Senator DPD RI Lia Istifhama Gerah dengan Human Trafficking yang Tak Kunjung Reda, “Tenaga Kerja Kita Bukan Obyek Kejahatan”
JAKARTA | JATIMSATUNEWS.COM: Keprihatinan muncul dari Senayan, kalangan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) miris marak kasus perdagangan manusia dan kerja paksa yang menimpa pencari kerja, termasuk warga negara Indonesia (WNI). Salah satu yang paling vokal dalam menyikapi persoalan ini adalah Senator Lia Istifhama, yang dengan tegas menyatakan bahwa tenaga kerja Indonesia bukanlah objek kejahatan lintas negara.
“Tenaga kerja kita bukan obyek kejahatan. Mereka adalah manusia yang mencari nafkah dengan niat baik, bukan untuk diperjualbelikan atau diperlakukan tidak manusiawi,” ujar Lia Istifhama.
Pernyataan ini disampaikan oleh Lia menanggapi laporan baru dari Amnesty International Indonesia yang mengungkap bahwa ribuan pencari kerja — termasuk WNI — telah menjadi korban perbudakan, kerja paksa, dan penyiksaan di kompleks-penipuan daring di Kamboja.
Laporan Amnesty yang berjudul “I Was Someone Else’s Property” mengungkap bahwa selama riset 18 bulan, organisasi ini mengunjungi sedikitnya 53 kompleks penipuan online di Kamboja yang tersebar di 16 kota.
Para penyintas dari berbagai negara — termasuk Indonesia — menceritakan bagaimana mereka dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, fasilitas hotel, bahkan kolam renang, namun kenyataannya dipaksa melakukan penipuan online, dikurung, paspornya disita, dan mengalami kondisi yang layaknya perbudakan.
Salah seorang penyintas asal Indonesia, yang dalam laporan diganti nama menjadi “Daniel*”, mengaku: “Tolong saya… saya tidak bisa tidur.”
Ia pernah berada di kompleks yang disebut “KK01” di Provinsi Koh Kong, Kamboja.
Dari 58 penyintas yang diwawancara, 40 di antaranya mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.
Laporan juga menyebutkan bahwa otoritas Kamboja tahu keberadaan kompleks-kompleks tersebut, namun gagal atau enggan untuk menutup dan mengusut tuntas kasus-kasusnya.
Menanggapi laporan tersebut, Lia Istifhama menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal pekerja migran atau tenaga kerja ekspor — melainkan soal harga diri bangsa dan kedaulatan negara.
Ia menyampaikan beberapa poin penting:
- Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat edukasi pra-penempatan bagi calon pekerja luar negeri, terutama yang berasal dari daerah dengan kondisi ekonomi rentan.
- Pengawasan terhadap perekrutan tenaga kerja luar negeri harus diperketat: mulai dari agensi, media sosial yang menawarkan pekerjaan, hingga mekanisme verifikasi.
- Bangun kerjasama bilateral dan regional yang lebih kuat dengan negara-tujuan, dalam hal ini Kamboja, agar pelaku kejahatan lintas negara seperti ini dapat ditindak tegas.
- Pastikan korban yang berhasil dievakuasi mendapat pendampingan, perlindungan hak asasi manusia, dan pemulihan — bukan justru diperlakukan sebagai imigran ilegal atau bahkan sebagai tersangka.
“Kita tidak bisa hanya berhenti pada level himbauan. Pemerintah harus memastikan ada mekanisme pencegahan dan perlindungan nyata bagi calon pekerja migran,” katanya.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana kebutuhan ekonomi melahirkan kerentanan: banyak pencari kerja yang tergiur dengan tawaran pekerjaan bergaji tinggi di luar negeri tanpa melakukan verifikasi memadai. Modus penipuan pun makin profesional, memanfaatkan media sosial, jaringan internasional, dan kelemahan pengawasan di negara-tujuan.
Laporan Amnesty menunjukkan bahwa selain eksploitasi tenaga kerja, terdapat juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia: kerja paksa, penyiksaan, bahkan kematian.
Menurut Ning Lia, tantangan terbesar adalah memastikan implementasi kebijakan sesuai dengan hati nurani bangsa — bukan hanya sekadar administratif.-lembaga seperti Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Luar Negeri mengambil peran lebih aktif bersama DPR/DPD.
“Jangan tunggu kasus berikutnya muncul. Setiap laporan harus direspons dengan langkah konkret. Warga negara Indonesia di mana pun berada harus merasa dilindungi oleh negaranya,” tuturnya.
Laporan Amnesty mengungkapkan dengan gamblang betapa sistemik dan mengerikannya praktik perdagangan manusia dan kerja paksa di balik iklan pekerjaan luar negeri. Suara Senator Lia Istifhama menegaskan: bangsa Indonesia tidak boleh menjadi penonton saat warganya menjadi korban kejahatan lintas negara. Negara harus hadir sebagai pelindung — bukan hanya sebagai fasilitator.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?