Keduwung Puspo, Negeri Tanpa Hape yang Hidupkan Semangat Pancasila
PASURUAN | JATIMSATUNEWS.COM: Desa Keduwung, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan, menjadi desa ketujuh yang mendapat giliran penilaian dalam ajang Lomba Kampung Pancasila Kabupaten Pasuruan 2025, Senin (1/9/2025). Desa yang berada di balik punggung kawasan Penanjakan (tempat tertinggi menuju Gunung Bromo). Menghadirkan banyak keistimewaan, mulai dari tradisi, kerukunan, hingga kehidupan masyarakatnya yang sederhana tanpa bergantung pada gawai.
Tim juri yang hadir antara lain Plt Kasi Poldagri Titin dari Kesbangpol, Ahmad Bayhaqi Kadmi atau Gus Bay Ketua FPK (Forum Pembauran Kebangsaan) Kabupaten Pasuruan sekaligus kader JPM Kader JPM (Jejaring Pancasila Mandala) BPIP ( Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Sekretaris Pokja 3 Ayu dan Indah Agung dari PKK Kabupaten.
Dalam presentasi, Kepala Desa Keduwung, Urip Pani, menegaskan bahwa desanya telah lama hidup dengan semangat Pancasila.
“Sebagai Kampung Pancasila, kami sudah ada sejak dulu. Keduwung adalah desa tertua di seluruh Tengger, tempat pertemuan dukun dan pandito dari empat kabupaten,” ungkapnya.
Kearifan lokal tampak dari tradisi yang terus dijaga, mulai dari perayaan Karo hingga Kasodo.
“Karo itu sama halnya dengan Lebaran. Di sini kita saling rukun. Desa Keduwung dan Krajan tidak pernah unjuk rasa. Semua diselesaikan dengan musyawarah, kerja bakti, dan gotong royong,” tambahnya.
Urip juga mengenang momen saat warga menolong pesawat jatuh di wilayahnya.
“Semua warga bergerak membantu tanpa ada yang meminta bayaran. Karena itu, kami diakui sebagai keluarga besar Lanud. 200 warga mendapat penghargaan. Inilah bukti gotong royong dan keikhlasan masyarakat Keduwung,” tuturnya.
Kepala desa menegaskan, Keduwung dikenal aman dan tenteram.
“Kami tidak pernah punya persoalan kriminal. Tidak ada warga yang dihukum karena mencuri, apalagi merampok. Pernah ada orang luar mencuri sepeda, tidak sampai setahun kemudian meninggal. Masyarakat percaya, tanah di sini menolak perbuatan buruk,” ujarnya.
Ia menambahkan, desa juga tegas menolak narkoba.
“Bagi kami, narkoba itu mahal, lebih baik uangnya dipakai beli beras. Daripada melanggar hukum, lebih baik patuh pada hukum. Kalau ada pencuri, malah kami beri uang dan beras, supaya sadar dan tidak mengulang,” terang Urip.
Seiring pembangunan infrastruktur, perekonomian Keduwung meningkat pesat.
“Kami adalah desa pertama yang membangun jalan menuju Krajan. Kini hampir tiap tahun dana desa mendukung paving dan pembangunan infrastruktur, dengan nilai miliaran rupiah,” jelas Urip.
Keduwung dikenal sebagai penghasil kentang, jagung, kopi, cabai, dan jambuwer. Sayur-mayur khas seperti terong londo dan terong jowo menjadi komoditas unggulan. Meski begitu, desa ini masih kekurangan sumber mata air saat kemarau.
Dari sisi budaya, Keduwung kaya dengan seni tradisi. Musik ketipung dan kotek’an masih lestari, begitu juga dengan tarian khas seperti Ujung dan Sogo. Ritual adat juga terus dilaksanakan, terutama pada bulan Karo.
Salah satu keunikan Keduwung adalah kehidupan masyarakatnya yang jauh dari ketergantungan pada teknologi. Ini karena ketinggian lokasi yang susah dicapai, sehingga BTS juga tak nampak .
Warga Keduwung di area menuju lokasi Pura
Sebuah tempat yang juga disebut orang sebagai Negeri di atas awan karena sering hanya nampak kabut menyelimuti.
“Di sini banyak warga tidak punya hape. Karena sinyal sulit, kami tidak butuh hape. Malah ada yang bilang hape itu tempat jin dan setan. Yang punya bisa dihitung dengan jari,” kata Urip sambil tersenyum.
Sebagai gantinya, tradisi silaturahmi langsung tetap terjaga. Warga lebih memilih datang langsung ke rumah untuk menyapa, mengajak bicara, atau saling memaafkan. “Itulah cara kami menjaga persaudaraan,” imbuhnya.
Gus Bayhaqi menyampaikan kebanggaannya atas semangat toleransi di Keduwung.
“Saya teringat lagu ciptaan A. Rianto, dalam album Nusantara yang dinyanyikan Jamal Mirdad, menghormati saling menghormati, saling menghargai hak asasi. Saya bangga, Pancasila berkembang begitu murni di desa ini. Konsep toleransi adalah inti penilaian. Ada masjid, ada pura, dan keduanya hidup rukun berdampingan,” ungkapnya.
Menurut Gus Bay, penilaian memang merujuk utama pada dekorasi atau simbol Pancasila, akan tetapi ketulusan gotong royong dan cerita sejarah yang unik juga menjadi poin penting.
Usai pemaparan, tim juri diajak mengunjungi Pura Sapta Kumba Nala atau Sapta Kumba Mela dan berfoto bersama di depan kantor desa yang dihias gapura dari janur.
Salah seorang peserta rombongan dari Kecamatan Puspo Khoirul bahkan berkomentar, “Seperti gebyok pernikahan Luna Maya. Asli janur.”
Dengan kerukunan, kearifan lokal, serta kehidupan masyarakat yang tulus menjaga tradisi, Desa Keduwung menjadi potret nyata bahwa Pancasila bukan hanya slogan, melainkan telah menjadi warisan hidup dalam keseharian warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?