Banner Iklan

Politik Bejat, Saat Kekuasaan Menjadi Panglima, Rakyat Hanya Tumbal

Anis Hidayatie
30 Agustus 2025 | 08.49 WIB Last Updated 2025-09-01T13:02:16Z


Penulis: Fudhail Najmudin Almuzaki, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

ARTIKEL | JATIMSATUNEWS.COM: Pembayar pajak dipukuli, Penggerogot pajak dilindungi”

Hal itu sudah bukanlah dilema yang langka pada telinga rakyat. Pasalnya, sebuah aksi demonstrasi sudah terkesan sebagai tradisi yang dilakukan turun temurun.

Penindasan terhadap kaum proletar bukanlah masalah serius di mata para elit. Kata “Demokrasi” hanyalah status pencitraan.

Masyarakat semakin lama, semakin dibuat benci oleh kenyataan aksi-aksi para pejabat. Dimana letak masuk akalnya kenaikan gaji para dewan perwakilan sementara masyarakat dibelakangnya kesusahan mencari makan?

Sebagai kaum penuntut reformasi, kita melakukan demo untuk menegaskan lagi pertanyaan letak akal sehat mereka.

Akan tetapi, ternyata keterbelakangan pikiran itu tidak hanya dimiliki para pejabat parlemen, tetapi juga pasukan polisi. Polisi bertingkah seenaknya dengan asumsi bahwa kewenangan mereka dilindungi oleh hukum.

Dalihnya mengkondisikan massa, tapi praktiknya malah menjadi pembunuh. Pada 28 Agustus 2025, seorang ojol (Affan Kurniawan) tewas dalam aksi demonstrasi dengan dilindas oleh mobil BRIMOB.

Peristiwa yang tidak akan pernah hilang dari benak kaum-kaum demonstran. Meninggalnya pemuda dari kalangan pekerja ojek online itu menuai rasa yang tidak menyenangkan terlebih rasa kecewa terhadap aksi oknum BRIMOB itu.

Pemandangan mengerikan malam itu menimbulkan gelombang duka dan amarah publik. Kabar tragis itu semakin menguatkan solidaritas para demonstran untuk semakin gencar memprotes keadilan. Ratusan suara protes pada platform media sosial menjadi senjata aspirasi dari rakyat yang kecewa.

Belum hilang satu pakar masalah sudah ditambah lagi masalah baru. Susah sekali mencerminkan kebaikan dari negri kita apabila para pemegang kekuasaan apatis terhadap suara-suara kecil rakyat.

Menjadi seorang nasionalis tidak harus menjadi pahlawan perang. Menjadi seorang nasionalis tidak harus menciptakan sejarah kebangsawanan, apalagi menjadi seorang pejabat. Giat dalam isu-isu pelik tentang politik juga termasuk nasionalis. Banyak orang pesimis yang memberikan statement “Pergi aja dulu”.

Lalu, negaramu bagaimana?

Demonstrasi bukanlah doktrin yang menjadikanmu buruk dipandang. Jadi, berdemonstrasilah untuk negaramu. Banyak tokoh yang sebenarnya bukan kaum proletar, tetapi mereka berdemonstrasi.

Alasannya sebenarnya cukup satu. Mereka cinta indonesia. Alih-alih mereka hidup menikmati kekayaan sendiri. Mereka sadar akan pentingnya negara yang baik untuk para rakyatnya.

Para elit tidak akan bisa menghindari stigma masyarakat. Hal itu karena pragmatisme masyarakat akan reformasi yang harus segera dilakukan.

Indonesia sekarang adalah negara dengan kekuasaan oligarki. Sistem layanan negara dikendalikan para elit. Dan para kaum rendah sudah pasti terinjak-injak. Untuk berjalan saja terkadang kita mesti melewati tahi-tahi para pejabat.

Indonesia masih banyak mengalami kemiskinan struktural. Bagaimana bisa masyarakat menuntut revolusi. Kenyataannya, dibelakang layar masih banyak kasus korupsi. Malangnya Indonesia adalah topik yang tak usai-usai. Jangan berhenti mencintai Indonesia.


-sebuah opini keluh kesah.

Fudhail Najmudin Almuzaki

Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politik Bejat, Saat Kekuasaan Menjadi Panglima, Rakyat Hanya Tumbal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now