menanggapi, sementara guru-guru tersenyum melihat siswa mereka mulai memahami
arti empati. Di balik tawa, terselip pesan penting bahwa setiap anak berhak
merasa aman dan diterima di sekolah.
Setelah sesi sosialisasi, para siswa diarahkan ke bagian
sekolah dengan sebuah dinding besar bercat putih polos. Di depannya, beberapa
wadah cat warna-warni sudah disiapkan. Warna merah, kuning, biru, dan hijau
menciptakan nuansa ceria sejak pandangan pertama.
Satu per satu siswa memberikan tangannya untuk diberikan
cat, lalu menempelkannya ke dinding. Tawa dan tepuk tangan menyertai setiap cap
tangan yang menempel. Mereka merasa senang akan hasil cap tangannya di dinding.
Guru dan mahasiswa KM turut menempelkan tangan mereka.
Bahkan Kepala Sekolah, Ibu Djarokah, S.Pd., ikut memberikan cap tangannya ke
dinding. Dinding putih itu pun berubah menjadi “Tembok Komitmen Anti-Bullying”
dengan warna-warna yang menyimbolkan keberagaman dan janji bersama untuk
berbuat baik.
Dalam sambutannya, Ibu Djarokah menyampaikan rasa bangga
terhadap kegiatan ini. “Kami sangat mendukung kegiatan yang mengajarkan
anak-anak menghargai perbedaan lewat cara yang menyenangkan,” ujarnya. Beliau
menambahkan bahwa kegiatan tersebut sejalan dengan visi sekolah untuk membentuk
karakter positif, karena tidak hanya menekankan kecerdasan akademik, tetapi
juga menumbuhkan empati dan kebaikan hati sejak dini.
Bagi pihak sekolah, upaya mencegah bullying bukan hanya
kampanye sesaat, melainkan tanggung jawab bersama seluruh warga sekolah.
Beberapa hari setelah kegiatan, perubahan mulai terlihat. Guru mendapati siswa
lebih berhati-hati dalam berbicara dan berinteraksi. Mereka mulai meminta maaf
jika menyadari salah ucap.
Seorang siswa kelas tiga mendatangi salah satu mahasiswa KM
dengan malu-malu, “Kak, aku sudah minta maaf ke temanku karena dulu sering
mengejek dia.” Kalimat sederhana itu menjadi bukti nyata dampak kegiatan ini.
Dari sekadar cap tangan, tumbuh kesadaran baru di hati anak-anak. Selain
perubahan sikap, dinding penuh warna itu kini menjadi ikon baru sekolah. Setiap
kali siswa lewat, mereka bisa melihat cap tangan mereka sendiri. Pengingat
kecil akan janji yang pernah diucapkan.
Bagi kami, mahasiswa penggagas kegiatan ini, setiap cap
tangan menyimpan makna mendalam. Di balik warna-warni cat, ada semangat
kebersamaan dan kesadaran bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Kami
sadar, berbicara soal bullying bukan hal mudah, apalagi untuk anak-anak sekolah
dasar. Tapi lewat cara yang kreatif, mereka bisa memahami tanpa merasa digurui.
Kegiatan ini bukan hanya soal seni atau dekorasi, tapi
tentang membangun budaya saling menghormati. Tentang membuat anak-anak berani
berkata “tidak” pada kekerasan, dan berani berkata “maaf” saat salah. Dinding
cap tangan mungkin akan memudar seiring waktu, tapi nilai yang tertanam di hati
anak-anak semoga tetap teringat.
Kami menyadari, keberhasilan kegiatan ini bukan diukur dari
ramainya acara, tetapi dari benih kebaikan yang mulai tumbuh di antara siswa.
Kini, setiap kali kami melewati dinding penuh warna itu, kami tidak hanya
melihat cat dan dinding putih saja, tapi juga semangat yang tumbuh dari
kebersamaan.
Gerakan Cap Tangan Anti-Bullying telah menjadi lebih dari sekadar proyek. Program ini telah menjadi simbol kecil bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang kelas, dari tangan-tangan kecil yang berani berjanji untuk berbuat baik.
---
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?