Program Literasi Potensi Desa hadir untuk menjawab masalah ini melalui pendekatan kontekstual. Anak-anak tidak hanya diajak membaca teks, tetapi juga “membaca” alam dan lingkungan mereka sendiri
OPINI|JATIMSATUNEWS.COM - Di tengah kompleksitas persoalan pendidikan di kawasan pedesaan, khususnya bagi kelompok rentan seperti anak-anak panti asuhan, muncul sebuah inisiatif yang layak disebut sebagai gerakan sosial, Literasi Potensi Desa dan Literasi Ceria di Panti Asuhan Al-Kautsar, Desa Torongrejo, Kota Batu. Program ini bukan sekadar mengajarkan anak-anak membaca dan menulis. Ia meretas batas antara belajar, lingkungan, dan harapan. Ia hadir bukan sebagai proyek pendidikan, tetapi sebagai bentuk pemberdayaan yang melibatkan anak-anak, pengurus, mahasiswa, hingga masyarakat desa.
Sebelum program dijalankan, aktivitas belajar anak-anak panti cenderung pasif. Buku-buku yang tersedia terbatas pada pelajaran sekolah. Kegiatan membaca dilakukan sekadarnya, dan hampir tidak ada interaksi edukatif yang menyenangkan. Sebagian anak kesulitan memahami bacaan, sementara yang lain kehilangan minat karena kurangnya variasi dalam metode belajar. Di sisi lain, pengurus panti juga belum memiliki kapasitas untuk mengelola kegiatan pembelajaran yang kreatif, maupun strategi untuk mempublikasikan kegiatan secara luas.
Program Literasi Potensi Desa hadir untuk menjawab masalah ini melalui pendekatan kontekstual. Anak-anak tidak hanya diajak membaca teks, tetapi juga “membaca” alam dan lingkungan mereka sendiri. Mereka menanam dan memanen jagung, mengenali sayuran lokal, hingga menuliskan pengalaman mereka dalam bentuk cerita. Mereka belajar bahwa literasi bukan hanya di atas kertas, tapi juga di kebun, di jalan desa, dan dalam interaksi mereka dengan lingkungannya. Hasilnya, peningkatan kemampuan literasi dasar seperti membaca dan menulis mencapai lebih dari 30% dalam waktu singkat, berdasarkan hasil pendampingan dan evaluasi kegiatan.
Namun, literasi tidak akan tumbuh jika suasana belajarnya kaku. Maka dari itu, Literasi Ceria menjadi elemen pelengkap yang esensial. Kami membangun Pojok Baca Ceria, yaitu ruang baca sederhana namun penuh warna di sudut panti. Buku-buku yang diperoleh dari donasi kini dapat diakses bebas oleh anak-anak kapan pun mereka mau. Kegiatan membaca rutin diadakan, diiringi ekspresi ceria, gelak tawa, dan antusiasme mereka dalam berpartisipasi. Anak-anak yang dulunya pemalu mulai menunjukkan keberanian untuk tampil dan bercerita. Mereka yang sebelumnya hanya menjadi pendengar, kini terdorong untuk mengungkapkan gagasan. Suasana penuh keceriaan inilah yang menjadi gerbang awal menuju perubahan nyata.
Menariknya, inisiatif literasi ini tidak hanya berfokus pada anak-anak, tetapi juga membuka ruang untuk pemberdayaan para pengurus panti. Sebagai bagian dari usulan program lanjutan, kami menawarkan gagasan Re-Branding Media Sosial Panti yang bertujuan untuk memperkuat citra dan daya jangkau Panti Asuhan Al-Kautsar di ranah digital. Dalam program ini, para pengurus direncanakan akan mendapatkan pelatihan dasar seputar desain visual, penulisan narasi yang inspiratif, serta pengelolaan konten edukatif yang relevan. Harapannya, akun media sosial panti yang selama ini belum optimal dapat tampil lebih aktif, profesional, dan mampu menarik perhatian lebih luas dari masyarakat. Dengan peningkatan kapasitas ini, diharapkan pula peluang kerja sama, relawan, dan jaringan donatur dapat tumbuh semakin terbuka dan berkelanjutan.
Semua ini tentu tidak terjadi dalam ruang hampa. Keberhasilan program ini adalah hasil kolaborasi multipihak. Pemerintah desa memberi dukungan penuh, mahasiswa hadir sebagai pendamping dan fasilitator kreatif, sementara masyarakat sekitar terlibat melalui donasi buku dan semangat gotong royong. Inilah cerminan nyata dari sebuah gerakan sosial yag dimana saat berbagai elemen saling bersinergi, bergerak bersama mewujudkan tujuan mulia yaitu membangun masa depan melalui kekuatan literasi.
Kini, anak-anak panti tak lagi sekadar membaca buku. Mereka membaca desanya, membaca peluang, membaca masa depan. Mereka tak lagi hanya menulis tugas sekolah, tapi menulis cerita tentang kebun, alam, dan mimpi-mimpi mereka. Pengurus panti pun tak lagi bekerja dalam diam. Mereka kini menjadi agen komunikasi, membagikan kisah inspiratif anak-anak kepada dunia luar.
Gerakan literasi ini telah menunjukkan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari kota besar atau institusi mewah. Ia bisa tumbuh dari panti sederhana, dari desa kecil, dari sekelompok anak yang diajak tertawa sambil membaca. Ia tumbuh ketika pendidikan dirancang bukan hanya untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk menguatkan rasa, karakter, dan cinta terhadap tempat tinggal sendiri.
Bukan sekadar membaca itulah semangatnya. Inilah saatnya kita memaknai ulang literasi sebagai gerakan sosial yang hidup, berakar, dan berdampak nyata. Sebuah gerakan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menghidupkan harapan, menghubungkan komunitas, dan menanam benih perubahan dari ruang-ruang sederhana seperti pojok baca, kebun desa, hingga hati anak-anak yang dulu sunyi kini berani bersuara.
Penulis: Ariel Adythiatama Setiawan dan Firmanda Ibrahim seorang Mahasiswa Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?