Sejumlah seniman beraksi di panggung Galeri Dewan Kesenian Surabaya yang bertemakan kota dan kesenian
SURABAYA|JATIMSATUNEWS.COM - Sejumlah seniman beraksi di panggung Galeri Dewan Kesenian Surabaya yang berlangsung pada Senin (16/6/2025). Tema yang diangkat kali ini adalah kota dan kesenian. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Pegiat Kesenian Surabaya. Hal menarik dari kegiatan ini, selain dilakukan secara gotong-royong, juga menghadirkan lintas generasi seniman Surabaya.
Kita semua tahu bahwa kota merupakan titik pertemuan antara berbagai kepentingan: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di dalamnya kehidupan bergerak cepat, sarat kompetisi dan penuh dinamika. Di tengah hiruk pikuk itu, kesenian hadir sebagai cermin, kritik, dan juga pelipur. Namun, ketika industrialisasi berkembang pesat seperti yang terjadi di kota besar semacam Surabaya, ruang bagi kesenian kerap kali menyempit, baik secara fisik maupun simbolik.
Sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, Surabaya menunjukkan transformasi drastis dalam beberapa dekade terakhir. Dari kota pelabuhan dengan akar kolonial, berkembang menjadi pusat industri, perdagangan dan jasa. Pembangunan infrastruktur pun berjalan masif.
Tetapi ada harga yang harus dibayar di balik kemajuan tersebut. Ruang-ruang publik yang dulunya menjadi wadah berekspresi seniman lokal perlahan tergeser oleh kepentingan komersial. Kompleks Balai Pemuda, yang semula menjadi titik kumpul seniman muda, kini harus beradaptasi dengan tekanan ruang kota yang makin padat dan seragam. Seniman tidak lagi hanya bersaing dalam soal estetika, tetapi juga dalam memperjuangkan keberadaan mereka di tengah kota yang makin pragmatis.
Kesenian sebagai Ruang Tanding
Kesenian memang tidak bisa sepenuhnya dikalahkan oleh industrialisasi. Dalam banyak kasus, kesenian berubah menjadi medium perlawanan. Mereka menciptakan ‘ruang tanding’ terhadap narasi kota yang didominasi logika pembangunan dan ekonomi. Apa yang coba dilakukan Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) adalah membuka ruang tanding itu sebagai cara melawan ketimpangan antara industri dan kebutuhan memberi jiwa kepada kota ini.
Kota yang ideal bukan hanya kota yang efisien dan produktif, tetapi juga kota yang memberikan ruang tumbuh bagi ekspresi budaya. Kota seperti Surabaya dapat belajar dari berbagai kota dunia yang mengintegrasikan kesenian dalam rancangan tata ruang, seperti Melbourne dengan galeri publiknya, atau Berlin dengan ruang seni alternatif yang hidup berdampingan dengan kawasan industri.
Kota yang baik bukan kota yang meniadakan konflik antara fungsi ekonomi dan budaya, melainkan kota yang mampu mengelolanya secara adil. Kesenian tidak harus menjadi korban kemajuan. Sebaliknya, ia bisa menjadi mitra dalam membentuk identitas kota yang berdaya, inklusif, dan berjiwa. Maka perlu keberanian kebijakan dan solidaritas komunitas untuk memastikan bahwa di tengah gegap gempita pembangunan, suara-suara estetika tetap punya tempat untuk bersuara dan hidup.
Dua Kegiatan
Untuk Juni ini, FPKS menyelenggarakan dua kegiatan. Pertama seni pertunjukan yang telah berlangsung tadi malam, Kedua, kegiatan workshop penulisan kreatif berbasis sastra yang akan berlangsung hari ini di ruang Perpusatakaan Kota Surabaya.
Untuk workshop penulisan, peserta yang akan diundang adalah kalangan muda dan milenial. Tujuan khususnya untuk mendorong minat mereka mencintai dunia kepenulisan (literasi), dalam hal ini sastra, lebih khusus lagi puisi. Tujuan umumnya membangun kembali Kota Surabaya sebagai Kota Literasi. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah menerbitkan buku antologi puisi hasil karya para peserta.
Untuk seni pertunjukan, para penyaji yang tampil adalah Budi Bi dan Ami Tri yang merespon acara kegiatan tersebut dengan melukis dan mempresentasikan karyanya. Kemudian Henri Nurcahyo, salah seorang tokoh budaya panji tampil melalui Orasi Budaya yang bertajuk Surabaya, Cuk. Pilihan kepada Henri ini karena dia dianggap sangat memahami “isi perut” dunia kesenian di kota pahlawan ini, termasuk memahami bagaimana sudut-pandang pengelola kota ini dalam urusan kesenian.
Dari Sastra, khususnya pembacaan puisi yang dikomandani Ribut Wijoto, yang juga dikenal sebagai Ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, menampilkan lintas generasi mulai dari Don Aryadien, Brigitta Vanessa, Diandra Galuh Puspita, Nihasy Aniqo Dhamar Asyuro, Rara & Aji Kelono.
Sementara Totenk, dramawan asal Bandung yang kini bermukim di Surabaya dan pernah menjadi bagian dari Bengkel Teater Rendra, mengusulkan dramawan dari Teater Rumpun Padi,
Jeremiah Earvin dari Teater Rumpun Padi menampilkan monolog berjudul Dihadapan Burung Agung yang berkisah tentang bagaimana rapuhnya manusia ketik berada dalam kekuasan.
Sajian musik juga tak kalah menarik. Bambang Sukmo Pribadi atau dikenal dengan Bambang SP merupakan maestro seni karawitan yang dimiliki Jawa Timur. Jebolan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) yang sekarang jadi SMKN 12 Surabaya ini susah dihitung jumlah karyanya. Salah satu komposisi karyanya, Sawunggaling, yang merupakan kolaborasi musik (saxophone, drum, dan alat musik pentatonis) banyak disebut pengamat sebagai karya terbaik. Sementara Edy Jenggot dikenal sebagai pemusik pop Jawa yang sering membawakan lagu-lagu jenaka. Penampilan kali ini dia merias wajahnya bagai salah satu punakawan dalam dunia pewayangan.
Komunitas Baya Runcing memberikan sajian pamungkas lewat taeter tari berjudul Benalu. Pertunjukan yang dikoreograferi oleh Irfan Gepeng, menampilkan empat penari yang mengangkat tema bagaimana reformasi melenceng dari tujuannya dan birokrasi hidup seperti benalu.
Jil Kalaran
Koordinator FPKS / Pekerja seni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?