Organisasi masyarakat sipil desak Majelis Hakim pertimbangkan kekerasan seksual dalam kasus femisida J, tuntut keadilan dan restitusi bagi keluarga korban.
JAKARTA | JATIMSATUNEWS.COM - Persidangan kasus pembunuhan terhadap jurnalis J di Banjarbaru di Pengadilan Militer (Dilmil) I-06 Banjarmasin telah memasuki tahap pembuktian. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang memberikan perhatiaan pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan menuntut Majelis Hakim untuk mengakui dan mempertimbangkan kekerasan seksual terhadap korban serta pemulihan keluarga korban dalam menjatuhkan putusan.
Selain itu, juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memperhitungkan restitusi untuk korban baik sebagai akibat kekerasan seksual maupun pembunuhan yang dialaminya. Pada tatanan kebijakan, masyarakat sipil juga menuntut dan mengingatkan untuk diselesaikannya reformasi sektor keamanan dengan menjadikan peradilan umum yang memeriksa dan memutus kasus-kasus tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI.
Pembunuhan dengan Terdakwa Jumran, pacar sekaligus prajurit TNI AL dalam khasanah hak asasi perempuan dikategorikan sebagai femisida intim (intimate partner femicide). Femisida intim adalah pembunuhan yang terjadi dalam relasi personal, termasuk dalam relasi perkawinan atau pacaran yang berakar pada ketidakadilan gender.
Kasus J ini memperkuat temuan global dari UN Women dan UNODC yang mencatat 85.000 perempuan dibunuh, diantaranya 51.100 atau rata-rata 140 perempuan oleh pasangan intim atau anggota keluarga selama 2023. Di Indonesia Perkumpulan Lintas Feminis (JakFem), mengidentifikasikan 180 kasus femisida sepanjang 2023 dan 37% terjadi di dalam relasi intim, baik pasangan suami istri atau pacar.
Fakta di persidangan mengungkapkan bahwa J dibunuh dikarenakan Terdakwa Jumran menolak permintaan keluarga Korban untuk mengawini sebagai akibat perkosaan yang dilakukannya. Organisai masyarakat sipil menilai J telah menjadi korban kekeraan seksual dalam bentuk perkosaan dan pemaksaan perkawinan sebelum pembunuhan atas dirinya. Hal ini menunjukkan lapisan dan keberlanjutan kekerasan yang dialami Korban yang berakhir dengan kematian, yang merupakan salah satu indikator femisida.
Karenanya Terdakwa haruslah mempertanggungawabkan perbuatannya dan memulihkan dampak dari kekerasan seksual dan kematiaan baik terhadap korban maupun keluarganya. Pemberian santunan tidak dapat menggantikan restitusi dan menjadi alasan peringan hukuman terhadap Terdakwa. Pemberian sanksi pidana berupa penjara dan administrasi berupa pemecatan tidak cukup, mengingat korban dan keluarganya memiliki hak atas keadilan, restitusi, kompensasi dan bantuan.
Hal ini merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) -selanjutnya disebut sebagai Deklarasi Hak Korban- yang menjelaskan bahwa korban tidak hanya terbatas pada individu yang mengalami kejahatan secara langsung, tetapi juga mencakup keluarga dekat.
Mereka berhak atas Akses ke keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi, kompensasi dan bantuan. Oleh karena itu J sebagai korban kekerasan seksual berhak atas restitusi yang dibayarkan kepada keluarga korban, sekaligus keluarga korban berhak untuk hak-hak tersebut. Terkait hal tersebut, walau kekerasan seksual yang dialami korban tidak dilaporkan, bukan berarti hak korban tidak diakui dan dijamin. Oleh karena itu menjadi penting, peradilan kasus femisida ini untuk tetap mengakui dan menjamin hak-hak korban sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual.
Untuk memenuhi hak korban dan keluarganya, kami menuntut:
1. Majelis Hakim untuk: (1) mengakui kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dan pemaksaan perkawinan yang dialami oleh Korban; (2) Mempertimbangkan dampak kekerasan seksual dan femisida intim terhadap korban dan keluarga korban; (3) memutuskan hukuman yang dapat memenuhi rasa keadilan korban dan keluarga serta memulihkan keluarga korban; dan (4) Memberikan kompensasi kepada keluarga korban untuk mengakses layanan kesehatan yang dikelola TNI.
2. LPSK mengakui dan memperhitungkan dampak kekerasan seksual yang dialami korban dalam perhitungan restitusi dan memberikan pelindungan terhadap keluarga korban;
3. Pemerintah dan DPR RI menyelesaikan reformasi sektor keamanan dengan menjadikan tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI menjadi kewenangan Peradilan Umum.
Organisasi Masyarakat Sipil:
2. JalaStoria
3. LBH Apik Semarang
4. LRC KJHAM
5. Perempuan Mahardhika
6. Konde.co
7. Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)
Siti Aminah Tardi (ILRC)
Nini Rahayu (Jalastoria)
Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko (LBH Apik Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?