“Barangsiapa yang meringankan beban
saudaranya di dunia, maka Allah akan meringankan bebannya di akhirat.” (HR. Muslim)
Dalam lembar kehidupan saya sebagai
seorang guru dan kepala sekolah, Allah mentakdirkan saya mengalami banyak kisah
yang tak sekadar menjadi pelajaran dunia, tapi juga menjadi teguran dan
pengingat akhirat. Di antara semua itu, satu peristiwa menjadi titik balik yang
kelak menumbuhkan sebuah harapan baru, sebuah lembaga pendidikan yang kini kami
kelola dengan nama KB-RA Terapi Tazkiyah.
Beberapa tahun lalu, saat saya
masih menjadi kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini,
terjadi sebuah insiden kecil yang memantik badai besar. Seorang anak
berkebutuhan khusus (ABK), Ananda Nufus, tanpa sengaja menggigit hidung teman
sekelasnya, Ananda Jihan. Luka ringan itu menjadi perkara serius karena Jihan
berasal dari keluarga yang sangat terpandang. Ayahnya seorang pengacara, ibunya
mantan penyanyi, dan kakeknya dokter terkenal yang juga merupakan donatur
sekolah.
Sebagai guru, kami sudah sangat
berhati-hati dalam mendampingi Nufus. Tapi insiden itu ditafsirkan sebagai
kelalaian. Saat kami hendak melakukan mediasi, sang ayah datang ke sekolah
dengan membawa senjata tajam, untungnya, Nufus hari itu tidak masuk karena kami
sudah mengambil langkah preventif.
Dalam pertemuan resmi antara pihak
sekolah dan orang tua Jihan, tekanan luar biasa kami rasakan. Tuntutan agar
Nufus dikeluarkan dari sekolah disampaikan tegas. Yang membuat hati kami
hancur, adalah ucapan sang kakek:
“Kami menyekolahkan cucu kami untuk
belajar, bukan bermain dengan anjing. Anak kok suka gigit seperti anjing.”
Kami tercekat. Bukan hanya karena
kata-katanya kasar, tapi karena ia datang dari seseorang yang selama ini
dikenal sebagai tokoh terdidik dan disegani. Dengan menahan air mata dan
amarah, saya menjawab:
“Maaf, Dokter. Tidak ada satu pun orang
tua di dunia ini yang ingin melahirkan anak dengan kebutuhan khusus. Tapi andai
Bapak dan Ibu ada di posisi mereka, dan anak Anda disebut seperti itu,
bagaimana rasanya?”
Kami laporkan hasil mediasi ke
yayasan. Sayangnya, pihak yayasan memilih jalan yang sama, Nufus harus
dikeluarkan. Ini adalah kali pertama dalam sejarah lembaga kami seorang anak TK
dikeluarkan karena perilaku yang sejatinya belum bisa ia kendalikan.
Kami tahu, orang tua Nufus adalah
pribadi yang tulus. Mereka memahami, mereka menerima keputusan itu tanpa
amarah. Tapi hati kami tidak bisa tenang. Maka kami mengambil langkah memohon
kepada yayasan agar Nufus dipindahkan ke cabang lembaga lain. Kebetulan yayasan
kami memiliki 4 cabang lembaga.
Namun, jarak rumah Nufus ke cabang
terlalu jauh. Orang tuanya pun akhirnya memilih untuk berhenti dari sekolah. Di
situlah, sebagai bentuk tanggung jawab dan cinta kami pada Nufus, kami ambil
keputusan terakhir home schooling. Kami kirimkan guru ke rumahnya, dan
kemudian membukakan jalur agar ia tetap bisa bersosialisasi di cabang lembaga
meski hanya dua hari dalam sepekan. Kejadian ini bagaikan luka yang membuka
mata bagi kami untuk menjadi lebih baik.
Waktu pun berlalu. Pengalaman itu
membekas dalam hati. Tapi dari luka itu, lahirlah tekad dan doa panjang. Saya
belajar bahwa guru bukan hanya pengajar, tapi juga pejuang dan pelindung
anak-anak yang tidak bisa menyuarakan haknya sendiri. Dan saya yakin, Allah
selalu melihat setiap niat baik hamba-Nya.
Beberapa tahun kemudian, Allah
membuka jalan-Nya. Saya mendapat amanah untuk mengelola lembaga sendiri, yang
kami beri nama KB-RA Terapi Tazkiyah. Kata Terapi
sengaja kami sisipkan sebagai penanda sekaligus harapan. Kami ingin
menyampaikan sejak awal bahwa di lembaga ini, bukan hanya anak-anak reguler
yang belajar, tapi juga anak-anak istimewa yang Allah titipkan kepada kita
untuk kita rawat dengan hati.
Setiap awal tahun ajaran baru,
dalam kegiatan parenting dan sosialisasi program, kami sampaikan dengan jelas
bahwa lembaga ini menerima dan menaungi anak-anak berkebutuhan khusus. Bukan
untuk dikasihani, tapi untuk disayangi dan dilibatkan. Kami ajak para wali
murid untuk bersama-sama menanamkan nilai Islam kepada anak-anak:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu
bersaudara…”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Kami ajarkan bahwa keberagaman itu
bukan kekurangan, tapi anugerah. Bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk
dan takdir yang berbeda, bukan untuk dibanding-bandingkan, tapi untuk saling
mengenal dan saling menguatkan.
Alhamdulillah, perlahan namun
pasti, nilai-nilai ini meresap. Para orang tua mulai memahami, anak-anak pun
belajar bersama tanpa menyisihkan yang lain. Bahkan murid-murid reguler dengan
gembira mengajak teman-teman istimewa mereka bermain, menolong saat kesulitan,
dan bersahabat tanpa prasangka.
Kami para guru pun tak hanya
mengajar, tapi menjadi jembatan. Kami membimbing anak-anak bukan hanya membaca
huruf dan angka, tapi juga membaca hati dan memahami perasaan. Kami yakin,
pendidikan yang paling mendasar adalah adab—dan dari adab, akan tumbuh kasih
sayang dan kemuliaan hidup.
Dari semua ini saya belajar, bahwa
pendidikan sejati bukan hanya soal prestasi, tapi tentang keberanian mencintai
tanpa syarat. Menjadi guru adalah jalan panjang, penuh liku, tapi bila
diniatkan karena Allah, maka setiap luka akan menjadi pahala, dan setiap
langkah akan menjadi cahaya.
"Siapa yang berjalan untuk menuntut
ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga."
(HR. Muslim)
Hari ini, saya berdiri bukan hanya
sebagai guru, tapi sebagai murabbi yang ingin menumbuhkan generasi dengan hati.
Di KB-RA Terapi Tazkiyah, kami bukan hanya membangun lembaga, tapi membangun
peradaban yang dimulai dari cinta, keikhlasan, dan penghargaan terhadap setiap
jiwa termasuk jiwa-jiwa istimewa yang Allah hadirkan sebagai ujian sekaligus
rahmat.
Semoga kelak, Allah catat semua ini sebagai amal jariyah. Untuk para guru yang terluka namun tetap sabar, untuk anak-anak yang berjuang dalam senyap, dan untuk setiap orang tua yang memilih cinta daripada penghakiman.
---
Biografi Penulis
Ninik Hamidah,
lebih akrab dengan nama panggung Kak Ninik, adalah sosok yang tak pernah
kehabisan cerita—secara harfiah! Lahir di Malang pada 5 Juni 1972, ia telah
menghabiskan lebih dari separuh hidupnya membawa dunia dongeng ke hati
anak-anak. Sejak 1997, ia telah menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini,
memastikan setiap anak mendapatkan fondasi pendidikan yang kuat. Masih aktif
sebagai Kepala Sekolah di KB RA TERAPI Tazkiyah Malang. Tapi yang membuatnya
istimewa adalah kiprahnya sebagai pendongeng sejak 2008 melalui PPMI
(Persaudaraan Pencerita Muslim Indonesia), di mana ia menghidupkan kisah-kisah
dengan suara dan ekspresi yang memukau.
Suara khas Kak Ninik sering mengudara di RRI Malang dalam acara Dunia Anak, membawa kisah-kisah penuh inspirasi dan nilai. Tak cukup dengan mendongeng, ia pun menuangkan kreativitasnya ke dalam tulisan. Buku-buku yang telah ia terbitkan antara lain Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia (2018), Kumpulan Cerita Anak Berkarakter (2022), Anak Pemberani (2022), Kumpulan Cerita Anak Tema Ibu (2025), dan KumpulanCerita Anak Tema Kue Kesukaan (2025)
Ingin mengikuti kisah dan aktivitas Kak Ninik? Yuk, kunjungi akun media sosialnya! TikTok: @kak.ninik.dan.acil Instagram & Facebook: ninik.hamida YouTube: Kak Ninik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?