Banner Iklan

CERPEN: Ciuman Mbak Hayati

Admin JSN
19 Mei 2025 | 22.26 WIB Last Updated 2025-05-19T15:26:45Z


Berdiri lemah menggigil, hujan membasahi pipi, isak pilu terus mengalun. Hayati terus berharap cintanya kembali, cintanya pada Zainuddin, Pria yang membelakanginya sekarang. Pria yang telah mengusirnya pulang ke ranah Minang.

“Tidak! saya tidak akan pulang!”  Sedikit histeris Hayati menolak keinginan Zainuddin.

“Saya akan tetap di sini bersamamu. Biar kau hinakan. Biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh berapapun uang banyaknya. Saya butuh dekat dengan kau, Zainuddin …,”  pacu segukan kembali mengalun histeris, Hayati tidak ingin pulang dia ingin bersama cinta yang pernah disia-siakannya.

“Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali. Pantang pemuda memakan sisa” dengan getaran emosi Zainuddin mengukuhkan putusannya. Sambil membalik badan menghadap Hayati, “Kau mesti pulang kembali ke Padang, Biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpangi hidup oleh saya. Orang tidak tentu asal. Negeri Minangkabau…, beradat!” sinis Zainuddin berucap kemudian melangkah pergi meninggalkan Hayati dengan tangisannya.

Aku merasakan getaran mendalam dialog ini, dialog antara Zainuddin dengan Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

“Aduh…Aduh… Udin! Disini rupanya… capek aku mencari kian kemari, Eh rupanya disini duduk maen hape.” Suara itu berat sedikit cempreng, mengganggu keyamanan telinga dan merusak suasana haru biru dalam hati.

Yak! Itulah hayati dalam kehidupan nyataku.

Sambil  menyeka embun selayang di mata, aku menutup youtube dan memasukan hape dalam saku celana sambil berdiri.

“Mbaak…,” seruku sambil menyambut wanita ini.

Bibir mbak Hayati merekah melepaskan senyum, “Ada apa sayang? Kamu sedang sedih ya? Ada apa denganmu wahai Zainuddin, Bujang andalasku?” Berjalan menghampiriku, kemudian tangannya secara ringan mengusap pipiku.

“Idiih! Apaan si mbak! Sayang, sayang! Enak aja!” dengan kesal aku menepis tangan nakal itu. tangan Mbak Hayati, Pimpinan perusahaan Pers yang cukup terkenal di Jawa Timur.

“Hihihihihi…, kamu menggemaskan!” cekikikan mbak Hayati seperti kuntilanak di telingaku, kerlingan matanya membuatku risih.

“Sudah! kita siap-siap berangkat Rakor perusahaan. Percuma kamu jauh-jauh dari Bukittinggi kalau hanya untuk bersedih!” Wajah judes dan beringas mbak Hayati kembali muncul. Wibawa sebagai pimpinan perusahaan terasa.

Aku berjalan ke luar ruangan mengikuti jejak langkah Mbak Hayati dalam gedung itu. di sebuah ruangan para personil dan jurnalis perusahaan telah berkumpul. Briefing segera dilaksanakan.

Rakor akan digelar di sebuah bumi perkemahan dengan agenda sampingan penanaman pohon dan ngopi bareng. Peraturan lainnya bagi peserta akan disediakan tenda. Satu tenda akan ditempati sebanyak tiga orang.

Briefing usai, semuanya bersiap-siap, konvoi kendaraan telah berjalan menuju lokasi Rakor Perusahaan.

Aku yang datang jauh-jauh dari Bukittinggi sana, ke Malang ini semula hanya berniat untuk silaturrahmi, eh… ternyata aku juga diikutkan pada rakor perusahaan yang mendadak ini. “Itung-itung kamu bisa kenal dengan personil dan jurnalis lainnya,” begitu bujuk mbak Hayati waktu itu.

Aku Zainuddin, berkat alam tiba-tiba dekat dengan Mbak Hayati, wanita matang dan lebih tua dariku. Hubungan kita disebut aneh, karena kadang sinis, kadang ngambekan, kadang saling melengkapi dengan nasehat atau saran-saran, kadang ada getaran-getaran sayang.

Eh! Emang mbak Hayati merasakan itu juga? Mudah-mudahan tidak! batinku menolak.

Rakor digelar dari pagi hingga sore. Malam waktunya bercengkrema. Jam tidur mulai datang.

Satu persatu orang masuk ke dalam tenda masing-masing. akupun dengan malas masuk ke dalam tenda. Sebenarnya malas masuk karena di tenda ini aku sendiri, setelah dibagi satu tenda tiga orang, tiba digiliranku yang hanya tinggal seorang terpaksa mendiami tenda kosong ini.

Jangkrik mulai menguasai malam dengan suaranya yang mengusik sepi. tetes embun turun melayang membasahi kekeringan bumi. Gelap malam temaram dengan lampu-lampu tenda yang satu persatu mati meniggalkan kelam.

“Huffft…” aku menatap langit tenda sambil berbaring malas. Bangkit duduk, malas-malasan aku menutup pintu tenda, “Sreeeet” menarik resliting pintu tenda kemudian mematikan lampu, waktunya tidur.

Mataku pejam, nafasku atur, tubuhku lemas lentur, gerbang mimpi sudah menunggu.

Sejenak…

“Sreeet!” bunyi resliting pintu tenda digeser perlahan.

Bunyi suara langkah kaki dan nafas tergesa masuk ke dalam tenda. Seiring suara resliting digeserkan pelan, seperti menutup pintu tenda perlahan. Telingaku mendengar itu semua! Tapi badanku lelah… mungkin aku sudah dialam mimpi, jadi aku tidak peduli. Sambil terletang beralaskan dua tangan, tidur ku lanjutkan.

Hening…

“Udin sayaaang…,” suara bisik desah memanggil. Sepertinya aku kenal suara sejenis itu. Suara horor yang menemani hari-hariku.

“Hmmm… udah tidur?” tanya suara itu kembali, sangat pelan.

Antara yakin dan tidak yakin, perlahan kelopak mata ku bukakan, menoleh ke samping…

Siluet wajah putih pucat diterangi dengan cahaya senter hape dari bawah, melihat padaku lekat-lekat kemudian senyumnya mengembang!

Gelombang alir darah bergulung dalam tubuhku, dorongan ketakutan menjadi!

“Haantu!! Bbb ha bbb.” Teriakanku tertahan karena sebuah telapak telah menutup bibirku dengan kuat.

“Udin sayang… ini mbak! Sttt…..,” ucap Mbak Hayati sambil menyilangkan telunjuk di depan bibirnya.

Kendali dan kesadaran jiwaku kembali, dengan seksama aku meneliti wajah pucat yang berkawan cahaya senter dalam kegelapan.

“Mbak?!” mataku menyipit, suara sedikit meninggi tapi masih dalam nada bisik.

“iya sayang… pstt… jangan brisik, nanti yang lain kebangun,” bisik mbak Hayati dengan gaya intel.

“Ah… apa apaan Mbak masuk ke dalam tendaku, malam-malam begini, rese dan ndak lucu ah!” ucapku sewot, sambil bangkit untuk duduk, yang juga diiringi mbak hayati yang telah duduk simpuh sempurna menhadap padaku.

“Kangen!” mbak Hayati menjawab singkat dengan senyumnya.

“Kangen si kangen, tapi jangan berdua-dua kayak gini mbak, aku kan ndak enak kalau orang tahu,” ucapku bersungut, “Lagian kalau berdua-dua dalam tempat gelap seperti ini, lebih dari sekedar berkhalwat mbak, setan yang ketiga!” kesal ku utarakan.

“Hihihihi… biar aja! Kita singkirkan setan! Ndak asik kalau bertiga, bagusnya berdua aja, aku dan kamu! Kita aja jadi setannya,” ucap mbak Hayati ringan, tapi membuat perutku mules, apa maksudnya coba?

“Ah! sudah sudah! kluar sana!” usirku, agar pembicaraan tidak berguna ini cepat berakhir.

Mbak Hayati yang semula bibirnya mengembang, sekarang bibirnya layu manyun. Binar matanya yang semula berkelip tiba-tiba kelam.

“Kamu ndak sayang aku? Apakah tidak ada cinta itu?” ucapnya mewek, nampak sebaris air menggenang di kelopak mata.

Jantungku berdegup kencang mendengar dan menyaksikan Mbak Hayati di tepi jurang tangis.

Apakah aku harus jujur dan mengakui, sebenarnya aku memendam rasa itu. Sebenarnya getaran cinta dan sayang itu ada. Menarik nafas dalam, aku bertekad malam ini akan menyatakan rasa itu langsung ke Mbak Hayati. Biar jiwaku bebas terbang, tidak terbeban dengan rasa yang ku simpan ini.

Duduk bersila menghadap mbak hayati, aku mengambil dan menggenggam tangan kananya yang lemas. Menatap lekat pada dua manik mata, lalu berucap,

“Mbak, maafkan jika kata-kataku melukai perasaan mbak…, Aku sebenarnya…” belum lengkap kalimatku, mbak Hayati menepis genggaman tangaku,

“Ndak muhrim…,” ucapnya sambil nyengir.

Aku menatap bengong, tanganku sekarang tidak berpegang, menggantung di udara.

“Trus…,” Meminta aku kembali menyelesaikan kalimat, mbak Hayati membetulkan duduknya kemudian merapikan anak rambut di telinga, senyumnya sungguh anggun.

 “Sayang… kamu sebenarnya apa?”

Bengongku buyar oleh tanya itu.

“Aku sebenarnya memilki rasa sayang dan cint…”

Kalimatku kembali terputus dengan telapak tangan mbak Hayati yang menyumpal mulutku.

Dengan senyum malu-malu, “Tak usah kamu teruskan itu, jantungku bisa meledak jika mendengarnya. Tidak cukupkah kita saling memahami saja.”

Aku menepis telapak tangan mbak Hayati yang menutupi mulutku, “ndak muhrim,” ucapku.

“Eh iya…, maap,” Mbak Hayati mengalihkan pandangannya dariku, membuang senyuman ke samping.

Setelah memenangkan diri, Mbak Hayati menatapku dengan sepenuh rasa.

“Aku tidak siap mendengarkan kata cinta dan sayang itu darimu, jadi biarlah kata itu ku titipkan dalam hatimu saja. Aku sudah bahagia.”

“Kadang ketika rasa cinta dan sayang itu diucapkan, maka rasa itu akan hambar atau bahkan hilang. Bahkan rasa cinta dan sayang itu akan hilang sepenuhnya jika dua insan itu melakukan kontak fisik seperti ciuman dan seterusnya. Yang tersisa hanya nafsu saja.” Mbak Hayati sedang memberikan kuliah tentang cinta dan sayang,

Aku senyum haru, sebegitu tinggikah rasa cinta dan sayang mbak Hayati padaku? hingga dia rela menahan untuk tidak mendengar itu dan bahkan menahan untuk tidak ciuman misalnya. Padahal aku tertarik dengan bibir mbak Hayati, ah! setan! Enyahlah! Aku ingin cinta dan sayang ini murni, aku tidak akan kalah dengan rayuanmu wahai setan!.

“hmmm… sayang…, apa yang sedang kamu pikirkan?” seperti mengerti dengan kecamuk pikirku, mbak Hayati bertanya.

“Ndak… aku terharu aja dengan konsep cinta dan sayang mbak. Memang untuk menjaga rasa itu, jangan diucapkan dan diaplikasikan dalam aktifitas fisik, seperti ciuman misalnya. Aku setuju!” meleparkan senyum.

“Tapi…, aku tidak setuju,” mbak Hayati berucap paradoks.

“Maksudnya?” aku sungguh tak mengerti.

“Sayaangg…,” Tiba-tiba mbak Hayati memburu maju, menghimpit tubuhku dari depan, hingga tubuhku rebah, bibirnya monyong ke depan menyongsong bibirku.

“Aku ingin dicium dulu sebagai bukti rasa itu ada!” ucapnya cepat, nafasnya memburu.

“Mbak! Sadar! Ndak muhrim!” aku berontak mengingatkan. Kejaran bibir mbak Hayati ku hindari.

Tapi aku bingung, kenapa tenaga mbak Hayati sangat besar, bibirnya perlahan semakin dekat dengan bibirku…

Mmmmuuuach!

Ciuman itu akhirnya terjadi, kelopak bibir bawahku di hisap keras, badanku panas dingin, tulang belulang jadi lemas, tubuhku ditindih dari atas.

Tiba-tiba!

Pintu tenda terbuka, seiring teriakan sahut menyahut.

Satu bentakan yang terdengar pasti “Kalian sedang apa! kurang ajar! Merusak alam! Merusak lingkungan!”

Kepanikan menjadi seiring tubuhku ditarik kasar ke luar tenda. Jerit histeris berontak juga aku dengan dari mbak Hayati yang juga ikut di seret.

Tubuh kami di dudukan di tengah tanah yang agak lapang. Oleh sekelompok pemuda, sementara personil dan jurnalis perusahaan tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menyaksikan kami diperlakukan seperti itu.

“Binatang! Mesum jangan disini!”

Teriakan, caci maki dan sumpah serapah masih terdengar.

Tatapanku nanar, tadi terasa beberapa pukulan mendarat di kepala, tubuh juga perih terkena beberapa kali tendangan.

Aku mengatur konsentrasi, mengatur nafas. Sepertinya kami akan disidang. Sudahlah! Aku pasrah!

Aku berusaha menoleh ke samping, bagaimana kondisi mbak Hayati?

Sesaat pandangan kami  bertemu,

what?!

Aku melihat mbak Hayati senyum licik.

“Kita pasti akan dinikahkan” ucapnya penuh kemenangan.

“Mbak, kamu sengaja merancang ini semua?” tanyaku penuh penasaran dan dendam.

Senyum licik mbak Hayati seperti membenarkan tanyaku.

“Dasar licik!” umpatku.

“Biarin!” mbak Hayati melengos ke depan kemudian memasang wajah teraniaya, seolah telah siap menerima hukuman akibat melakukan perbuatan dosa yaitu ciuman.

“Aku tidak mau dinikahkan paksa hanya gara-gara ciuman,” teriakku.

“diam!”

Bug!

Satu pukulan menghantam pipiku, hingga membuat tubuhku tersungkur ke tanah.

Semua gara-gara ciuman mbak Hayati…

@@@


penulis: Voin Boga


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • CERPEN: Ciuman Mbak Hayati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan?

Trending Now