Banner Iklan

Hari Santri di Tengah Arus Hegemoni Pesantren Era Digital

Admin JSN
22 Oktober 2025 | 12.04 WIB Last Updated 2025-10-22T08:11:08Z

 


Hari Santri di Tengah Arus Hegemoni Pesantren Era Digital

Oleh: Muhamad Asrori, S.Ag, M.Pd

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM:

Tanggal 22 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Momentum ini bukan sekadar seremoni mengenang perjuangan santri tempo dulu, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana santri hari ini menghadapi tantangan zaman—terutama di tengah arus deras digitalisasi dan hegemoni media sosial yang mengubah wajah kehidupan beragama, sosial, dan pendidikan di pesantren.

Hari Santri berakar dari resolusi jihad yang digelorakan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Seruan itu menandai bahwa santri bukan hanya ahli ibadah, tapi juga pejuang kemerdekaan yang menjunjung tinggi nilai cinta tanah air. Maka, Hari Santri menjadi simbol identitas nasional “bahwa nilai religius dan nasionalisme dapat berjalan seiring”.

Namun, makna santri tak berhenti pada masa perjuangan fisik. Di era globalisasi digital, santri ditantang untuk berjuang di “medan baru”: dunia informasi. Di sini, hegemoni bukan lagi penjajahan bersenjata, melainkan dominasi arus informasi dan ideologi melalui media digital, barangkali ada terselip melalui media tersebut sisipan radikalisme.

Pesantren sejak dulu dikenal sebagai subkultur yang mandiri. Kyai sebagai figur sentral menjadi penjaga nilai, santri menjadi penerus ajaran, dan kitab kuning menjadi sumber keilmuan. Namun, kini muncul dinamika baru: media sosial dan teknologi digital turut membentuk cara berpikir, cara belajar, dan bahkan cara beragama.

Dalam konteks ini, pesantren menghadapi hegemoni baru, yakni dominasi nilai dan budaya global yang sering kali bertentangan dengan tradisi lokal dan etika pesantren. Santri kini tidak hanya berguru kepada kyai, tetapi juga kepada “Mbah Google” dan “Ustaz TikTok”. Fenomena ini menghadirkan peluang sekaligus ancaman.

Pesantren yang adaptif terhadap digitalisasi mampu menampilkan wajah Islam yang moderat, cerdas, dan komunikatif. Namun pesantren yang gagap teknologi berisiko tertinggal, bahkan kehilangan pengaruh di tengah masyarakat yang kini lebih percaya pada narasi yang viral daripada yang valid.

Santri generasi milenial dan Gen Z hari ini lahir di tengah dunia yang serba terkoneksi. Mereka memegang gawai lebih sering daripada kitab. Tapi justru di sinilah peluang itu hadir: santri bisa menjadi “da’i digital” yang menebarkan nilai rahmatan lil ‘alamin lewat konten yang santun, edukatif, dan inspiratif.

Beberapa pesantren kini sudah mulai membangun studio dakwah digital, mengajarkan literasi media, hingga melatih santri membuat konten dakwah kreatif. Dari sinilah lahir wajah baru santri: bukan hanya ahli mengaji, tapi juga kreator nilai penggerak perubahan yang tetap berakar pada adab dan sanad keilmuan.

Di tengah derasnya arus informasi, peran kyai menjadi semakin penting. Jika dulu kyai hanya menjadi pemimpin spiritual di pesantren, kini beliau juga diharapkan menjadi penjaga moral di ruang digital. Nasihat, dawuh, dan keteladanan kyai bisa menjadi penuntun agar santri tidak hanyut dalam euforia dunia maya.

Kyai dan ustaz perlu hadir dalam ruang digital sebagai mursyid virtual menyapa umat lewat podcast, video pendek, atau forum daring yang membumikan ilmu-ilmu pesantren dengan bahasa kekinian. Dengan demikian, hegemoni pesantren tidak hilang, tetapi justru meluas melalui jejaring digital.

Hari Santri mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak selalu berbentuk pertempuran fisik. Di era digital, perjuangan terbesar adalah menjaga keaslian nilai di tengah arus informasi yang menyesatkan. Santri harus menjadi penjaga moral publik, bukan korban dari arus globalisasi nilai. Santri digital idealnya memiliki tiga kekuatan; Kekuatan ilmu, agar bijak dalam memilah informasi; Kekuatan adab, agar sopan dalam bermedia; Kekuatan spiritual, agar selalu berpegang pada nilai illahiah. Membangun profil santri yang ideal dari tiga pilar tersebut akan membentuk santri yang mempunyai kompetensi yang layak di era komunikasi informasi yang tak terbatas ini.

Di tengah hegemoni digital yang kian masif, pesantren tetap menjadi mercusuar peradaban. Hari Santri bukan sekadar nostalgia, tetapi momentum untuk memperkuat identitas keislaman yang beradab dan kebangsaan yang berkeadaban. Santri hari ini harus berani mengambil peran: menjadi penjaga nilai, pembelajar sepanjang hayat, sekaligus pejuang literasi digital yang mengusung pesan damai dari pesantren untuk dunia. Selamat Hari Santri 22 Oktober 2025. Dari pesantren, untuk peradaban dunia.

)* Ketua Ranting NU Lowokwaru Tawangrejeni Turen


Penulis :

Muhamad Asrori, S.Ag, M.Pd



Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hari Santri di Tengah Arus Hegemoni Pesantren Era Digital

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now