MALANG | JATIMSATUNEWS.COM: Arif Wahyudi anggota Komisi C DPRD Kota Malang mendorong Pemerintah Kota segera mengimplementasikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk rumah sederhana. Kebijakan yang telah lama ditunggu-tunggu ini dianggap sebagai solusi nyata bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah layak huni.
Anggota Komisi C DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi, menegaskan bahwa Pemkot tidak perlu ragu untuk mengambil langkah tegas. “Kalau pemerintah tidak mampu memberikan subsidi tunai bagi masyarakat kurang mampu dalam memperoleh rumah, maka berikan saja pembebasan BPHTB, dengan catatan pengembang juga harus memberikan harga murah atas properti yang dijual kepada masyarakat kurang mampu,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Selasa (13/5).
Arief menambahkan, dasar hukum pembebasan BPHTB sangat jelas. “Sudah ada kata-kata pembebasan dalam SKB tersebut, saya minta Pemerintah Kota tidak usah ragu,” tegasnya.
SKB Tiga Menteri—yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat—mengatur beberapa poin penting demi mendukung program 3 juta rumah, antara lain:
2. Penghapusan retribusi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) untuk rumah sederhana;
3. Percepatan proses perizinan PBG, dari 28 hari menjadi hanya 10 hari;
4. Pembuatan Perda implementasi, dengan target penyelesaian Desember 2024.
Namun, meskipun kebijakan nasional sudah tersedia, pelaksanaannya di daerah dinilai masih mandek.
Kenyataan ini disampaikan oleh Ketua DPD APERSI Jawa Timur, H. Makhrus Sholeh, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen kota/kabupaten di Jawa Timur belum menjalankan amanat SKB tersebut.
“Padahal, provinsi ini merupakan salah satu wilayah dengan backlog perumahan tertinggi di Indonesia,” ujarnya usai menjamu Ketua Umum DPP APERSI, Djunaidi Abdillah, di Kota Malang (9/5).
Bendahara DPD APERSI Jatim, Andy Harun Sayuti, turut menanyakan sikap setengah hati Pemda maupun Pemkot dalam menjalankan kewajibannya. “Padahal sudah jelas tertuang bahwa Pemda dan Pemkot punya kewenangan penuh melaksanakan SKB ini,” tegasnya.
Semboyan “rumah layak untuk semua” yang telah digaungkan hampir dua dekade, masih belum menyentuh akar masalah. MBR masih banyak yang hanya bisa memimpikan punya rumah sendiri.
Menurut Prof. Fauzan Zenrif yang menulis artikel Rumah murah bukan sekedar janji , akademisi UIN Malang pemerhati masalah ekonomi kerakyatan menyebut kegagalan mengimplementasikan SKB Tiga Menteri bukan sekadar persoalan teknis administrasi.
"Ini adalah cermin dari rendahnya komitmen politik daerah terhadap hak dasar warga negara, mendapatkan tempat tinggal yang layak," ujar Prof. Fauzan.
Menurutnya kepala daerah dinilai terlalu sibuk memburu proyek-proyek prestisius yang mendulang sorotan media sosial, ketimbang menyelesaikan persoalan riil warganya.
Dalam konteks desentralisasi dan kemajuan teknologi, alasan klasik seperti ketiadaan lahan, ketidaksesuaian RTRW, atau lambannya birokrasi, tak lagi bisa diterima. Kepemimpinan daerah harus ditandai dengan visi dan eksekusi yang nyata, bukan sekadar tata kelola anggaran.
Jika Pemkot Malang dan daerah lain terus menunda pelaksanaan SKB Tiga Menteri, maka ketimpangan tempat tinggal akan semakin melebar, dan mimpi tentang keadilan sosial hanya akan menjadi slogan kosong.
Prof. Fauzan menyatakan sudah saatnya rumah murah bukan lagi sekadar janji politik menjelang pemilu, melainkan prioritas pembangunan jangka panjang yang diwujudkan dengan keberanian dan kemauan politik. Ans
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?