![]() |
Lia Istifhama, Anggota DPD RI Prov. Jatim yang turut hadir sebagai narasumber pada Workshop Menulis Esai dan Launching Buku Seribu Satu Suara Hati Guru (Ketika Hukum Mengancam)./Dok. JSN-ANS |
MALANG | JATIMSATUNEWS.COM - Anggota DPD RI Provinsi Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, MEI., turut hadir sebagai narasumber Workshop Menulis Esai dan Launching Buku Seribu Satu Suara Hati Guru (Ketika Hukum Mengancam).
Agenda literasi tingkat kota dan kabupaten Malang ini dihelat pada Jumat (1/8) siang WIB di Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh, Kota Malang.
Deretan narasumber termasuk Senator Lia Istifhama hadir pada agenda literasi yang mengangkat tentang pendidikan, guru, dan tawaduk.
Ning Lia--sapaannya--mendapat kesempatan menyampaikan materinya usai mendapat pertanyaan dari Anis Hidayatie selaku salah satu pemandu workshop.
"Saya berterima kasih mendapat kesempatan hadir pada acara ini yang menurut saya adalah momentum yang bukan hanya tentang 1001 suara hati guru tapi juga 1001 suara hati orang tua. Bahkan sebetulnya bukan 1001 lagi, karena itu sebuah kiasan. Pada kenyataannya, semua orang tua juga pasti memiliki jerit hati yang sama," buka Lia Istifhama, senator yang identik dengan tagline Cerdas Inovatif dan Kreatif (Cantik).
Berbicara tentang kecintaan pada dunia pendidikan, menurut Lia, cakupannya lebih luas dari aspek sebuah profesi seorang guru. Karena, profesi seorang guru akan identik dengan tugasnya mengajar di sebuah lembaga pendidikan.
"Tapi, kita semua ini sama-sama mencintai ilmu. Kalau kita mencintai ilmu, maka kita sama-sama mencintai pendidikan. Dengan demikian, insyaallah jiwa guru akan tetap kita miliki, walaupun seandainya kita bukan profesi guru," imbuhnya.
Lalu, bicara tentang buku Seribu Satu Suara Hati Guru, Lia sempat menyampaikan kepada Anis tentang pengalamannya ketika mengajar TK, SD, SMP, dan mahasiswa kuliah. Hanya SMA yang tidak pernah.
"Dari sana, saya merasakan sekali bagaimana perjuangan seorang guru yang istilahnya 'ngomongnya sakdus, bayarane saksen' (bicaranya banyak tapi upahnya sedikit). Dan itu pernah saya rasakan," bebernya.
Salah satu hal yang menjadi pengalamannya ketika pernah mengajar adalah berhadapan dengan beragam karakter.
Ini membuatnya tetap berusaha sabar karena merasa telah berupaya memberikan yang terbaik kepada murid, tetapi karena ada perbedaan karakter di antara anak-anak didik, maka akan ada yang tidak menerima didikan gurunya dengan baik.
Tantangan guru berdasarkan pengalaman Lia adalah pertama, ketidakpuasan (siswa/wali murid) terhadap gaya mendidik. Kedua, penerimaan siswa yang beragam terhadap pola didik guru.
"Sebagai perwakilan dari DPD di Jawa Timur, saya beberapa waktu lalu juga sempat berbincang mengenai revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, atau UU Sisdiknas," ungkap Lia, keponakan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa.
Menurut pengakuannya, momen tersebut juga pertama kali dihadiri anggota DPD, karena yang sering hadir hanya anggota DPR, menteri, dan wakil menteri.
"Alhamdulillah, kebetulan saya kebagian kuota untuk mewakili DPD, yang kemudian ada beberapa hal yang saya garis bawahi ketika kami membedah UU Sisdiknas," jelasnya.
Salah satu yang menjadi perhatian dalam pembahasan tersebut adalah pemberhentian guru.
Sebelumnya, tidak ada satu pun ruang bagi seorang guru dapat dipecat begitu saja. Sebab, untuk bisa memberhentikan guru perlu banyak tahap.
"Namun, di zaman digital yang membuat beragam kejadian menjadi mudah viral, maka pemberhentian guru juga lebih mudah untuk dilakukan. Bahkan, ketika kesalahannya cenderung kecil tetapi ketika menurut masyarakat sudah salah, maka konsekuensinya adalah pemberhentian," tuturnya.
Bagi Lia, yang disayangkan ketika ada kejadian viral adalah sorotan publik justru mengarah ke profesinya bukan personalnya.
Padahal menurutnya, ketika ada oknum guru atau bahkan ustaz, maka yang perlu disorot adalah orangnya bukan statusnya. "Kenapa harus profesinya yang disorot?"
Kemudian, pada zaman digital ini menurutnya, anak-anak juga bebas menilai guru. Mereka menjadi panelis atas kinerja guru.
Mereka dengan mudah mengatakan jika gurunya tidak memuaskan dalam mengajar, tidak asyik, tidak up to date, terlalu keras dalam mengajar, dan sebagainya. Mereka pun dengan mudah untuk speak up di media sosial tanpa batas. Anak-anak pun menjadi tidak merasa perlu untuk menghargai marwah guru.
"Lalu, kenapa kita ada di sini untuk membahas buku Seribu Satu Suara Hati Guru? Bukankah saat ini kehidupan kita masih menyenangkan? Guru-guru juga masih fun," lanjut Lia untuk memantik hadirin untuk berpikir sejenak.
"Mungkin, saat ini masih terlihat normal dan fun, tapi mungkin tahun depan, 10 tahun, atau 20 tahun mendatang apakah kira-kira profesi guru masih nyaman dan aman? Ini yang pertama, yakni tentang keamanan dalam aspek perlindungan hukum," lanjutnya.
"Kedua, apakah di masa depan profesi guru masih akan diminati oleh generasi mendatang?"
Lia melanjutkan bahwa jangan sampai, orang berpikir menjadi guru ternyata tidak asyik. Seperti, ketika ada masalah sedikit dan viral langsung diberhentikan, lalu pendapatannya juga sedikit.
Jika itu terjadi dan generasi baru merasa profesi tersebut tidak lagi menarik, lantas anak-anak belajar dengan siapa? Inilah yang menjadi kegundahan bagi Lia.
"Perihal seperti inilah yang bagi saya dengan adanya buku Seribu Satu Suara Hati Guru ini juga tidak hanya untuk mewakili keresahan guru tetapi juga untuk mewakili keresahan orang tua. Sebab, sebagai orang tua, saya juga merasa bersyukur ketika anak-anak saya punya orang tua kedua yaitu guru mereka.
"Saya juga berharap para guru tetap teguh dalam tugasnya mendidik anak-anak dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan untuk bermanfaat bagi orang lain. Insyaallah, para pendidik semoga mendapat sedekah kebaikan dari kebaikan yang telah ditanam melalui pengajaran kepada anak-anak dan menjadi investasi pahala," tandasnya.
Apa yang disampaikan Ning Lia menjadi akhir dari sesi pemberian materi para narasumber workshop dan penulisan esai yang pesertanya juga melibatkan guru dan siswa di lokasi.
Acara ini dihadiri sejumlah tokoh penting dari unsur Kemenag, DPD/DPRD, pengurus NU, hingga aktivis pendidikan.
Diantaranya adalah Achmad Shampton S.HI M.Ag (Kepala Kemenag Kota Malang), Drs. Sahid, M.M, (Kepala Kemenag Kabupaten Malang), Dr. Moh Amak Burhanudin MS.I, (Kabid PAIS Kanwil Jatim), Hikmah Bafaqih M.Pd (Wakil Ketua Komisi E DPRD Prov. Jatim), Prof. Amka (Ketua LP Maarif Kabupaten Malang), dan Prof. Dr. Ir. KH. Muhammad Bisri M.S (Pengasuh PP Bahrul Maghfiroh Kota Malang).
Workshop dipandu oleh Wiwin Siswanti dan Anis Hidayatie, guru peraih penghargaan teladan Literasi Jawa Timur, sekaligus penulis buku "Seribu Satu Suara Hati Guru: Ketika Hukum Mengancam". ***
Penulis: YAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?